PERTARUNGAN TERAKHIR!
Pertarungan terakhir kalian melawan si kakek tua yang mengendalikan sebuah kampung yang dipenuhi orang-orang mati! Cek kembali nilai-nilai HP dan MP yang kamu dapatkan pada saat menempuh episode 7 (battle #2). Kini kita akan menghadapi saat-saat penentuan, apakah kamu akan mengakhiri kisah ini dengan selamat, penuh luka-luka, ataukah nyaris mati? Dan bagaimana akhir cerita ini? Sanggupkah kamu mengembalikan kampung itu pada jalan mereka yang seharusnya? Semua jawaban ada dalam pilihan-pilihanmu!
Jantungmu nyaris berhenti berdetak saat tubuh si anak perempuan tiba-tiba merosot turun ke bawah tangga. Kamu berusaha menangkap tangan si anak perempuan, tapi tangan itu meluncur keluar dari genggamanmu, dan kamu hanya bisa menangkap angin. Kamu hanya bisa menatap wajah si anak perempuan yang tampak begitu polos sekaligus dipenuh kengerian sampai wajah itu lenyap dari pandanganmu. Beginikah rasanya melihat anak kecil yang akan disiksa? Betul-betul hal yang paling menakutkan dan menyedihkan untuk dilihat. Kamu rasa, sampai kapan pun juga, kamu tidak akan pernah bisa melupakannya.
"Dasar anak ingusan tolol!" bentak si kakek tua, kali ini tidak menyembunyikan suaranya yang ternyata keji dan menakutkan. "Kamu bantuin anak sialan itu lagi ya? Sebenarnya kamu tahu tidak sih, siapa majikanmu? Atau otakmu juga sudah ikut mati?"
Kamu tidak bisa mendengar apa jawaban anak itu. Kamu bahkan tidak tahu apa yang dilakukan si kakek tua terhadap dirinya. Tapi kamu tahu satu hal: anak perempuan itu sudah begitu banyak berkorban demi kamu, dan kamu tidak boleh menyia-nyiakan semua itu. Jadi, kamu pun mulai bergerak.
Jika pada Episode 9 kamu memilih:
1. Lari melalui lubang di atap, klik di sini.
2. Menerobos si kakek dan menuruni tangga, klik di sini.
3. Ngumpet di salah satu peti besar yang kosong, klik di sini.
RADIO HT
Kamu merasa beruntung banget saat radio HT yang kamu gunakan berhasil menangkap sinyal. Seketika kamu langsung berteriak-teriak ke dalam radio HT itu. Rasanya kamu nyaris pingsan saat mendengar ada jawaban, "Ini siapa? Kamu ada di mana?"
Kamu segera menjelaskan posisi terakhir bis dan mengatakan bahwa kamu nyasar di sekitarnya. Pria yang bicara denganmu memperkenalkan diri sebagai polisi yang patroli dan memintamu mencari pemandangan yang kira-kira bisa dijadikan acuan. Untung sekali, ada sebuah jembatan kayu yang kemudian dikenali oleh polisi itu. Dari situ, sang polisi memandumu menuju jalan raya.
Awalnya kamu rada waswas karena kamu tidak pernah bertemu banjir, padahal itu adalah alasan kenapa kamu turun dari bis. Akan tetapi, kekhawatiranmu tidak beralasan. Kamu nyaris bersorak kegirangan saat melihat sebuah pikap polisi yang terparkir di tepi jalan. Saat kamu melayangkan pandangan, kamu melihat bis kalian tak jauh dari situ. Ada sengatan rasa bersalah bahwa ternyata hanya kamu seorang diri yang selamat. Bahkan si beruang pun tak sanggup kamu selamatkan.
Tapi bukan waktunya kamu berduka. Saat ini, kamu harus menyelamatkan diri. Kamu menghampiri si polisi yang ternyata masih muda sekali. Dia juga tampak heran melihatmu.
"Saya memang sedang kebingungan karena ada bis yang terdampar di tengah jalan dan tidak ada yang melaporkan," katanya. "Jadi kamu penumpang bis ini? Bisa bantu berikan keterangan di kantor polisi?"
Aduh, apa saja akan kamu lakukan demi hengkang dari tempat ini secepatnya. Kalian pun masuk ke dalam mobil patroli. Mobil itu perlahan-lahan melaju, dan kamu merasa lega karena sudah bisa lolos.
Mendadak saja, sebuah muka menemplok di jendela depan. Oh mannn, si kakek tua ternyata belum mati! Kamu kira dia sudah tidak bisa berkutik lagi sejak ketiga sumber kekuatannya hancur. Memang sih, sekarang dia sudah tak ubahnya seperti mayat hidup, tapi dia masih hidup dan tampaknya dendam banget padamu!
"Saya tidak akan melepaskanmu!" teriaknya dari luar. "Saya tidak akan melepaskanmu selamanya!"
Malang baginya, tindakan itu membuat si polisi kaget bukan kepalang. Mendadak saja kecepatan mobil menambah pesat sementara arahnya meliuk-liuk. Kamu menjerit bersama-sama si polisi yang shock hebat saat mobil keluar dari jalan raya. Pada saat semuanya terlambat, kamu melihat sebatang pohon besar berdiri tegak di depan kalian. Kamu merasakan benturan terkeras dalam hidupmu, dan semuanya menjadi gelap. (HP: -30. MP: -35)
Klik di sini untuk melanjutkan.
BELATI PERAK
"Ini Pak," kamu mengulurkan belati perak yang kamu ambil dari atas loteng itu.
Pak Kades menerima belati itu dengan takzim. "Terima kasih. Semoga benda ini sanggup memberikan kesehatan dan kekuatan bagimu, Nak."
Rasanya kamu tidak memercayai matamu saat secercah cahaya perak menguar keluar dari belati itu, terbang mengelilingimu, lalu lenyap seolah-olah merasuk ke dalam tubuhmu. Mendadak saja kamu merasa lebih baik.
"Sekarang, pergilah," ucap Pak Kades. "Dan semoga kamu berhasil mengalahkannya Nak. Harapan kami semua besertamu."
Kamu mengangguk. "Terima kasih, Pak Kades, Pak Beruang."
Dan seperti itulah, kalian pun berpisah. (HP: +25)
Klik di sini untuk melanjutkan.
NGUMPET DI SALAH SATU PETI BESAR YANG KOSONG
Kamu mendekati peti besar di belakang dengan kecepatan yang bisa menyaingi kecepatan seekor siput. Habis, si kakek tua berada tepat di bawahmu. Ini benar-benar bukan saat yang tepat untuk membuat bunyi-bunyian. Rasanya bagaikan bergerak di ladang ranjau. Sewaktu-waktu kamu bisa menginjak tempat yang salah dan, bummm, tahu-tahu saja kamu sudah jadi salah satu penduduk kampung yang suram, dekil, dan punya kuburan pribadi. Dasar sial, dari sekian banyak benda-benda pribadi (mobil pribadi, rumah pribadi, vila pribadi), kenapa kamu malah mendapatkan kuburan pribadi?
Akhirnya kamu berhasil tiba juga di depan peti itu. Begitu kamu mengangkat tutupnya, tiba-tiba terdengar suara
krieekkk membahana.
Oh, sial.
Mendengar bunyi langkah terburu-buru yang berasal dari bawah, kamu pun buru-buru memanjat ke dalam peti. Untunglah peti itu hanya terisi separuh. Kamu terpaksa harus join dengan pakaian-pakaian bekas berbalut debu dan berbau apek amit-amit, tapi semua bau-bauan dan kekotoran itu tidak ada artinya dibanding dengan ketakutanmu bertemu si kakek.
Kamu lega banget saat berhasil menutup pintu peti tanpa menimbulkan keributan. Selama beberapa lama, kamu hanya mendekam di dalam peti ditemani debu, pakaian bekas, dan jantungmu yang berdentam-dentam keras.
Lalu, tiba-tiba saja, peti terbuka, menampakkan wajah seorang pria yang sedang menatapmu dengan tatapan liar. Selama sepersekian detik kamu tidak mengenali wajah itu, tapi sesuatu pada wajah itu mengingatkanmu pada lukisan yang sempat kamu coret-coret itu.
Oh, sial. Ini kan si kakek tua! Tapi kini dia tampak jauh lebih muda. Yah, tidak muda-muda amat sih, tapi setidaknya dia tampak 20 tahun lebih muda. Kini dia tampak seperti om-om setengah kakek-kakek yang masih muda dan segar berusia lima puluh tahunan. Mungkin karena pengaruh kacamata yang dipakainya... Astaga! Memang benar! Kacamata itu pastilah kacamata yang disinggung si anak perempuan, kacamata yang merupakan sumber kekuatannya yang terakhir, yang seharusnya berada di dalam makam Pak Kades! Rupanya dia sudah menggunakan sumber kekuatannya itu. Tak heran kini dia tampak lebih muda dan kuat!
Gawat. Benar-benar gawat.
"Kakek!" serumu dengan suara gembira yang rada lebay. Buru-buru kamu bangkit sebelum sempat dipretelin si kakek. "Untunglah Kakek datang! Saya dikurung di sini, Kek!"
"Wah, untunglah saya datang, Nak!" Si kakek kelihatan banget berusaha menutupi kecurigaannya. "Padahal nggak susah lho bebasin kamu! Kan petinya cuma ditutup aja dan nggak dikunci!"
"Iya, tapi susah bukanya dari dalam, soalnya berat dan posisi saya nggak memungkinkan," kilahmu dengan gaya nyolot demi mempertahankan alasanmu sekaligus nyawamu. "Pokoknya memang beruntung sekali saya ditolong Kakek..."
"Nak, jangan panggil saya Kakek lagi dong!" sela si kakek mendadak. "Saya kan sudah lebih muda! Ayo, panggil saya om!"
Aduh, kenapa sih dia sok muda begitu? Lagi pula, tidak ada keren-kerennya jadi om-om. Kecuali kalo om-om-nya keren kayak Bruce Willis. Tapi kamu tidak ingin membuatnya marah. "Ah, betul banget! Iya, Kakek jadi lebih muda! Mulai sekarang saya panggil Om saja ya! Oh ya Om, kok Om bisa sampai di sini sendirian? Saya aja nyaris mati nih!"
"Iya, berkat kamu, orang-orang itu udah nggak berdaya lagi. Bahkan berhasil saya usir tuh semuanya dari rumah ini. Jadi kita udah bisa turun dengan aman."
"Baiklah, Om. Kalo gitu, ayo kita turun berdua."
Kamu menggamit lengan si kakek. Tapi bukannya mengajak dia turun bareng, kamu malah mendorongnya ke dalam peti. Kamu kaget luar biasa saat si kakek tetap bergeming saat kamu dorong. Dengan mata menyipit geram, dia bertanya, "Kamu mau mengurungku ya, Nak?"
Gawat. Tanpa berpikir panjang lagi, kamu pun menarik kacamata si kakek hingga copot.
Oh mannnn, keriput-keriput si kakek memburuk dengan begitu cepat! Lebih parah lagi, gigi-giginya mulai berjatuhan! Ternyata, menyaksikan proses penuaan yang berlangsung dalam hitungan detik benar-benar menakutkan banget! Dalam sekejap, si kakek yang minta dipanggil "Om" berubah jadi kakek buyut yang giginya nyaris ompong.
Tapi kamu tidak merasa bersalah karenanya. Bahkan, tanpa ragu kamu melemparkan kacamata itu ke lantai dan menginjak-injaknya. Si kakek meraung keras-keras, lalu, sebelum kamu sempat membuat kacamata itu hancur berkeping-keping, dia menonjokmu kuat-kuat--astaga, sudah kembali jadi kakek buyut begini kok tetap masih kuat banget?--sampai kamu terlempar ke dinding atap yang rapuh.
Sial, dinding atapnya hancur!
Kamu pun menjerit sekuat-kuatnya saat kamu terjun bebas melewati tepian atap. Kamu sudah siap untuk mati--atau paling tidak, patah beberapa tulang. Akan tetapi, untung luar biasa, saat nyawamu sedang di ujung tanduk, kamu meraih-raih tanpa arah, dan berhasil menyambar tepian jendela di lantai dua. Mumpung antara kamu dan tanah hanya berjarak kurang dari dua meter, kamu pun meloncat turun. Namun kamu tidak sepenuhnya beruntung. Kaki kamu tertekuk dan, karena itu, jadi terkilir. Yah, mendinglah cuma kaki, daripada nyawa kamu melayang. (HP: -15, MP: -20)
Klik di sini untuk melanjutkan.
PELARIAN TERAKHIR
Setelah jauh dari semua orang, kamu pun berjongkok dan mengeluarkan jam rantai itu. Sebenarnya jam rantai itu sangat indah. Sayang sekali kamu harus menghancurkannya. Tapi kamu lebih menghargai nyawamu, belum lagi harapan seluruh kampung tertumpu padamu. Jadi, kamu pun memungut sebuah batu besar dan runcing, lalu mulai menghancurkan jam rantai itu.
Kamu terkejut saat benturan pertama pada jam rantai membuat langit mulai terang. Kamu membenturkan batu pada jam rantai lagi, dan langit semakin terang. Akhirnya! Rupanya memang benar dugaanmu. Malam tidak berakhir karena kekuatan dari si kakek tua, dan kini, dengan hancurnya semua sumber kekuatannya, malam ini akan berakhir!
Yes!!
Akhirnya, saat jam rantai itu hancur semuanya, langit sudah berwarna biru muda. Pagi sudah menjelang. Lebih indah lagi, kamu mendengar kicauan burung. Sepertinya kamu sudah lepas dari kampung itu. Mungkin, kalau kamu berjalan cukup jauh, kamu takkan berputar-putar di dalam hutan lagi. Kalau kamu cukup beruntung, barangkali kamu bisa menemukan jalan raya.
Sambil berjalan, kamu memutuskan untuk mencoba keberuntunganmu menggunakan alat komunikasi yang kamu temukan.
Jika pada Episode 7 kamu memilih:
1. Ponsel, klik di sini.
2. Radio HT, klik di sini.
3. Tablet, klik di sini.
TABLET
Kamu merasa beruntung banget saat tabletmu berhasil menangkap sinyal. Buru-buru kamu menampilkan Google Maps. Kamu takjub banget melihat ada sebuah tanda di sebuah jalan raya. Perasaanmu mengatakan bahwa tanda itu adalah bis yang kamu tumpangi. Pertanyaannya, sekarang kamu ada di mana?
Kamu menggunakan fasilitas Satelit pada Google Maps, lalu mulai mencocokkannya dengan pemandangan di sekitarmu. Untung sekali, ada sebuah jembatan kayu yang terlihat dalam Google Maps juga. Dengan acuan jembatan kayu itu, kamu mulai mencari jalan menuju tanda di jalan raya itu.
Awalnya kamu rada waswas karena kamu tidak pernah bertemu banjir, padahal itu adalah alasan kenapa kamu turun dari bis. Akan tetapi, kekhawatiranmu tidak beralasan. Kamu bersorak kegirangan saat benar-benar menemukan bis kalian. Rupanya banjir memang sudah surut. Kamu masuk ke dalam--dan mendapatkan bis itu kosong melompong. Mendadak ada sengatan rasa bersalah bahwa ternyata hanya kamu seorang diri yang selamat. Bahkan si beruang pun tak sanggup kamu selamatkan.
Tapi bukan waktunya kamu berduka. Saat ini, kamu harus meloloskan diri. Masalahnya, kamu tidak punya supir, dan satu-satunya pengalaman menyetirmu didapat dari permainan balap di GameMaster. Yah, buat apa punya tablet? Kamu mencari cara menyetir dan mulai mempraktekkannya secara kilat.
Kamu menginjak kopling, memasukkan persneling, lalu perlahan-lahan melepas kopling seraya menginjak gas.
Yayyy, bisnya jalan!!
Sedang girang-girangnya, tiba-tiba sebuah muka menemplok di jendela depan. Oh mannn, si kakek tua ternyata belum mati! Kamu kira dia sudah tidak bisa berkutik lagi sejak ketiga sumber kekuatannya hancur. Memang sih, sekarang dia sudah tak ubahnya seperti mayat hidup, tapi dia masih hidup dan tampaknya dendam banget padamu!
"Saya tidak akan melepaskanmu!" teriaknya dari luar. "Saya tidak akan melepaskanmu selamanya!"
Kamu menginjak gas sedalam-dalamnya, lalu menambah kecepatan dengan menginjak kopling, mengganti persneling, dan menginjak gas lagi--terus hingga speedometer menunjukkan kamu bergerak dalam kecepatan di atas 60 km/jam. Oke, ini bukan kecepatan maksimalmu, akan tetapi bagimu ini sudah kencang banget, apalagi dengan penumpang gelap yang mengerikan yang sedang menemplok di kaca depan bis. Rasanya mengerikan sekali. Kamu bahkan tidak bisa melihat jalanan dengan jelas.
Dan pada saat semuanya terlambat, kamu melihat sebuah truk melaju ke arahmu. Kamu merasakan benturan terkeras dalam hidupmu, dan semuanya menjadi gelap. (HP: -20. MP: -45)
Klik di sini untuk melanjutkan.
KANTONG EMAS BERUKURAN SEDANG
"Ini Pak," kamu mengulurkan kantong emas yang kamu ambil dari atas loteng itu.
Pak Kades menerima kantong itu dengan takzim, lalu mengeluarkan kepingan-kepingan emas dari dalam yang membuat matamu melotot. Duh, andai saja kamu membawa pulang emas-emas itu, pasti kamu langsung tajir! "Terima kasih. Semoga benda ini sanggup memberikan kesehatan dan kekuatan bagimu, Nak."
Rasanya kamu tidak memercayai matamu saat secercah cahaya emas menguar keluar dari setiap keping emas itu, terbang mengelilingimu, lalu lenyap seolah-olah merasuk ke dalam tubuhmu. Mendadak saja kamu merasa jauh lebih baik.
"Sekarang, pergilah," ucap Pak Kades. "Dan semoga kamu berhasil mengalahkannya Nak. Harapan kami semua besertamu."
Kamu mengangguk. "Terima kasih, Pak Kades, Pak Beruang."
Dan seperti itulah, kalian pun berpisah. (HP: +50)
Klik di sini untuk melanjutkan.
LARI MELALUI LUBANG DI ATAP
Kamu mendekati lubang di atas atap dengan kecepatan yang bisa menyaingi kecepatan seekor siput. Habis, si kakek tua berada tepat di bawahmu. Ini benar-benar bukan saat yang tepat untuk membuat bunyi-bunyian. Rasanya bagaikan bergerak di ladang ranjau. Sewaktu-waktu kamu bisa menginjak tempat yang salah dan, bummm, tahu-tahu saja kamu sudah jadi salah satu penduduk kampung yang suram, dekil, dan punya kuburan pribadi. Dasar sial, dari sekian banyak benda-benda pribadi (mobil pribadi, rumah pribadi, vila pribadi), kenapa kamu malah mendapatkan kuburan pribadi?
Akhirnya kamu berhasil tiba juga di depan lubang itu. Baru saja kamu mulai memanjat, tiba-tiba sekeping genteng jatuh ke atas lantai kayu dan pecah berantakan.
Oh, sial.
Mendengar bunyi langkah terburu-buru yang berasal dari bawah, kamu pun buru-buru memanjat. Untungnya, bagian lain dari atap itu ternyata masih cukup kokoh untuk menahan berat badanmu. Saat kamu sudah bertengger di atas atap, kamu melihat muka seorang pria dari lubang di atas lantai loteng, menatapmu dengan mata nyalang. Selama sepersekian detik kamu tidak mengenali wajah itu, tapi sesuatu pada wajah itu mengingatkanmu pada lukisan yang sempat kamu coret-coret itu.
Oh, sial. Ini kan si kakek tua! Tapi kini dia tampak jauh lebih muda. Yah, tidak muda-muda amat sih, tapi setidaknya dia tampak 20 tahun lebih muda. Kini dia tampak seperti om-om setengah kakek-kakek yang masih muda dan segar berusia lima puluh tahunan. Mungkin karena pengaruh kacamata yang dipakainya... Astaga! Memang benar! Kacamata itu pastilah kacamata yang disinggung si anak perempuan, kacamata yang merupakan sumber kekuatannya yang terakhir, yang seharusnya berada di dalam makam Pak Kades! Rupanya dia sudah menggunakan sumber kekuatannya itu. Tak heran kini dia tampak lebih muda dan kuat!
"
Bye, Kek!" teriakmu dengan riang dan rada sok akrab. "Saya jalan-jalan dulu ya!"
"Ngapain kamu milih jalan-jalan di atap? Kan bahaya banget, Nak!" Oke, rupanya si kakek tua juga ikut-ikutan memasang sikap sok akrab. Padahal, dari sinar matanya, terlihat betul dia kepingin memakanmu.
Gawat. Benar-benar gawat.
"Iya nih, Kek," ucapmu sambil beringsut-ingsut menjauh. "Pemandangan di sini indah banget. Aman pula dari orang-orang itu. Jadi saya kepingin istirahat dulu di sini."
"Kamu bisa istirahat di dalam. Saya sudah mengusir semua orang itu kok."
Ini benar-benar mirip percakapan si Tudung Merah dan Serigala Jahat. "Ah, nggak lah, Kek. Saya nggak berani ambil risiko. Dari tadi saya tunggang-langgang menyelamatkan diri. Kalo mau istirahat, harusnya di tempat yang benar-benar bikin saya merasa damai."
"Oh, begitu. Kalo gitu, saya ikut sama kamu saja deh. Dan omong-omong, jangan panggil saya Kakek lagi dong! Saya kan sudah lebih muda! Ayo, panggil saya om!"
Aduh, kenapa sih dia sok muda begitu? Lagi pula, tidak ada keren-kerennya jadi om-om. Kecuali kalo om-om-nya keren kayak Bruce Willis. Tapi kamu tidak ingin membuatnya marah. "Ah, betul banget! Iya, Kakek jadi lebih muda! Mulai sekarang saya panggil Om saja ya! Oh ya Om, sebaiknya m jangan ikut saya ke sini. Bahaya! Om bisa jatuh!"
"Nggak apa-apa. Saya kan sudah lebih muda! Mana mau saya dibilang kalah sama anak muda?"
Sial. Ini berarti kamu harus bergerak cepat. "Baiklah, tapi tunggu sebentar, Om! Saya akan cek dulu tempat ini kokoh atau tidak untuk kita berdua."
Tentu saja, itu hanya akal-akalan kamu saja. Tanpa ragu kamu mulai menuruni pipa saluran air yang terletak di pojok belakang rumah. "Sebentar ya, Om. Sebentar!"
"Ah, lama amat kamu, Nak. Biar saya susul saja."
Jantungmu nyaris mencelos saat melihat wajah si kakek sekali lagi nongol tepat di atas kepala kamu.
"Mau lari ya?" senyum si kakek culas. "Sini kubantu."
"Tidak usah, Kek, tidak usah." Dalam kondisi panik, kamu pun menarik kacamata si kakek hingga copot.
Oh mannnn, keriput-keriput si kakek memburuk dengan begitu cepat! Lebih parah lagi, gigi-giginya mulai berjatuhan! Ternyata, menyaksikan proses penuaan yang berlangsung dalam hitungan detik benar-benar menakutkan banget! Dalam sekejap, si kakek yang minta dipanggil "Om" berubah jadi kakek buyut yang giginya nyaris ompong.
Tapi kamu tidak merasa bersalah karenanya. Bahkan, tanpa ragu kamu melemparkan kacamata itu ke lantai dan menginjak-injaknya. Si kakek meraung keras-keras, lalu, sebelum kamu sempat membuat kacamata itu hancur berkeping-keping, dia melepaskan si pipa saluran air dari kaitan yang menahannya. Dengan geram dan penuh kemarahan dia mendorong pipa itu--beserta kamu--hingga jatuh ke bawah. Saking takutnya, kamu pun menjerit sekuat-kuatnya.
Kamu sudah siap untuk mati--atau paling tidak, patah beberapa tulang. Akan tetapi, untung luar biasa, pipa saluran itu tersangkut di entah mana sehingga jatuhnya tertahan. Mumpung antara kamu dan tanah hanya berjarak kurang dari dua meter, kamu pun meloncat turun. Namun kamu tidak sepenuhnya beruntung. Kamu mendarat dengan kedua lututmu, tepat di atas tanah yang dipenuhi bebatuan. Untung saja batu-batuannya kecil dan tidak meremukkan lututmu. Tapi tetap saja kedua lututmu jadi berdarah-darah. Yah, mendinglah cuma luka begitu saja, daripada kakimu patah atau nyawa kamu melayang. (HP: -25, MP: -20)
Klik di sini untuk melanjutkan.
PERTEMUAN TAK TERDUGA
Kamu berlari menembus hutan, entah untuk keberapa kalinya. Rasanya pengejaran ini seperti tiada habisnya. Lebih parah lagi, kenapa pagi tidak segera menjelang? Apa jangan-jangan di dunia ini, yang ada hanya malam hari?
Kamu mendengar bunyi gemerisik di belakangmu dan kamu menoleh. Kamu melongo mendapatkan orang yang berada di belakangmu adalah Pak Kades dan si beruang!
Kamu sudah siap-siap untuk kabur kalau mereka menunjukkan tanda-tanda ingin menyerangmu, akan tetapi sikap tubuh mereka tampak santai, tampang mereka muram banget, dan si beruang terlihat sedekil Pak Kades. Tapi berbeda dengan orang-orang kampung lain, setidaknya mereka masih berdiri tegak.
"Hei, Nak," ucap si beruang perlahan. "Kamu terlihat sehat."
Dan si beruang terlihat seperti orang mati. Tentu saja, kamu tidak berkata begitu, melainkan tetap berdiam diri dan menunggu kata-kata berikutnya.
"Nak, sebenarnya kami disuruh untuk menghalangi kepergianmu."
Kamu berubah tegang saat mendengar kata-kata itu, tapi kamu tahu bahwa ada kata "tapi" mengikuti kata-kata itu.
"Namun," okelah bukan
tapi yang diucapkannya, toh artinya sama saja, "kami juga tahu, kamu satu-satunya yang bisa menolong kami. Yah, kamu lebih bijaksana dari aku, Nak. Sekarang, aku sudah menjadi salah satu di antara mereka."
Mata si beruang berkaca-kaca saat mengucapkan hal ini, dan kamu tidak bisa tidak merasa kasihan.
"Karena itu, aku sudah membujuk Pak Kades untuk menolongmu," si beruang menoleh pada Pak Kades yang mengangguk lemah tanpa bicara. "Kamu sudah capek dan penuh luka. Kamu butuh bantuan. Pak Kades bilang, dia bisa membantumu. Tapi dia meminta sebuah imbalan."
Oke, sebenarnya aneh banget Pak Kades meminta bantuan. Toh hitung-hitung sebenarnya kamu membantunya juga kalau kamu mengalahkan si kakek. Akan tetapi, saat ini kamu terlalu letih untuk banyak cincong. "Imbalan apa?"
"Benda milik Pak Kades yang lama," sahut si Pak Kades akhirnya dengan suara lirih yang menggema entah dari mana. "Hanya dengan itu, saya bisa tetap menjadi Kades dan bukannya dia. Bukannya saya berambisi untuk menjadi Kades, tapi kalau dia lagi yang menjadi Kades, kami tak akan bisa lepas dari ancamannya."
Oh, begitu. "Memangnya Pak Kades nggak bisa ngambil sendiri barang-barang si kakek?"
Pak Kades menggeleng. "Semua barang itu ada di loteng, dan kami semua tidak bisa naik ke atas loteng."
Oh, jadi itu sebabnya anak perempuan itu tidak naik ke loteng, melainkan hanya bertengger di atas tangga saja. Rupanya karena dia tidak bisa naik ke loteng. Yah, barang yang kamu ambil dari atas cuma barang-barang berharga, dan rasanya berat banget menyerahkan barang-barang itu. Tapi sepertinya kamu tidak ada pilihan lain. Tanpa dikasih iming-iming barang berharga pun, kamu harus memberikan barang itu supaya si kakek tua tidak perlu menguasai kampung itu lagi.
Jika pada Episode 8 kamu memilih:
1. Kotak perhiasan kecil, klik di sini.
2. Kantong emas berukuran sedang, klik di sini.
3. Belati perak, klik di sini.
PONSEL
Kamu merasa beruntung banget saat ponsel yang kamu ambil berhasil menangkap sinyal. Akan tetapi pertanyaan sederhana namun sangat membingungkan adalah, sebaiknya siapa yang bisa kamu telepon saat ini untuk dimintai bantuan?
Akhirnya kamu menelepon satu-satunya nomor telepon yang kamu hafal: nomor telepon ibumu.
"Hah? Kamu nyasar di tengah hutan? Makanya, udah disuruh tinggal di rumah bantuin beres-beres rumah, malah maunya traveling! Ya udah, nanti Mama tanyain siapa yang lagi ada di sekitar situ, biar bisa jemput kamu! Omong-omong ini nomor telepon siapa? Handphone kamu juga ilang ya?"
Setelah menyudahi sambungan telepon dengan susah-payah (kamu kan harus irit-irit batere), kamu pun menunggu telepon balik sambil tetap berjalan. Kamu rada tidak yakin ibumu bisa mencari seseorang yang bisa dimintai tolong, tapi mungkin beliau bisa menghubungi polisi, pemadam kebakaran, unit penyelamat bencana alam, atau apa sajalah. Sementara itu, kamu tidak mau berdiam diri. Kamu memutuskan untuk terus berjalan.
Tak lama kemudian ibumu menelepon lagi dan mengatakan bahwa akan ada seseorang yang meneleponmu. Orang itu adalah pemandu yang disarankan oleh polisi. Benar saja, begitu sambungan diputuskan, ponselmu berdering lagi. Sang penelepon memperkenalkan diri sebagai pemandu sekaligus pengawas hutan di daerah sini. Kamu segera menjelaskan posisi terakhir bis dan mengatakan bahwa kamu nyasar di sekitarnya. Lawan bicaramu segera memintamu mencari pemandangan yang kira-kira bisa dijadikan acuan. Untung sekali, ada sebuah jembatan kayu yang kemudian dikenali oleh pemandu tersebut. Dari situ, sang pemandu memandumu menuju jalan raya.
Awalnya kamu rada waswas karena kamu tidak pernah bertemu banjir, padahal itu adalah alasan kenapa kamu turun dari bis. Akan tetapi, kekhawatiranmu tidak beralasan. Kamu nyaris bersorak kegirangan saat melihat sebuah mobil jeep yang terparkir di tepi jalan. Saat kamu melayangkan pandangan, kamu melihat bis kalian tak jauh dari situ. Ada sengatan rasa bersalah bahwa ternyata hanya kamu seorang diri yang selamat. Bahkan si beruang pun tak sanggup kamu selamatkan.
Tapi bukan waktunya kamu berduka. Saat ini, kamu harus menyelamatkan diri. Kamu menghampiri sang pemandu yang ternyata masih muda sekali. Dia juga tampak heran melihatmu.
"Saya memang sedang kebingungan karena ada bis yang terdampar di tengah jalan dan tidak ada yang melaporkan," katanya. "Jadi kamu penumpang bis ini? Bagaimana kalau kita mampir dulu di kantor polisi dan memberikan sedikit keterangan?"
Aduh, apa saja akan kamu lakukan demi hengkang dari tempat ini secepatnya. Kalian pun masuk ke dalam mobil jeep sang pemandu. Mobil itu sudah rada bobrok, tapi kamu tidak keberatan sama sekali. Perlahan-lahan, jeep itu pun melaju, dan kamu merasa lega karena sudah bisa lolos.
Mendadak saja, sebuah muka menemplok di jendela depan.
Oh mannn, si kakek tua ternyata belum mati! Kamu kira dia sudah tidak bisa berkutik lagi sejak ketiga sumber kekuatannya hancur. Memang sih, sekarang dia sudah tak ubahnya seperti mayat hidup, tapi dia masih hidup dan tampaknya dendam banget padamu!
"Saya tidak akan melepaskanmu!" teriaknya sambil dengan muka menempel di jendela dan badan menempel di kap depan mobil. "Saya tidak akan melepaskanmu selamanya!"
Malang baginya, tindakan itu membuat sang pemandu kaget bukan kepalang. Mendadak saja kecepatan jeep menambah pesat sementara arahnya meliuk-liuk. Kamu menjerit bersama-sama sang pemandu yang shock hebat saat mobil keluar dari jalan raya. Pada saat semuanya terlambat, kamu melihat sebatang pohon besar berdiri tegak di depan kalian. Kamu merasakan benturan terkeras dalam hidupmu, dan semuanya menjadi gelap. (HP: -30. MP: -30)
Klik di sini untuk melanjutkan.
KOTAK PERHIASAN KECIL
"Ini Pak," kamu mengulurkan kotak perhiasan yang kamu ambil dari atas loteng itu.
Pak Kades menerima kotak itu dengan takzim, lalu mengeluarkan seuntai kalung yang indah. Kamu memandangi kalung itu dengan penuh sesal. Rasanya tidak rela banget melepaskan kalung itu, tapi kamu harus melakukannya. "Terima kasih. Semoga benda ini sanggup memberikan kesehatan dan kekuatan bagimu, Nak."
Rasanya kamu tidak memercayai matamu saat secercah cahaya emas menguar keluar dari kalung itu, terbang mengelilingimu, lalu lenyap seolah-olah merasuk ke dalam tubuhmu. Mendadak saja kamu merasa jauh lebih baik.
"Sekarang, pergilah," ucap Pak Kades. "Dan semoga kamu berhasil mengalahkannya Nak. Harapan kami semua besertamu."
Kamu mengangguk. "Terima kasih, Pak Kades, Pak Beruang."
Dan seperti itulah, kalian pun berpisah. (HP: +40)
Klik di sini untuk melanjutkan.
MENEROBOS SI KAKEK DAN MENURUNI TANGGA
Rencanamu adalah, menerjang kakek itu begitu dia muncul. Ini berarti, kamu harus mundur beberapa langkah. Namun kamu masih saja berharap kakek itu tidak menyadari keberadaanmu di lantai atas. Itu sebabnya kamu pun bergerak dengan kecepatan yang bisa menyaingi kecepatan seekor siput. Habis, si kakek tua berada tepat di bawahmu. Ini benar-benar bukan saat yang tepat untuk membuat bunyi-bunyian. Rasanya bagaikan bergerak di ladang ranjau. Sewaktu-waktu kamu bisa menginjak tempat yang salah dan, bummm, tahu-tahu saja kamu sudah jadi salah satu penduduk kampung yang suram, dekil, dan punya kuburan pribadi. Dasar sial, dari sekian banyak benda-benda pribadi (mobil pribadi, rumah pribadi, vila pribadi), kenapa kamu malah mendapatkan kuburan pribadi?
Akhirnya kamu berhasil tiba juga di pojok ruangan. Tepat pada saat itu, muncullah muka seorang pria dari lubang di atas lantai loteng, menatapmu dengan mata nyalang. Selama sepersekian detik kamu tidak mengenali wajah itu, tapi sesuatu pada wajah itu mengingatkanmu pada lukisan yang sempat kamu coret-coret itu.
Oh, sial. Ini kan si kakek tua! Tapi kini dia tampak jauh lebih muda. Yah, tidak muda-muda amat sih, tapi setidaknya dia tampak 20 tahun lebih muda. Kini dia tampak seperti om-om setengah kakek-kakek yang masih muda dan segar berusia lima puluh tahunan. Mungkin karena pengaruh kacamata yang dipakainya... Astaga! Memang benar! Kacamata itu pastilah kacamata yang disinggung si anak perempuan, kacamata yang merupakan sumber kekuatannya yang terakhir, yang seharusnya berada di dalam makam Pak Kades! Rupanya dia sudah menggunakan sumber kekuatannya itu. Tak heran kini dia tampak lebih muda dan kuat!
"Halo, Kek!" teriakmu dengan riang dan sok akrab. "Kakek udah tau? Saya berhasil melakukan ide kakek lho! Saya berhasil mengalahkan si sosok merangkak itu!"
"Betul, kamu hebat sekali," si kakek manggut-manggut dengan gaya ikutan sok akrab. Padahal, dari sinar matanya yang liar, terlihat betul dia kepingin memakanmu. "Tapi jangan panggil saya Kakek lagi dong! Saya kan sudah lebih muda! Ayo, panggil saya om!"
Aduh, kenapa sih dia sok muda begitu? Lagi pula, tidak ada keren-kerennya jadi om-om. Kecuali kalo om-om-nya keren kayak Bruce Willis. Tapi kamu tidak ingin membuatnya marah. "Ah, betul banget! Iya, Kakek jadi lebih muda! Mulai sekarang saya panggil Om saja ya!"
"Oke! Oh ya, Nak, berkat kamu, sekarang semua orang sudah kabur dari sini. Jadi situasi sudah aman. Ayo, kita turun bareng!"
Gawat. Benar-benar gawat. Dengan bertambahnya kekuatan si kakek (yah, meski kamu panggil dia Om, di dalam hati kamu tetap menganggapnya kakek-kakek), kamu makin tidak berani mendekat saja!
"Ah, nggak usah, Om," sahutmu sambil tetap merapat pada tembok pojokan loteng. "Saya capek banget. Sekarang saya mau istirahat di sini dulu."
"Kamu bisa istirahat di bawah saja. Kan lebih nyaman. Tenang saja, sudah tidak ada siapa-siapa kok."
Ini benar-benar mirip percakapan si Tudung Merah dan Serigala Jahat. "Ah, nggak lah, Om. Saya nggak berani ambil risiko. Dari tadi saya tunggang-langgang menyelamatkan diri. Kalo mau istirahat, harusnya di tempat yang benar-benar bikin saya merasa damai."
"Oh, begitu. Kalo gitu, saya ikut sama kamu saja deh."
Oke, inilah saatnya! Sebelum si kakek sempat mendekatimu, kamu pun berlari dengan sekuat tenaga demi menerobos si kakek. Tak kamu duga, saat kamu nyaris melewati si kakek, si kakek malah berpindah ke jalan di depanmu, membuatmu terpaksa harus berhenti mendadak--tepat di depan hidung si kakek. Bibir si kakek terangkat membentuk senyum culas.
"Kamu mau ke mana, Nak?"
Tanpa berpikir panjang lagi, kamu pun menarik kacamata si kakek hingga copot.
Oh mannnn, keriput-keriput si kakek memburuk dengan begitu cepat! Lebih parah lagi, gigi-giginya mulai berjatuhan! Ternyata, menyaksikan proses penuaan yang berlangsung dalam hitungan detik benar-benar menakutkan banget! Dalam sekejap, si kakek yang minta dipanggil "Om" berubah jadi kakek buyut yang giginya nyaris ompong.
Tapi kamu tidak merasa bersalah karenanya. Bahkan, tanpa ragu kamu melemparkan kacamata itu ke lantai dan menginjaknya hingga hancur berkeping-keping. Si kakek meraung keras-keras, lalu menarik kerahmu dengan kuat--astaga, sudah jadi kakek buyut kok masih kuat banget?--lalu melemparkanmu ke belakang.
Tepat ke lubang tangga di atas lantai.
Kamu pun menjerit sekuat-kuatnya saat kamu terjun bebas melewati tangga kayu. Kamu sudah siap untuk mati--atau paling tidak, patah beberapa tulang. Akan tetapi, untung luar biasa, saat nyawamu sedang di ujung tanduk, kamu meraih-raih tanpa arah, dan berhasil menyambar pegangan tangga kayu. Mumpung antara kamu dan tanah hanya berjarak kurang dari satu meter, kamu pun meloncat turun. Namun kamu tidak sepenuhnya beruntung. Jempol kamu tertekuk dan, karena itu, jadi terkilir. Yah, mendinglah cuma jempol, daripada nyawa kamu melayang.
Sambil tertatih-tatih, kamu keluar dari rumah. Untung sekali, tidak ada halangan yang berarti. Seperti kata si kakek, semua orang sudah diusir olehnya. Bahkan si anak perempuan pun tidak terlihat lagi. (HP: -5, MP: -35)
Klik di sini untuk melanjutkan.
EPILOG
Kamu terbangun di rumah sakit. Orangtuamu sedang memandangimu dengan khawatir, sementara dokter tampak lega sekali seolah-olah tadinya dia sudah mengiramu bakalan mati. Tubuhmu sakit-sakit, tapi kamu lega melihat cermin yang memantulkan bayangan dirimu yang masih komplit--dua tangan, dua kaki, muka yang agak babak-belur namun utuh.
"Apa yang terjadi?" bisikmu.
"Polisi menceritakan pada kami, bahwa kamu terkena sebuah kecelakaan," cerita ayahmu. "Kendaraan yang kamu tumpangi terbalik, dan kamu sendiri sempat menderita gegar otak. Selain itu, sebagian besar tubuhmu juga memar-memar, tapi kata dokter kamu akan baik-baik saja."
"Orang yang bersamaku?"
Sebelum orangtuamu menjawab, dokter menyela, "Semua pertanyaan akan kita jawab besok, oke? Sekarang kita akan jalani pemeriksaan dulu untuk mengecek tanda-tanda vitalmu. Apabila semuanya baik-baik saja, kamu bisa mendengar semuanya dari polisi."
Jadilah hari itu kamu menghabiskan waktu dengan menjalani beberapa pemeriksaan. Saat malam tiba, orangtuamu pulang sementara kamu beristirahat di kamarmu. Kamu lega karena kamu tidak tidur di kamar VIP. Setelah mengalami kejadian yang begitu mengerikan dan traumatis, rasanya tidak enak kalau harus tidur sendirian. Lebih baik ada orang yang menemani.
Meski kondisi orang di sebelahmu tampak lebih parah darimu. Kebanyakan tubuhnya terbalut perban dan gips, termasuk mukanya. Mana sedari tadi dia tidur pula. Kalau ada apa-apa, mungkin kamu yang harus melindunginya. Bukan berarti akan ada apa-apa. Sekarang kan kamu sudah aman. Kamu sudah keluar dari kampung itu. Kamu sudah aman. Kamu bahkan sudah mengalahkan si kakek tua. Malahan, barangkali kamu sudah membunuhnya.
Tapi tunggu dulu. Kenapa tidak ada yang bilang apa-apa soal kamu membunuh atau menabrak orang? Kenapa tidak ada yang cerita apa-apa soal kecelakaan itu?
Jangan-jangan...
Kamu hanya bisa menatap ngeri ke ranjang sebelah saat pasien itu duduk tegak dengan gerakan pelan namun kuat. Pasien itu tampak lebih mirip mumi daripada pasien rumah sakit, dan sulit untuk dikenali. Tapi sepasang mata licik dan culas di balik perban itu tidak mungkin salah.
Kamu menekan-nekan tombol bel untuk memanggil perawat, akan tetapi tidak ada yang datang. Sementara itu, si pasien sudah sedang berjalan ke arahmu.
"Sudah saya bilang," suara si kakek tua bergema dari balik perban, "saya tidak akan melepaskanmu."
T H E E N D
INSTRUKSI MysteryGame@Area47 UNTUK MINGGU INI:
Hai para peserta MysteryGame@Area47!
Selamat, akhirnya petualanganmu berakhir juga! Untuk episode terakhir ini, kirimkan email ke
lexiexu47@gmail.com dengan subject yang diisi dengan "Holiday in Hell episode 10" diikuti nama, "HP=" diikuti jumlah HP terakhir diikuti "MP=" diikuti jumlah MP terakhir. Setelah itu, bersiaplah untuk menanti pengumuman nama pemenang.
Kalex tunggu jawabannya sampai enam hari lagi! ^^v
Have a great night, everybody!
xoxo,
Lexie