Wednesday, December 25, 2013

Review The Cuckoo's Calling (Robert Galbraith)

Ketika seorang supermodel jatuh dari ketinggian balkon di Mayfair yang bersalju, polisi menetapkan bahwa ini kasus bunuh diri. Namun, kakak korban meragukan keputusan itu, dan menghubungi sang detektif partikelir, Cormoran Strike, untuk menyelidikinya.

Strike seorang veteran perang yang memiliki luka fisik dan luka batin. Hidupnya sedang kisruh. Kasus ini memberinya kelonggaran dalam hal keuangan, tapi menuntut imbalan pribadi yang mahal: semakin jauh dia terbenam dalam kasus ini, semakin kelam kenyataan yang ditemuinya---dan semakin besar bahaya yang mengancam nyawanya...

Kisah misteri yang mencekam dan anggun, mengelana di antara atmosfer London yang pekat---dari jalanan Mayfair yang mewah dan sunyi, ke bar-bar suram di East End, hingga ke keriuhan Soho. The Cuckoo’s Calling adalah kisah misteri yang menawan.

Memperkenalkan Cormoran Strike, inilah novel kriminal pertama J.K. Rowling, menggunakan nama alias Robert Galbraith.

“Sesekali, muncul seorang detektif partikelir yang langsung merenggut imajinasi pembaca... [Galbraith] memiliki sentuhan ajaib dalam menggambarkan London dan memperkenalkan jagoan barunya.”
—Daily Mail



The Cuckoo’s Calling (Dekut Burung Kukuk)


Penulis: Robert Galbraith
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 22 Desember 2013
Harga: Rp. 99.000,-
Tebal: 520 halaman


“Bagaimana kematian seseorang yang tak pernah kaukenal begitu memengaruhimu?”
― Robert Galbraith, The Cuckoo’s Calling

“Yang mati hanya bisa berbicara melalui mulut orang-orang yang ditinggalkan, dan melalui tanda-tanda yang terserak di belakang mereka.”
― Robert Galbraith, The Cuckoo’s Calling

Siapa yang tidak kenal dengan J.K. Rowling? Penulis serial Harry Potter ini sudah identik banget dengan novel-novel bergenre fantasi. Tidak diduga-duga, beliau akhirnya menulis novel bergenre misteri juga! Jelas, novel ini adalah salah satu novel yang paling dinantikan di tahun 2013 ini. Thanks God, saya memiliki kesempatan untuk membaca buku ini jauh lebih cepat dari yang saya duga.

The Cuckoo’s Calling ditulis oleh J.K. Rowling dengan nama pena Robert Galbraith. Mengingat salah satu penulis favorit saya yang lain yang juga menulis dengan nama pena (Nora Roberts sebagai J.D. Robb), saya sudah mengharapkan novel yang sangat jauh berbeda dengan Harry Potter. Ternyata, harapan saya tidak sia-sia, bahkan lebih baik lagi: gaya penulisan Robert Galbraith yang lincah, cerdas, dan kocak benar-benar sesuai dengan gaya penulisan yang saya sukai. Dalam sekejap, saya langsung jatuh cinta pada Robert Galbraith.

Satu-satunya persamaan dengan serial Harry Potter—hal yang sangat saya syukuri—adalah tokoh-tokoh dengan karakter kuat, baik tokoh-tokoh utama maupun para figuran. Beberapa menyebalkan, tetapi kebanyakan sangat menarik. Lebih banyak menggunakan adegan-adegan singkat dan menarik ketimbang kata-kata sifat, Robert Galbraith mampu membuat kita semua menyukai Cormoran Strike dan bersimpati pada kisah hidupnya yang tidak terlalu bahagia. Mau tidak mau kita juga langsung menyukai Robin Ellacott, sang asisten, yang lebih memilih gaji kecil dan pekerjaan mengasyikkan daripada gaji besar dengan pekerjaan membosankan. Kita ikut memikirkan kesedihan sang korban, Lula Landry alias Cuckoo, yang cantik dan eksotis, dengan hidup yang berantakan dan pacar yang lebih berantakan lagi. Yang tidak kalah menarik bagiku adalah Ciara Porter, si supermodel pirang yang aslinya ternyata jauh lebih menarik daripada foto-fotonya.

Sesuai dengan sinopsis di cover belakang, The Cuckoo’s Calling adalah kisah mengenai penyelidikan seorang detektif partikelir bernama Cormoran Strike atas pembunuhan seorang supermodel bernama Lula Landry yang juga dikenal dengan julukan Cuckoo. Di awal kisah, kondisi Cormoran Strike yang sedang malang-malangnya mulai berubah saat dia bertemu dengan asisten baru, Robin Ellacott yang cantik, cerdas, dan panjang akal. Penyelidikan mengenai Lula mengantarnya pada saksi-saksi yang menarik, yang bisa diandalkan maupun yang suka berbohong, yang benar-benar menyukai Lula maupun yang hanya menginginkan keuntungan pribadi. Pada akhirnya, kisah ditutup dengan penyelesaian yang sempurna, yang menjelaskan setiap kejanggalan dan keanehan yang ditemui oleh Cormoran.

Meski demikian, semuanya tidak benar-benar berakhir. Timbul banyak pertanyaan mengenai Cormoran dan Robin. Apakah Cormoran akan bertemu dengan ayahnya? Bagaimanakah kelanjutan hubungan Robin dengan Matthew setelah dia membuat keputusan penting mengenai karirnya? Apakah harapan kita para pembaca akan terwujud untuk melihat Cormoran bersama-sama dengan Robin? Saya rasa, setiap pembaca The Cuckoo’s Calling pasti akan memiliki keinginan yang sama: kami ingin segera membaca sekuelnya! Keinginan ini sepertinya akan terwujud, karena di Goodreads kita bisa melihat bahwa ini hanyalah buku pertama dari serial Cormoran Strike. Yayyy!

Secara singkat, pendapat saya untuk The Cuckoo’s Calling bisa diringkas dalam satu kata: brilian! Setelah menulis serial Harry Potter yang terkenal, J.K. Rowling sanggup menciptakan novel lain dengan genre dan gaya penulisan yang sangat berbeda dengan buku perdana yang sangat menjanjikan. Untuk selanjutnya, kita bisa mengharapkan buku-buku luar biasa lain lagi dari J.K. Rowling. Mungkin dengan genre lain—horor?

The Cuckoo’s Calling diterjemahkan di Indonesia dengan judul Dekut Burung Kukuk oleh Siska Yuanita, editor senior, dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Desain sampul yang manis dilakukan oleh Marcel A.W.

Review ini juga di-post di Goodreads.

Thursday, October 24, 2013

Kumpulan Cerpen: Tales From The Dark

Penulis: Christina Juzwar, Christina Tirta, Dadan Erlangga, Erlin Cahyadi, Lea Agustina Citra, Lexie Xu, Luna Torashyngu, Poppy D. Chusfani, Pricillia A.W., Regina Feby, Valleria Verawati, Veronica B. Vonny, Yennie Hardiwidjaja
Editor: Novera Kresnawati
Cover Illustrator: Dadan Erlangga

Sinopsis:
“Ini adalah kumpulan kisah kami. Kisah-kisah yang kami bisikkan dalam kegelapan, kisah-kisah sebelum kami bertemu kematian...”

Saat cewek-cewek populer mengadakan slumber party, Marcia malah menemukan sebuah video yang tidak boleh dilihat. Windy terpaksa tinggal di rumah tua milik kenalannya demi kuliah, dan tidak dinyana rumah itu menyimpan rahasia masa lalu yang tidak diingatnya lagi. Amira terkena hukuman untuk sesuatu yang bukan salahnya, dan semuanya berubah menjadi bencana saat dia menemukan jalan rahasia. Sementara Kinara tidak pernah mengerti, kenapa semuanya harus menjadi milik Galuh?

Ada pula kisah tentang rumah permintaan yang bisa mengabulkan apa saja untuk sebuah harga tinggi. Ada kisah tentang kakak-beradik yang terjebak di ruko tua. Ada kisah tentang pacar lama yang menagih janji. Ada kisah tentang seorang cewek yang sakit hati karena dijadikan taruhan. Dan ada kisah tentang sebuah keluarga misterius yang terlalu bersemangat membuat kostum Halloween.

Pernahkah kalian dikuntit oleh perempuan berponi dengan rambut panjang? Pernahkah kalian mendapat hadiah-hadiah aneh yang semakin lama semakin mengerikan? Pernahkah kalian menjanjikan sesuatu pada orang yang baru dikenal? Dan pernahkah kalian bertanya-tanya, apakah rahasia yang selalu disembunyikan sahabat terdekatmu?

Ini adalah kumpulan cerpen thriller dan horor dari 13 penulis dengan karakter yang berbeda-beda. Apakah kalian punya nyali untuk membacanya?

Thursday, October 3, 2013

OMEN #3: Misteri Organisasi Rahasia The Judges

Penulis: Lexie Xu
Editor: Novera Kresnawati
Cover Illustrator: Regina Feby

Sinopsis:
File 3 : Kasus penganiayaan murid-murid SMA Harapan Nusantara dalam proses seleksi anggota organisasi rahasia “The Judges”.

Tertuduh :
Penyelenggara proses seleksi itu, alias para anggota “The Judges” yang semuanya misterius, mencurigakan, dan menyebalkan. Sifat sok berkuasa mereka membuat mereka jadi tertuduh ideal. Belum lagi undangan demi undangan yang dilayangkan pada para anggota kendati sudah terjadi peristiwa-peristiwa tak mengenakkan, menandakan mereka tidak peduli pada korban. Tentu saja, tertuduh utama adalah pemimpin organisasi sok keren ini, si Hakim Tertinggi.

Fakta-fakta :
Pada minggu terakhir tahun ajaran, surat-surat undangan dilayangkan pada anak-anak paling cerdas dan berbakat di kelas X, mengajak kami untuk mengikuti proses seleksi untuk menjadi anggota organisasi paling berpengaruh di sekolah kami. Tidak dinyana, satu per satu kami diserang secara brutal pada proses seleksi, ditinggalkan dalam posisi seolah-olah mereka menjadi korban ritual sebuah upacara.

Misi kami :
Menemukan pelaku kejahatan sebelum kami sendiri menjadi korban.

Penyidik Kasus,
Erika Guruh, Valeria Guntur, dan Rima Hujan

Sunday, September 1, 2013

MysteryGame@Area47: HOLIDAY IN HELL™, episode 10 (final battle)

PERTARUNGAN TERAKHIR! 

Pertarungan terakhir kalian melawan si kakek tua yang mengendalikan sebuah kampung yang dipenuhi orang-orang mati! Cek kembali nilai-nilai HP dan MP yang kamu dapatkan pada saat menempuh episode 7 (battle #2). Kini kita akan menghadapi saat-saat penentuan, apakah kamu akan mengakhiri kisah ini dengan selamat, penuh luka-luka, ataukah nyaris mati? Dan bagaimana akhir cerita ini? Sanggupkah kamu mengembalikan kampung itu pada jalan mereka yang seharusnya? Semua jawaban ada dalam pilihan-pilihanmu!

Jantungmu nyaris berhenti berdetak saat tubuh si anak perempuan tiba-tiba merosot turun ke bawah tangga. Kamu berusaha menangkap tangan si anak perempuan, tapi tangan itu meluncur keluar dari genggamanmu, dan kamu hanya bisa menangkap angin. Kamu hanya bisa menatap wajah si anak perempuan yang tampak begitu polos sekaligus dipenuh kengerian sampai wajah itu lenyap dari pandanganmu. Beginikah rasanya melihat anak kecil yang akan disiksa? Betul-betul hal yang paling menakutkan dan menyedihkan untuk dilihat. Kamu rasa, sampai kapan pun juga, kamu tidak akan pernah bisa melupakannya.

"Dasar anak ingusan tolol!" bentak si kakek tua, kali ini tidak menyembunyikan suaranya yang ternyata keji dan menakutkan. "Kamu bantuin anak sialan itu lagi ya? Sebenarnya kamu tahu tidak sih, siapa majikanmu? Atau otakmu juga sudah ikut mati?"

Kamu tidak bisa mendengar apa jawaban anak itu. Kamu bahkan tidak tahu apa yang dilakukan si kakek tua terhadap dirinya. Tapi kamu tahu satu hal: anak perempuan itu sudah begitu banyak berkorban demi kamu, dan kamu tidak boleh menyia-nyiakan semua itu. Jadi, kamu pun mulai bergerak.

Jika pada Episode 9 kamu memilih:

1. Lari melalui lubang di atap, klik di sini.
2. Menerobos si kakek dan menuruni tangga, klik di sini.
3. Ngumpet di salah satu peti besar yang kosong, klik di sini.

RADIO HT

Kamu merasa beruntung banget saat radio HT yang kamu gunakan berhasil menangkap sinyal. Seketika kamu langsung berteriak-teriak ke dalam radio HT itu. Rasanya kamu nyaris pingsan saat mendengar ada jawaban, "Ini siapa? Kamu ada di mana?"

Kamu segera menjelaskan posisi terakhir bis dan mengatakan bahwa kamu nyasar di sekitarnya. Pria yang bicara denganmu memperkenalkan diri sebagai polisi yang patroli dan memintamu mencari pemandangan yang kira-kira bisa dijadikan acuan. Untung sekali, ada sebuah jembatan kayu yang kemudian dikenali oleh polisi itu. Dari situ, sang polisi memandumu menuju jalan raya.

Awalnya kamu rada waswas karena kamu tidak pernah bertemu banjir, padahal itu adalah alasan kenapa kamu turun dari bis. Akan tetapi, kekhawatiranmu tidak beralasan. Kamu nyaris bersorak kegirangan saat melihat sebuah pikap polisi yang terparkir di tepi jalan. Saat kamu melayangkan pandangan, kamu melihat bis kalian tak jauh dari situ. Ada sengatan rasa bersalah bahwa ternyata hanya kamu seorang diri yang selamat. Bahkan si beruang pun tak sanggup kamu selamatkan.

Tapi bukan waktunya kamu berduka. Saat ini, kamu harus menyelamatkan diri. Kamu menghampiri si polisi yang ternyata masih muda sekali. Dia juga tampak heran melihatmu.

"Saya memang sedang kebingungan karena ada bis yang terdampar di tengah jalan dan tidak ada yang melaporkan," katanya. "Jadi kamu penumpang bis ini? Bisa bantu berikan keterangan di kantor polisi?"

Aduh, apa saja akan kamu lakukan demi hengkang dari tempat ini secepatnya. Kalian pun masuk ke dalam mobil patroli. Mobil itu perlahan-lahan melaju, dan kamu merasa lega karena sudah bisa lolos.

Mendadak saja, sebuah muka menemplok di jendela depan. Oh mannn, si kakek tua ternyata belum mati! Kamu kira dia sudah tidak bisa berkutik lagi sejak ketiga sumber kekuatannya hancur. Memang sih, sekarang dia sudah tak ubahnya seperti mayat hidup, tapi dia masih hidup dan tampaknya dendam banget padamu!

"Saya tidak akan melepaskanmu!" teriaknya dari luar. "Saya tidak akan melepaskanmu selamanya!"

Malang baginya, tindakan itu membuat si polisi kaget bukan kepalang. Mendadak saja kecepatan mobil menambah pesat sementara arahnya meliuk-liuk. Kamu menjerit bersama-sama si polisi yang shock hebat saat mobil keluar dari jalan raya. Pada saat semuanya terlambat, kamu melihat sebatang pohon besar berdiri tegak di depan kalian. Kamu merasakan benturan terkeras dalam hidupmu, dan semuanya menjadi gelap. (HP: -30. MP: -35)

Klik di sini untuk melanjutkan.

BELATI PERAK

"Ini Pak," kamu mengulurkan belati perak yang kamu ambil dari atas loteng itu.

Pak Kades menerima belati itu dengan takzim. "Terima kasih. Semoga benda ini sanggup memberikan kesehatan dan kekuatan bagimu, Nak."

Rasanya kamu tidak memercayai matamu saat secercah cahaya perak menguar keluar dari belati itu, terbang mengelilingimu, lalu lenyap seolah-olah merasuk ke dalam tubuhmu. Mendadak saja kamu merasa lebih baik.

"Sekarang, pergilah," ucap Pak Kades. "Dan semoga kamu berhasil mengalahkannya Nak. Harapan kami semua besertamu."

Kamu mengangguk. "Terima kasih, Pak Kades, Pak Beruang."

Dan seperti itulah, kalian pun berpisah. (HP: +25)

Klik di sini untuk melanjutkan.

NGUMPET DI SALAH SATU PETI BESAR YANG KOSONG

Kamu mendekati peti besar di belakang dengan kecepatan yang bisa menyaingi kecepatan seekor siput. Habis, si kakek tua berada tepat di bawahmu. Ini benar-benar bukan saat yang tepat untuk membuat bunyi-bunyian. Rasanya bagaikan bergerak di ladang ranjau. Sewaktu-waktu kamu bisa menginjak tempat yang salah dan, bummm, tahu-tahu saja kamu sudah jadi salah satu penduduk kampung yang suram, dekil, dan punya kuburan pribadi. Dasar sial, dari sekian banyak benda-benda pribadi (mobil pribadi, rumah pribadi, vila pribadi), kenapa kamu malah mendapatkan kuburan pribadi?

Akhirnya kamu berhasil tiba juga di depan peti itu. Begitu kamu mengangkat tutupnya, tiba-tiba terdengar suara krieekkk membahana.

Oh, sial.

Mendengar bunyi langkah terburu-buru yang berasal dari bawah, kamu pun buru-buru memanjat ke dalam peti. Untunglah peti itu hanya terisi separuh. Kamu terpaksa harus join dengan pakaian-pakaian bekas berbalut debu dan berbau apek amit-amit, tapi semua bau-bauan dan kekotoran itu tidak ada artinya dibanding dengan ketakutanmu bertemu si kakek.

Kamu lega banget saat berhasil menutup pintu peti tanpa menimbulkan keributan. Selama beberapa lama, kamu hanya mendekam di dalam peti ditemani debu, pakaian bekas, dan jantungmu yang berdentam-dentam keras.

Lalu, tiba-tiba saja, peti terbuka, menampakkan wajah seorang pria yang sedang menatapmu dengan tatapan liar. Selama sepersekian detik kamu tidak mengenali wajah itu, tapi sesuatu pada wajah itu mengingatkanmu pada lukisan yang sempat kamu coret-coret itu.

Oh, sial. Ini kan si kakek tua! Tapi kini dia tampak jauh lebih muda. Yah, tidak muda-muda amat sih, tapi setidaknya dia tampak 20 tahun lebih muda. Kini dia tampak seperti om-om setengah kakek-kakek yang masih muda dan segar berusia lima puluh tahunan. Mungkin karena pengaruh kacamata yang dipakainya... Astaga! Memang benar! Kacamata itu pastilah kacamata yang disinggung si anak perempuan, kacamata yang merupakan sumber kekuatannya yang terakhir, yang seharusnya berada di dalam makam Pak Kades! Rupanya dia sudah menggunakan sumber kekuatannya itu. Tak heran kini dia tampak lebih muda dan kuat!

Gawat. Benar-benar gawat.

"Kakek!" serumu dengan suara gembira yang rada lebay. Buru-buru kamu bangkit sebelum sempat dipretelin si kakek. "Untunglah Kakek datang! Saya dikurung di sini, Kek!"

"Wah, untunglah saya datang, Nak!" Si kakek kelihatan banget berusaha menutupi kecurigaannya. "Padahal nggak susah lho bebasin kamu! Kan petinya cuma ditutup aja dan nggak dikunci!"

"Iya, tapi susah bukanya dari dalam, soalnya berat dan posisi saya nggak memungkinkan," kilahmu dengan gaya nyolot demi mempertahankan alasanmu sekaligus nyawamu. "Pokoknya memang beruntung sekali saya ditolong Kakek..."

"Nak, jangan panggil saya Kakek lagi dong!" sela si kakek mendadak. "Saya kan sudah lebih muda! Ayo, panggil saya om!"

Aduh, kenapa sih dia sok muda begitu? Lagi pula, tidak ada keren-kerennya jadi om-om. Kecuali kalo om-om-nya keren kayak Bruce Willis. Tapi kamu tidak ingin membuatnya marah. "Ah, betul banget! Iya, Kakek jadi lebih muda! Mulai sekarang saya panggil Om saja ya! Oh ya Om, kok Om bisa sampai di sini sendirian? Saya aja nyaris mati nih!"

"Iya, berkat kamu, orang-orang itu udah nggak berdaya lagi. Bahkan berhasil saya usir tuh semuanya dari rumah ini. Jadi kita udah bisa turun dengan aman."

"Baiklah, Om. Kalo gitu, ayo kita turun berdua."

Kamu menggamit lengan si kakek. Tapi bukannya mengajak dia turun bareng, kamu malah mendorongnya ke dalam peti. Kamu kaget luar biasa saat si kakek tetap bergeming saat kamu dorong. Dengan mata menyipit geram, dia bertanya, "Kamu mau mengurungku ya, Nak?"

Gawat. Tanpa berpikir panjang lagi, kamu pun menarik kacamata si kakek hingga copot. Oh mannnn, keriput-keriput si kakek memburuk dengan begitu cepat! Lebih parah lagi, gigi-giginya mulai berjatuhan! Ternyata, menyaksikan proses penuaan yang berlangsung dalam hitungan detik benar-benar menakutkan banget! Dalam sekejap, si kakek yang minta dipanggil "Om" berubah jadi kakek buyut yang giginya nyaris ompong.

Tapi kamu tidak merasa bersalah karenanya. Bahkan, tanpa ragu kamu melemparkan kacamata itu ke lantai dan menginjak-injaknya. Si kakek meraung keras-keras, lalu, sebelum kamu sempat membuat kacamata itu hancur berkeping-keping, dia menonjokmu kuat-kuat--astaga, sudah kembali jadi kakek buyut begini kok tetap masih kuat banget?--sampai kamu terlempar ke dinding atap yang rapuh.

Sial, dinding atapnya hancur!

Kamu pun menjerit sekuat-kuatnya saat kamu terjun bebas melewati tepian atap. Kamu sudah siap untuk mati--atau paling tidak, patah beberapa tulang. Akan tetapi, untung luar biasa, saat nyawamu sedang di ujung tanduk, kamu meraih-raih tanpa arah, dan berhasil menyambar tepian jendela di lantai dua. Mumpung antara kamu dan tanah hanya berjarak kurang dari dua meter, kamu pun meloncat turun. Namun kamu tidak sepenuhnya beruntung. Kaki kamu tertekuk dan, karena itu, jadi terkilir. Yah, mendinglah cuma kaki, daripada nyawa kamu melayang. (HP: -15, MP: -20)

Klik di sini untuk melanjutkan.

PELARIAN TERAKHIR

Setelah jauh dari semua orang, kamu pun berjongkok dan mengeluarkan jam rantai itu. Sebenarnya jam rantai itu sangat indah. Sayang sekali kamu harus menghancurkannya. Tapi kamu lebih menghargai nyawamu, belum lagi harapan seluruh kampung tertumpu padamu. Jadi, kamu pun memungut sebuah batu besar dan runcing, lalu mulai menghancurkan jam rantai itu.

Kamu terkejut saat benturan pertama pada jam rantai membuat langit mulai terang. Kamu membenturkan batu pada jam rantai lagi, dan langit semakin terang. Akhirnya! Rupanya memang benar dugaanmu. Malam tidak berakhir karena kekuatan dari si kakek tua, dan kini, dengan hancurnya semua sumber kekuatannya, malam ini akan berakhir! Yes!!

Akhirnya, saat jam rantai itu hancur semuanya, langit sudah berwarna biru muda. Pagi sudah menjelang. Lebih indah lagi, kamu mendengar kicauan burung. Sepertinya kamu sudah lepas dari kampung itu. Mungkin, kalau kamu berjalan cukup jauh, kamu takkan berputar-putar di dalam hutan lagi. Kalau kamu cukup beruntung, barangkali kamu bisa menemukan jalan raya.

Sambil berjalan, kamu memutuskan untuk mencoba keberuntunganmu menggunakan alat komunikasi yang kamu temukan.

Jika pada Episode 7 kamu memilih:

1. Ponsel, klik di sini.
2. Radio HT, klik di sini.
3. Tablet, klik di sini.


TABLET

Kamu merasa beruntung banget saat tabletmu berhasil menangkap sinyal. Buru-buru kamu menampilkan Google Maps. Kamu takjub banget melihat ada sebuah tanda di sebuah jalan raya. Perasaanmu mengatakan bahwa tanda itu adalah bis yang kamu tumpangi. Pertanyaannya, sekarang kamu ada di mana?

Kamu menggunakan fasilitas Satelit pada Google Maps, lalu mulai mencocokkannya dengan pemandangan di sekitarmu. Untung sekali, ada sebuah jembatan kayu yang terlihat dalam Google Maps juga. Dengan acuan jembatan kayu itu, kamu mulai mencari jalan menuju tanda di jalan raya itu.

Awalnya kamu rada waswas karena kamu tidak pernah bertemu banjir, padahal itu adalah alasan kenapa kamu turun dari bis. Akan tetapi, kekhawatiranmu tidak beralasan. Kamu bersorak kegirangan saat benar-benar menemukan bis kalian. Rupanya banjir memang sudah surut. Kamu masuk ke dalam--dan mendapatkan bis itu kosong melompong. Mendadak ada sengatan rasa bersalah bahwa ternyata hanya kamu seorang diri yang selamat. Bahkan si beruang pun tak sanggup kamu selamatkan.

Tapi bukan waktunya kamu berduka. Saat ini, kamu harus meloloskan diri. Masalahnya, kamu tidak punya supir, dan satu-satunya pengalaman menyetirmu didapat dari permainan balap di GameMaster. Yah, buat apa punya tablet? Kamu mencari cara menyetir dan mulai mempraktekkannya secara kilat.

Kamu menginjak kopling, memasukkan persneling, lalu perlahan-lahan melepas kopling seraya menginjak gas. Yayyy, bisnya jalan!!

Sedang girang-girangnya, tiba-tiba sebuah muka menemplok di jendela depan. Oh mannn, si kakek tua ternyata belum mati! Kamu kira dia sudah tidak bisa berkutik lagi sejak ketiga sumber kekuatannya hancur. Memang sih, sekarang dia sudah tak ubahnya seperti mayat hidup, tapi dia masih hidup dan tampaknya dendam banget padamu!

"Saya tidak akan melepaskanmu!" teriaknya dari luar. "Saya tidak akan melepaskanmu selamanya!"

Kamu menginjak gas sedalam-dalamnya, lalu menambah kecepatan dengan menginjak kopling, mengganti persneling, dan menginjak gas lagi--terus hingga speedometer menunjukkan kamu bergerak dalam kecepatan di atas 60 km/jam. Oke, ini bukan kecepatan maksimalmu, akan tetapi bagimu ini sudah kencang banget, apalagi dengan penumpang gelap yang mengerikan yang sedang menemplok di kaca depan bis. Rasanya mengerikan sekali. Kamu bahkan tidak bisa melihat jalanan dengan jelas.

Dan pada saat semuanya terlambat, kamu melihat sebuah truk melaju ke arahmu. Kamu merasakan benturan terkeras dalam hidupmu, dan semuanya menjadi gelap. (HP: -20. MP: -45)

Klik di sini untuk melanjutkan.

KANTONG EMAS BERUKURAN SEDANG

"Ini Pak," kamu mengulurkan kantong emas yang kamu ambil dari atas loteng itu.

Pak Kades menerima kantong itu dengan takzim, lalu mengeluarkan kepingan-kepingan emas dari dalam yang membuat matamu melotot. Duh, andai saja kamu membawa pulang emas-emas itu, pasti kamu langsung tajir! "Terima kasih. Semoga benda ini sanggup memberikan kesehatan dan kekuatan bagimu, Nak."

Rasanya kamu tidak memercayai matamu saat secercah cahaya emas menguar keluar dari setiap keping emas itu, terbang mengelilingimu, lalu lenyap seolah-olah merasuk ke dalam tubuhmu. Mendadak saja kamu merasa jauh lebih baik.

"Sekarang, pergilah," ucap Pak Kades. "Dan semoga kamu berhasil mengalahkannya Nak. Harapan kami semua besertamu."

Kamu mengangguk. "Terima kasih, Pak Kades, Pak Beruang."

Dan seperti itulah, kalian pun berpisah. (HP: +50)

Klik di sini untuk melanjutkan.

LARI MELALUI LUBANG DI ATAP

Kamu mendekati lubang di atas atap dengan kecepatan yang bisa menyaingi kecepatan seekor siput. Habis, si kakek tua berada tepat di bawahmu. Ini benar-benar bukan saat yang tepat untuk membuat bunyi-bunyian. Rasanya bagaikan bergerak di ladang ranjau. Sewaktu-waktu kamu bisa menginjak tempat yang salah dan, bummm, tahu-tahu saja kamu sudah jadi salah satu penduduk kampung yang suram, dekil, dan punya kuburan pribadi. Dasar sial, dari sekian banyak benda-benda pribadi (mobil pribadi, rumah pribadi, vila pribadi), kenapa kamu malah mendapatkan kuburan pribadi?

Akhirnya kamu berhasil tiba juga di depan lubang itu. Baru saja kamu mulai memanjat, tiba-tiba sekeping genteng jatuh ke atas lantai kayu dan pecah berantakan.

Oh, sial.

Mendengar bunyi langkah terburu-buru yang berasal dari bawah, kamu pun buru-buru memanjat. Untungnya, bagian lain dari atap itu ternyata masih cukup kokoh untuk menahan berat badanmu. Saat kamu sudah bertengger di atas atap, kamu melihat muka seorang pria dari lubang di atas lantai loteng, menatapmu dengan mata nyalang. Selama sepersekian detik kamu tidak mengenali wajah itu, tapi sesuatu pada wajah itu mengingatkanmu pada lukisan yang sempat kamu coret-coret itu.

Oh, sial. Ini kan si kakek tua! Tapi kini dia tampak jauh lebih muda. Yah, tidak muda-muda amat sih, tapi setidaknya dia tampak 20 tahun lebih muda. Kini dia tampak seperti om-om setengah kakek-kakek yang masih muda dan segar berusia lima puluh tahunan. Mungkin karena pengaruh kacamata yang dipakainya... Astaga! Memang benar! Kacamata itu pastilah kacamata yang disinggung si anak perempuan, kacamata yang merupakan sumber kekuatannya yang terakhir, yang seharusnya berada di dalam makam Pak Kades! Rupanya dia sudah menggunakan sumber kekuatannya itu. Tak heran kini dia tampak lebih muda dan kuat!

"Bye, Kek!" teriakmu dengan riang dan rada sok akrab. "Saya jalan-jalan dulu ya!"

"Ngapain kamu milih jalan-jalan di atap? Kan bahaya banget, Nak!" Oke, rupanya si kakek tua juga ikut-ikutan memasang sikap sok akrab. Padahal, dari sinar matanya, terlihat betul dia kepingin memakanmu.

Gawat. Benar-benar gawat.

"Iya nih, Kek," ucapmu sambil beringsut-ingsut menjauh. "Pemandangan di sini indah banget. Aman pula dari orang-orang itu. Jadi saya kepingin istirahat dulu di sini."

"Kamu bisa istirahat di dalam. Saya sudah mengusir semua orang itu kok."

Ini benar-benar mirip percakapan si Tudung Merah dan Serigala Jahat. "Ah, nggak lah, Kek. Saya nggak berani ambil risiko. Dari tadi saya tunggang-langgang menyelamatkan diri. Kalo mau istirahat, harusnya di tempat yang benar-benar bikin saya merasa damai."

"Oh, begitu. Kalo gitu, saya ikut sama kamu saja deh. Dan omong-omong, jangan panggil saya Kakek lagi dong! Saya kan sudah lebih muda! Ayo, panggil saya om!"

Aduh, kenapa sih dia sok muda begitu? Lagi pula, tidak ada keren-kerennya jadi om-om. Kecuali kalo om-om-nya keren kayak Bruce Willis. Tapi kamu tidak ingin membuatnya marah. "Ah, betul banget! Iya, Kakek jadi lebih muda! Mulai sekarang saya panggil Om saja ya! Oh ya Om, sebaiknya m jangan ikut saya ke sini. Bahaya! Om bisa jatuh!"

"Nggak apa-apa. Saya kan sudah lebih muda! Mana mau saya dibilang kalah sama anak muda?"

Sial. Ini berarti kamu harus bergerak cepat. "Baiklah, tapi tunggu sebentar, Om! Saya akan cek dulu tempat ini kokoh atau tidak untuk kita berdua."

Tentu saja, itu hanya akal-akalan kamu saja. Tanpa ragu kamu mulai menuruni pipa saluran air yang terletak di pojok belakang rumah. "Sebentar ya, Om. Sebentar!"

"Ah, lama amat kamu, Nak. Biar saya susul saja."

Jantungmu nyaris mencelos saat melihat wajah si kakek sekali lagi nongol tepat di atas kepala kamu.

"Mau lari ya?" senyum si kakek culas. "Sini kubantu."

"Tidak usah, Kek, tidak usah." Dalam kondisi panik, kamu pun menarik kacamata si kakek hingga copot. Oh mannnn, keriput-keriput si kakek memburuk dengan begitu cepat! Lebih parah lagi, gigi-giginya mulai berjatuhan! Ternyata, menyaksikan proses penuaan yang berlangsung dalam hitungan detik benar-benar menakutkan banget! Dalam sekejap, si kakek yang minta dipanggil "Om" berubah jadi kakek buyut yang giginya nyaris ompong.

Tapi kamu tidak merasa bersalah karenanya. Bahkan, tanpa ragu kamu melemparkan kacamata itu ke lantai dan menginjak-injaknya. Si kakek meraung keras-keras, lalu, sebelum kamu sempat membuat kacamata itu hancur berkeping-keping, dia melepaskan si pipa saluran air dari kaitan yang menahannya. Dengan geram dan penuh kemarahan dia mendorong pipa itu--beserta kamu--hingga jatuh ke bawah. Saking takutnya, kamu pun menjerit sekuat-kuatnya.

Kamu sudah siap untuk mati--atau paling tidak, patah beberapa tulang. Akan tetapi, untung luar biasa, pipa saluran itu tersangkut di entah mana sehingga jatuhnya tertahan. Mumpung antara kamu dan tanah hanya berjarak kurang dari dua meter, kamu pun meloncat turun. Namun kamu tidak sepenuhnya beruntung. Kamu mendarat dengan kedua lututmu, tepat di atas tanah yang dipenuhi bebatuan. Untung saja batu-batuannya kecil dan tidak meremukkan lututmu. Tapi tetap saja kedua lututmu jadi berdarah-darah. Yah, mendinglah cuma luka begitu saja, daripada kakimu patah atau nyawa kamu melayang. (HP: -25, MP: -20)

Klik di sini untuk melanjutkan.

PERTEMUAN TAK TERDUGA

Kamu berlari menembus hutan, entah untuk keberapa kalinya. Rasanya pengejaran ini seperti tiada habisnya. Lebih parah lagi, kenapa pagi tidak segera menjelang? Apa jangan-jangan di dunia ini, yang ada hanya malam hari?

Kamu mendengar bunyi gemerisik di belakangmu dan kamu menoleh. Kamu melongo mendapatkan orang yang berada di belakangmu adalah Pak Kades dan si beruang!

Kamu sudah siap-siap untuk kabur kalau mereka menunjukkan tanda-tanda ingin menyerangmu, akan tetapi sikap tubuh mereka tampak santai, tampang mereka muram banget, dan si beruang terlihat sedekil Pak Kades. Tapi berbeda dengan orang-orang kampung lain, setidaknya mereka masih berdiri tegak.

"Hei, Nak," ucap si beruang perlahan. "Kamu terlihat sehat."

Dan si beruang terlihat seperti orang mati. Tentu saja, kamu tidak berkata begitu, melainkan tetap berdiam diri dan menunggu kata-kata berikutnya.

"Nak, sebenarnya kami disuruh untuk menghalangi kepergianmu."

Kamu berubah tegang saat mendengar kata-kata itu, tapi kamu tahu bahwa ada kata "tapi" mengikuti kata-kata itu.

"Namun," okelah bukan tapi yang diucapkannya, toh artinya sama saja, "kami juga tahu, kamu satu-satunya yang bisa menolong kami. Yah, kamu lebih bijaksana dari aku, Nak. Sekarang, aku sudah menjadi salah satu di antara mereka."

Mata si beruang berkaca-kaca saat mengucapkan hal ini, dan kamu tidak bisa tidak merasa kasihan.

"Karena itu, aku sudah membujuk Pak Kades untuk menolongmu," si beruang menoleh pada Pak Kades yang mengangguk lemah tanpa bicara. "Kamu sudah capek dan penuh luka. Kamu butuh bantuan. Pak Kades bilang, dia bisa membantumu. Tapi dia meminta sebuah imbalan."

Oke, sebenarnya aneh banget Pak Kades meminta bantuan. Toh hitung-hitung sebenarnya kamu membantunya juga kalau kamu mengalahkan si kakek. Akan tetapi, saat ini kamu terlalu letih untuk banyak cincong. "Imbalan apa?"

"Benda milik Pak Kades yang lama," sahut si Pak Kades akhirnya dengan suara lirih yang menggema entah dari mana. "Hanya dengan itu, saya bisa tetap menjadi Kades dan bukannya dia. Bukannya saya berambisi untuk menjadi Kades, tapi kalau dia lagi yang menjadi Kades, kami tak akan bisa lepas dari ancamannya."

Oh, begitu. "Memangnya Pak Kades nggak bisa ngambil sendiri barang-barang si kakek?"

Pak Kades menggeleng. "Semua barang itu ada di loteng, dan kami semua tidak bisa naik ke atas loteng."

Oh, jadi itu sebabnya anak perempuan itu tidak naik ke loteng, melainkan hanya bertengger di atas tangga saja. Rupanya karena dia tidak bisa naik ke loteng. Yah, barang yang kamu ambil dari atas cuma barang-barang berharga, dan rasanya berat banget menyerahkan barang-barang itu. Tapi sepertinya kamu tidak ada pilihan lain. Tanpa dikasih iming-iming barang berharga pun, kamu harus memberikan barang itu supaya si kakek tua tidak perlu menguasai kampung itu lagi.

Jika pada Episode 8 kamu memilih:

1. Kotak perhiasan kecil, klik di sini.
2. Kantong emas berukuran sedang, klik di sini.
3. Belati perak, klik di sini.

PONSEL

Kamu merasa beruntung banget saat ponsel yang kamu ambil berhasil menangkap sinyal. Akan tetapi pertanyaan sederhana namun sangat membingungkan adalah, sebaiknya siapa yang bisa kamu telepon saat ini untuk dimintai bantuan?

Akhirnya kamu menelepon satu-satunya nomor telepon yang kamu hafal: nomor telepon ibumu.

"Hah? Kamu nyasar di tengah hutan? Makanya, udah disuruh tinggal di rumah bantuin beres-beres rumah, malah maunya traveling! Ya udah, nanti Mama tanyain siapa yang lagi ada di sekitar situ, biar bisa jemput kamu! Omong-omong ini nomor telepon siapa? Handphone kamu juga ilang ya?"

Setelah menyudahi sambungan telepon dengan susah-payah (kamu kan harus irit-irit batere), kamu pun menunggu telepon balik sambil tetap berjalan. Kamu rada tidak yakin ibumu bisa mencari seseorang yang bisa dimintai tolong, tapi mungkin beliau bisa menghubungi polisi, pemadam kebakaran, unit penyelamat bencana alam, atau apa sajalah. Sementara itu, kamu tidak mau berdiam diri. Kamu memutuskan untuk terus berjalan.

Tak lama kemudian ibumu menelepon lagi dan mengatakan bahwa akan ada seseorang yang meneleponmu. Orang itu adalah pemandu yang disarankan oleh polisi. Benar saja, begitu sambungan diputuskan, ponselmu berdering lagi. Sang penelepon memperkenalkan diri sebagai pemandu sekaligus pengawas hutan di daerah sini. Kamu segera menjelaskan posisi terakhir bis dan mengatakan bahwa kamu nyasar di sekitarnya. Lawan bicaramu segera memintamu mencari pemandangan yang kira-kira bisa dijadikan acuan. Untung sekali, ada sebuah jembatan kayu yang kemudian dikenali oleh pemandu tersebut. Dari situ, sang pemandu memandumu menuju jalan raya.

Awalnya kamu rada waswas karena kamu tidak pernah bertemu banjir, padahal itu adalah alasan kenapa kamu turun dari bis. Akan tetapi, kekhawatiranmu tidak beralasan. Kamu nyaris bersorak kegirangan saat melihat sebuah mobil jeep yang terparkir di tepi jalan. Saat kamu melayangkan pandangan, kamu melihat bis kalian tak jauh dari situ. Ada sengatan rasa bersalah bahwa ternyata hanya kamu seorang diri yang selamat. Bahkan si beruang pun tak sanggup kamu selamatkan.

Tapi bukan waktunya kamu berduka. Saat ini, kamu harus menyelamatkan diri. Kamu menghampiri sang pemandu yang ternyata masih muda sekali. Dia juga tampak heran melihatmu.

"Saya memang sedang kebingungan karena ada bis yang terdampar di tengah jalan dan tidak ada yang melaporkan," katanya. "Jadi kamu penumpang bis ini? Bagaimana kalau kita mampir dulu di kantor polisi dan memberikan sedikit keterangan?"

Aduh, apa saja akan kamu lakukan demi hengkang dari tempat ini secepatnya. Kalian pun masuk ke dalam mobil jeep sang pemandu. Mobil itu sudah rada bobrok, tapi kamu tidak keberatan sama sekali. Perlahan-lahan, jeep itu pun melaju, dan kamu merasa lega karena sudah bisa lolos.

Mendadak saja, sebuah muka menemplok di jendela depan. Oh mannn, si kakek tua ternyata belum mati! Kamu kira dia sudah tidak bisa berkutik lagi sejak ketiga sumber kekuatannya hancur. Memang sih, sekarang dia sudah tak ubahnya seperti mayat hidup, tapi dia masih hidup dan tampaknya dendam banget padamu!

"Saya tidak akan melepaskanmu!" teriaknya sambil dengan muka menempel di jendela dan badan menempel di kap depan mobil. "Saya tidak akan melepaskanmu selamanya!"

Malang baginya, tindakan itu membuat sang pemandu kaget bukan kepalang. Mendadak saja kecepatan jeep menambah pesat sementara arahnya meliuk-liuk. Kamu menjerit bersama-sama sang pemandu yang shock hebat saat mobil keluar dari jalan raya. Pada saat semuanya terlambat, kamu melihat sebatang pohon besar berdiri tegak di depan kalian. Kamu merasakan benturan terkeras dalam hidupmu, dan semuanya menjadi gelap. (HP: -30. MP: -30)

Klik di sini untuk melanjutkan.

KOTAK PERHIASAN KECIL

"Ini Pak," kamu mengulurkan kotak perhiasan yang kamu ambil dari atas loteng itu.

Pak Kades menerima kotak itu dengan takzim, lalu mengeluarkan seuntai kalung yang indah. Kamu memandangi kalung itu dengan penuh sesal. Rasanya tidak rela banget melepaskan kalung itu, tapi kamu harus melakukannya. "Terima kasih. Semoga benda ini sanggup memberikan kesehatan dan kekuatan bagimu, Nak."

Rasanya kamu tidak memercayai matamu saat secercah cahaya emas menguar keluar dari kalung itu, terbang mengelilingimu, lalu lenyap seolah-olah merasuk ke dalam tubuhmu. Mendadak saja kamu merasa jauh lebih baik.

"Sekarang, pergilah," ucap Pak Kades. "Dan semoga kamu berhasil mengalahkannya Nak. Harapan kami semua besertamu."

Kamu mengangguk. "Terima kasih, Pak Kades, Pak Beruang."

Dan seperti itulah, kalian pun berpisah. (HP: +40)

Klik di sini untuk melanjutkan.

MENEROBOS SI KAKEK DAN MENURUNI TANGGA

Rencanamu adalah, menerjang kakek itu begitu dia muncul. Ini berarti, kamu harus mundur beberapa langkah. Namun kamu masih saja berharap kakek itu tidak menyadari keberadaanmu di lantai atas. Itu sebabnya kamu pun bergerak dengan kecepatan yang bisa menyaingi kecepatan seekor siput. Habis, si kakek tua berada tepat di bawahmu. Ini benar-benar bukan saat yang tepat untuk membuat bunyi-bunyian. Rasanya bagaikan bergerak di ladang ranjau. Sewaktu-waktu kamu bisa menginjak tempat yang salah dan, bummm, tahu-tahu saja kamu sudah jadi salah satu penduduk kampung yang suram, dekil, dan punya kuburan pribadi. Dasar sial, dari sekian banyak benda-benda pribadi (mobil pribadi, rumah pribadi, vila pribadi), kenapa kamu malah mendapatkan kuburan pribadi?

Akhirnya kamu berhasil tiba juga di pojok ruangan. Tepat pada saat itu, muncullah muka seorang pria dari lubang di atas lantai loteng, menatapmu dengan mata nyalang. Selama sepersekian detik kamu tidak mengenali wajah itu, tapi sesuatu pada wajah itu mengingatkanmu pada lukisan yang sempat kamu coret-coret itu.

Oh, sial. Ini kan si kakek tua! Tapi kini dia tampak jauh lebih muda. Yah, tidak muda-muda amat sih, tapi setidaknya dia tampak 20 tahun lebih muda. Kini dia tampak seperti om-om setengah kakek-kakek yang masih muda dan segar berusia lima puluh tahunan. Mungkin karena pengaruh kacamata yang dipakainya... Astaga! Memang benar! Kacamata itu pastilah kacamata yang disinggung si anak perempuan, kacamata yang merupakan sumber kekuatannya yang terakhir, yang seharusnya berada di dalam makam Pak Kades! Rupanya dia sudah menggunakan sumber kekuatannya itu. Tak heran kini dia tampak lebih muda dan kuat!

"Halo, Kek!" teriakmu dengan riang dan sok akrab. "Kakek udah tau? Saya berhasil melakukan ide kakek lho! Saya berhasil mengalahkan si sosok merangkak itu!"

"Betul, kamu hebat sekali," si kakek manggut-manggut dengan gaya ikutan sok akrab. Padahal, dari sinar matanya yang liar, terlihat betul dia kepingin memakanmu. "Tapi jangan panggil saya Kakek lagi dong! Saya kan sudah lebih muda! Ayo, panggil saya om!"

Aduh, kenapa sih dia sok muda begitu? Lagi pula, tidak ada keren-kerennya jadi om-om. Kecuali kalo om-om-nya keren kayak Bruce Willis. Tapi kamu tidak ingin membuatnya marah. "Ah, betul banget! Iya, Kakek jadi lebih muda! Mulai sekarang saya panggil Om saja ya!"

"Oke! Oh ya, Nak, berkat kamu, sekarang semua orang sudah kabur dari sini. Jadi situasi sudah aman. Ayo, kita turun bareng!"

Gawat. Benar-benar gawat. Dengan bertambahnya kekuatan si kakek (yah, meski kamu panggil dia Om, di dalam hati kamu tetap menganggapnya kakek-kakek), kamu makin tidak berani mendekat saja!

"Ah, nggak usah, Om," sahutmu sambil tetap merapat pada tembok pojokan loteng. "Saya capek banget. Sekarang saya mau istirahat di sini dulu."

"Kamu bisa istirahat di bawah saja. Kan lebih nyaman. Tenang saja, sudah tidak ada siapa-siapa kok."

Ini benar-benar mirip percakapan si Tudung Merah dan Serigala Jahat. "Ah, nggak lah, Om. Saya nggak berani ambil risiko. Dari tadi saya tunggang-langgang menyelamatkan diri. Kalo mau istirahat, harusnya di tempat yang benar-benar bikin saya merasa damai."

"Oh, begitu. Kalo gitu, saya ikut sama kamu saja deh."

Oke, inilah saatnya! Sebelum si kakek sempat mendekatimu, kamu pun berlari dengan sekuat tenaga demi menerobos si kakek. Tak kamu duga, saat kamu nyaris melewati si kakek, si kakek malah berpindah ke jalan di depanmu, membuatmu terpaksa harus berhenti mendadak--tepat di depan hidung si kakek. Bibir si kakek terangkat membentuk senyum culas.

"Kamu mau ke mana, Nak?"

Tanpa berpikir panjang lagi, kamu pun menarik kacamata si kakek hingga copot. Oh mannnn, keriput-keriput si kakek memburuk dengan begitu cepat! Lebih parah lagi, gigi-giginya mulai berjatuhan! Ternyata, menyaksikan proses penuaan yang berlangsung dalam hitungan detik benar-benar menakutkan banget! Dalam sekejap, si kakek yang minta dipanggil "Om" berubah jadi kakek buyut yang giginya nyaris ompong.

Tapi kamu tidak merasa bersalah karenanya. Bahkan, tanpa ragu kamu melemparkan kacamata itu ke lantai dan menginjaknya hingga hancur berkeping-keping. Si kakek meraung keras-keras, lalu menarik kerahmu dengan kuat--astaga, sudah jadi kakek buyut kok masih kuat banget?--lalu melemparkanmu ke belakang.

Tepat ke lubang tangga di atas lantai.

Kamu pun menjerit sekuat-kuatnya saat kamu terjun bebas melewati tangga kayu. Kamu sudah siap untuk mati--atau paling tidak, patah beberapa tulang. Akan tetapi, untung luar biasa, saat nyawamu sedang di ujung tanduk, kamu meraih-raih tanpa arah, dan berhasil menyambar pegangan tangga kayu. Mumpung antara kamu dan tanah hanya berjarak kurang dari satu meter, kamu pun meloncat turun. Namun kamu tidak sepenuhnya beruntung. Jempol kamu tertekuk dan, karena itu, jadi terkilir. Yah, mendinglah cuma jempol, daripada nyawa kamu melayang.

Sambil tertatih-tatih, kamu keluar dari rumah. Untung sekali, tidak ada halangan yang berarti. Seperti kata si kakek, semua orang sudah diusir olehnya. Bahkan si anak perempuan pun tidak terlihat lagi. (HP: -5, MP: -35)

Klik di sini untuk melanjutkan.

EPILOG

Kamu terbangun di rumah sakit. Orangtuamu sedang memandangimu dengan khawatir, sementara dokter tampak lega sekali seolah-olah tadinya dia sudah mengiramu bakalan mati. Tubuhmu sakit-sakit, tapi kamu lega melihat cermin yang memantulkan bayangan dirimu yang masih komplit--dua tangan, dua kaki, muka yang agak babak-belur namun utuh.

"Apa yang terjadi?" bisikmu.

"Polisi menceritakan pada kami, bahwa kamu terkena sebuah kecelakaan," cerita ayahmu. "Kendaraan yang kamu tumpangi terbalik, dan kamu sendiri sempat menderita gegar otak. Selain itu, sebagian besar tubuhmu juga memar-memar, tapi kata dokter kamu akan baik-baik saja."

"Orang yang bersamaku?"

Sebelum orangtuamu menjawab, dokter menyela, "Semua pertanyaan akan kita jawab besok, oke? Sekarang kita akan jalani pemeriksaan dulu untuk mengecek tanda-tanda vitalmu. Apabila semuanya baik-baik saja, kamu bisa mendengar semuanya dari polisi."

Jadilah hari itu kamu menghabiskan waktu dengan menjalani beberapa pemeriksaan. Saat malam tiba, orangtuamu pulang sementara kamu beristirahat di kamarmu. Kamu lega karena kamu tidak tidur di kamar VIP. Setelah mengalami kejadian yang begitu mengerikan dan traumatis, rasanya tidak enak kalau harus tidur sendirian. Lebih baik ada orang yang menemani.

Meski kondisi orang di sebelahmu tampak lebih parah darimu. Kebanyakan tubuhnya terbalut perban dan gips, termasuk mukanya. Mana sedari tadi dia tidur pula. Kalau ada apa-apa, mungkin kamu yang harus melindunginya. Bukan berarti akan ada apa-apa. Sekarang kan kamu sudah aman. Kamu sudah keluar dari kampung itu. Kamu sudah aman. Kamu bahkan sudah mengalahkan si kakek tua. Malahan, barangkali kamu sudah membunuhnya.

Tapi tunggu dulu. Kenapa tidak ada yang bilang apa-apa soal kamu membunuh atau menabrak orang? Kenapa tidak ada yang cerita apa-apa soal kecelakaan itu?

Jangan-jangan...

Kamu hanya bisa menatap ngeri ke ranjang sebelah saat pasien itu duduk tegak dengan gerakan pelan namun kuat. Pasien itu tampak lebih mirip mumi daripada pasien rumah sakit, dan sulit untuk dikenali. Tapi sepasang mata licik dan culas di balik perban itu tidak mungkin salah.

Kamu menekan-nekan tombol bel untuk memanggil perawat, akan tetapi tidak ada yang datang. Sementara itu, si pasien sudah sedang berjalan ke arahmu.

"Sudah saya bilang," suara si kakek tua bergema dari balik perban, "saya tidak akan melepaskanmu."

T H E E N D


INSTRUKSI MysteryGame@Area47 UNTUK MINGGU INI:

Hai para peserta MysteryGame@Area47!

Selamat, akhirnya petualanganmu berakhir juga! Untuk episode terakhir ini, kirimkan email ke lexiexu47@gmail.com dengan subject yang diisi dengan "Holiday in Hell episode 10" diikuti nama, "HP=" diikuti jumlah HP terakhir diikuti "MP=" diikuti jumlah MP terakhir. Setelah itu, bersiaplah untuk menanti pengumuman nama pemenang.

Kalex tunggu jawabannya sampai enam hari lagi! ^^v

Have a great night, everybody!

xoxo,
Lexie

Sunday, August 25, 2013

MysteryGame@Area47: HOLIDAY IN HELL™, episode 9

Kamu menggali-gali peti raksasa itu dengan penuh semangat. Berbagai benda berharga membuat matamu jadi bersinar-sinar penuh kematrean, tapi kamu sadar kamu tidak mungkin memasukkan semua isinya ke dalam ranselmu. Apa yang sudah kamu ambil memang sudah cukup. Sekarang waktunya kamu mencari jam rantai yang dimaksud anak perempuan itu.

Saat sedang sibuk mencari-cari, mendadak kamu mendengar suara berderik yang sangat pelan. Pelan sekali, sampai nyaris tak terdengar, namun karena adrenalin yang kini mengalir deras dalam darahmu, kamu jadi sensi. Kamu menoleh dengan cepat, dan melihat ujung kepala seseorang muncul dari lubang di lantai, tempat kamu nongol tadi.

Oh mannn, seremnyaaa!!!

Sebuah tangan meraih ke atas, memegangi ujung lantai. Tangan pucat yang rada keabu-abuan. Tangan yang lain ikut muncul ke atas. Kedua tangan itu menekan lantai, dan kepala pemiliknya nongol ke atas.

Ternyata si anak perempuan.

"Kenapa sih kamu harus muncul dengan gaya mengerikan begitu?" tanyamu kesal bercampur gugup. Namun semua perasaan itu lenyap saat kamu melihat tubuh atas anak itu berlubang-lubang--tanpa darah yang mengalir, tentu saja--sementara kakinya masih terjuntai di tangga tanpa tenaga. "Apa yang terjadi?"

"Pria itu sudah ada di sini," bisik anak perempuan itu dengan mulut terkatup. "Dia menyiksa kami semua untuk mencari tahu keberadaanmu. Tapi semua itu tidak penting." Tidak penting?? Tapi kamu bisa melihat wajah anak perempuan yang sebenarnya masih kecil itu dipenuhi kesakitan!!! "Yang lebih penting adalah kamu harus segera mencari arloji itu. Temukan arloji itu dan hancurkan. Kumohon, cepatlah."

"Daripada mohon-mohon, sebaiknya kamu bantu nyari," ketusmu.

"Tidak bisa," geleng si anak kecil. "Kami semua tidak bisa mendekati sumber kekuatannya. Makanya kami terpaksa membiarkan lukisan itu meski kami tidak suka melihatnya."

Dasar, memang sudah nasib kamu harus mengerjakan semua ini sendirian. Sialnya, arloji itu ternyata tidak berada di dalam kotak besar dan indah yang kamu buka itu. Terpaksa kamu beralih ke kotak lain. Berhubung benda itu tidak ada di kotak paling besar dan indah, barangkali benda itu malah ada di kotak paling kecil dan jelek. Maka kamu pun membuka kotak paling kecil dan jelek yang bisa kamu temukan. Sayangnya, di dalamnya hanya ada pakaian-pakaian bekas yang sudah lapuk.

"Anak Muda, kamu ada di mana?"

Oh, sial!! Itu suara si kakek tua!!

Kamu dan si anak perempuan saling bertatapan dengan tampang tegang.

"Apa kamu yang menggambari lukisanku, Nak? Tega sekali kamu! Apa kamu tahu, itu lukisan yang sangat berharga? Itu satu-satunya lukisanku waktu masih muda!"

Gawat, dia sudah tahu! Yah, mana mungkin tidak? Saat kamu menggambari lukisan yang seketika berdarah-darah itu, kakek itu meraung-raung di luar seperti kena rajam. Dan seperti kata si anak kecil, mereka semua tidak bisa mendekati sumber kekuatan si kakek tua. Satu-satunya tertuduh hanyalah kamu.

"Cepat cari," bisik si anak perempuan mengingatkanmu, "tapi jangan berisik. Jangan sampai dia tahu kamu ada di sini."

Kamu beranjak, dan baru menyadari bahwa langkah sepelan apa pun menyebabkan lantai atap itu berderak. Gawat, cepat atau lambat, kakek tua itu akan mendengarnya. Kamu harus memilih kotak yang tepat secepatnya.

Akhirnya kamu memilih kotak cantik berukuran kecil. Saat membuka kotak itu, beberapa perhiasan tumpah ke lantai, termasuk sebuah jam rantai emas.

"Apa itu?" Rupanya suara perhiasan yang jatuh mengenai lantai kayu menarik perhatian si kakek tua. "Siapa itu di atas?"

Terdengar suara langkah menaiki tangga. Uh-oh. Gawat. Supergawat! Selama beberapa saat, kamu dan si anak perempuan tidak berani bergerak sedikit pun.

"Kamu lagi di atas loteng, Anak Muda? Lagi ngapain kamu? Apa ada sesuatu yang sedang kamu cari?"

Sial, jelas-jelas dia sudah tahu kamu sedang mencari jam rantainya, tapi dia masih berpura-pura bahwa kalian tetap berteman. Mungkin dia pikir dengan begitu kamu akan kehilangan kewaspadaanmu. Kamu jadi rada tersinggung juga. Memangnya dia kira kamu bisa sebodoh itu? Meski kamu tertipu dengan ucapannya, kamu tak bakalan mau dekat-dekat lagi dengan orang sejahat itu.

"Ambil jam itu," bisik si anak perempuan, dan kamu buru-buru meraup jam rantai itu. Sial, rantainya menyebabkan bunyi keras lagi! "Aku akan menghalangi dia lagi, sementara kamu kabur. Cepat hancurkan arloji itu begitu kamu sempat."

"Kita jatuhkan saja jam itu dari atap sini ke bawah sana!" usulmu.

"Jangan!" geleng si anak perempuan. "Itu cara yang bodoh. Jam itu barangkali tidak pecah, sementara kamu akan sulit memungutnya lagi. Kamu harus gunakan cara yang pasti berhasil."

Benar juga. Meski jengkel karena dikatai menggunakan cara bodoh, kata-kata anak perempuan itu masuk akal. "Iya iya. Aku akan menghancurkannya dengan tanganku sendiri. Tapi sekarang, masalahnya, gimana caranya aku kabur dari sini?"

"Ada tiga jalan keluar. Yang pertama adalah lubang itu." Si anak perempuan menunjuk sebuah lubang yang bolong di atas atap. "Dari situ kamu bisa menuruni pipa air, kalau kamu tidak takut ketinggian. Kalau kamu jatuh, ya kemungkinan kamu akan bergabung dengan kami." Sial, itu pilihan yang menakutkan! Kenapa sih si anak perempuan bisa mengucapkan kata-kata yang mengecilkan hati begitu? "Yang kedua adalah menerobos pria jahat itu dan turun melalui tangga tempat kita naik tadi. Dalam kondisi sekarang ini, kamu pasti bisa bergerak lebih cepat darinya. Tapi dia sangat licik. Jadi dia pasti akan menghalalkan segala cara untuk menangkapmu. Kemungkinan besar, kamu nggak akan bisa menang melawannya. Dan yang ketiga..."

"Yang ketiga?" Semoga saja pilihan ketiga ini jauh lebih baik dari dua pilihan berisiko tinggi yang sudah ada.

"Yang ketiga adalah bersembunyi di dalam salah satu peti besar yang kosong. Supaya dia tidak curiga, kamu terpaksa harus menutup peti dan kehilangan akses udara segar. Kalo dia berlama-lama, bisa jadi kamu malah mati konyol di dalam peti. Dan kemungkinan besar dia akan mengobrak-abrik peti-peti ini demi mencarimu. Tapi aku akan membantumu dan berusaha keras untuk menipunya."

Sesaat kamu hanya bisa bengong memikirkan pilihan-pilihan itu. Semuanya jelek-jelek amat. Tapi sepertinya memang hanya itulah pilihan-pilihan yang tersedia. Mau tak mau, kamu harus memilih salah satu di antara tiga pilihan itu.

INSTRUKSI MysteryGame@Area47 UNTUK MINGGU INI: 

Hai para peserta MysteryGame@Area47 yang sudah mendaftarkan diri! 

Kirimkan email ke lexiexu47@gmail.com dengan subject yang diisi dengan "Holiday in Hell episode 9" diikuti nama dan jawaban atas pertanyaan ini: 

JALAN APAKAH YANG KAMU TEMPUH? 
(Pilihan jawaban: 
1. Lari melalui lubang di atap.
2. Menerobos si Kakek dan turun melalui tangga.
3. Ngumpet di salah satu peti besar yang kosong.
* Tidak perlu sebutkan alasannya.)

Kalex tunggu jawabannya sampai enam hari lagi! ^^

Good luck, everybody! 

xoxo,
Lexie

Sunday, August 18, 2013

MysteryGame@Area47: HOLIDAY IN HELL™, episode 8


Mendadak kamu merasa ada yang memandangimu. Secepat kilat kamu berbalik, namun tidak ada siapa-siapa. Kamu berbalik lagi, berpura-pura menekuni meja di hadapanmu, padahal sebenarnya kamu sedang menyelidiki, apakah itu hanyalah perasaanmu saja atau memang ada yang sedang memata-mataimu.

Lagi-lagi, kamu merasa ada yang memandangimu. Kali ini, perasaan itu lebih jelas dan terasa mengerikan. Seolah-olah ada seseorang berdiri di belakangmu, orang yang dipenuhi dengan niat jahat, orang yang tidak segan-segan menggunakan nyawamu untuk kepentingan dirinya...

Kamu berbalik lagi.

Tidak ada siapa-siapa. 

Tidak mungkin. Tidak mungkin tidak ada siapa-siapa. Perasaan itu begitu jelas, sampai-sampai kamu bisa merasakan hawa keberadaan orang itu. Jangan-jangan... yang sedang berdiri di belakangmu itu sejenis si sosok merangkak? Apakah kamu perlu menggunakan cermin untuk melihatnya? Atau...

Pandanganmu terarah pada lukisan di atas tempat tidur. Lukisan itu menggambarkan seorang pria tampan yang sedang duduk di sebuah kursi dengan gaya jumawa. Sekilas, lukisan itu tidak cocok dengan kondisi kamar dan kampung yang begini sederhana, seolah-olah lukisan itu berasal dari tempat lain yang lebih sophisticated. Akan tetapi, saat kamu memandang lebih lama, kamu menyadari wajah pria pongah itu rada familiar.

Oh, mannn. Itu kan si kakek dalam pondok! Kenapa dia bisa narsis banget, dilukis dengan tampang sok ganteng begitu?

Eh, sebenarnya bukan sok ganteng. Kakek itu memang ganteng waktu masih muda. Rambut yang tersisir rapi dan diminyaki, dengan setelan bagus dan sepatu kulit. Kira-kira mirip Count Dracula lokal gitu deh. Mana tampangnya begitu dingin, begitu culas, begitu menakutkan. Seolah-olah dia akan memakanmu saat kamu sedang berkedip. Dan wajah itu begitu hidup. Bola matanya terlihat begitu asli, demikian juga senyumnya yang tipis itu..

KYAAAAA!!!! BOLA MATA ITU BERGERAK!!!!

Kamu mundur hingga menabrak meja di belakangmu, sementara matamu terpaku pada lukisan itu. Rasa takut menguasai hatimu, menyadari kamu sedang berhadapan dengan musuh baru yang tidak kamu mengerti. Sesuatu seseolah menarik jiwamu hingga keluar dari tubuhmu, akan tetapi secara insting kamu menahannya. Kalau jiwamu diambil olehnya, bagaimana dengan tubuhmu?

"Jangan memandangi lukisan itu." Tiba-tiba terdengar suara anak kecil yang sudah kamu kenali. "Berpalinglah!"

Nggak bisa! Kamu ingin menjerit. Aku nggak bisa melepaskan diri!!

"Kamu pasti bisa," ucap anak kecil itu dengan penuh kepastian. "Ayo, menoleh. Hanya satu gerakan kecil, dan kamu pasti bisa melakukannya!"

Dengan sekuat tenaga (fisik dan mental) kamu berusaha memalingkan wajah--dan kamu berhasil! Saat kamu akhirnya sanggup melepaskan diri, yang pertama kamu lihat adalah anak perempuan yang pernah membantumu, duduk di ambang jendela dengan kaki terjuntai lemah, seolah-olah anak itu tidak sanggup ke mana-mana dengan kedua kaki itu. Seperti biasa, anak perempuan itu tampak mengerikan, akan tetapi kini kamu menyadari bahwa dia tidak seburuk yang kamu duga.

"Sekarang kamu sudah tahu kan?"

Hah?

"Pria inilah orang jahatnya," ucap anak kecil itu dengan bibir terkatup, sementara suaranya menggema entah dari mana. "Sebenarnya, dialah yang menebarkan wabah itu di antara kami. Setiap salah satu penduduk kampung kami mati karenanya, dia akan semakin kuat dan hidup. Pada akhirnya, kami semua mati, dan dia tetap hidup hingga sekarang. Karena dia, kami tidak diterima oleh surga maupun neraka, dan kami terpaksa harus berkeliaran di dunia ini. Kami tidak sanggup hidup di bawah sinar matahari, karena itu kami hanya keluar di malam hari. Kami tidak bisa makan makanan lain selain daging manusia, karena nutrisi yang kami butuhkan hanya ada dalam tubuh manusia supaya kami bisa tetap seperti ini. Kalau tidak, kami akan lenyap menjadi butiran debu, seolah-olah kami tidak pernah ada. Menyedihkan, bukan?"

Kamu melongo mendengar ucapan anak perempuan ini. "Tapi, dia udah membantuku sejauh ini! Buktinya, sekarang kalian semua lumpuh bukan?"

"Kamu benar-benar bodoh," cela si anak perempuan dengan wajah dingin. "Selama ini, dialah tuan dari kami semua. Dia yang memerintah kami dari rumah ini. Dia menyuruh kami mencari makan, lalu mengisap kekuatan kami. Akan tetapi, sejak kedatangan Peter..."

"Peter?"

"Makhluk berkaki banyak yang ada di kamar yang pernah kamu tempati." Oke, makhluk berkaki banyak mirip laba-laba bernama Peter. Apa cuma kamu yang pikirannya terlalu lebay, atau namanya memang mirip Peter Parker si Spider-man? Apa orang-orang di dunia ini memang keren-keren? "Sejak Peter berhasil mengambil alih kekuasaanya di sini, dia terpaksa harus pergi. Sejak saat itu, dia jadi melemah dan menua dengan cepat. Akan tetapi, karena asal-muasal penyakit kami adalah dirinya, kami tetap tidak bisa membunuhnya."

"Karena itu, kamu memberiku senjata," ucapmu perlahan.

"Betul," angguk si anak kecil. "Tolonglah kami. Bebaskanlah kami. Kami tidak ingin menjadi budaknya ataupun budak makhluk-makhluk lain seperti Peter. Yah, meskipun Peter lebih baik darinya sih. Tetap saja, kami ingin memiliki kematian yang normal. Kami tidak ingin lenyap menjadi debu."

"Hmm," ucapmu bete. "Dengan kejahatan kalian, kemungkinan besar kalian bakalan masuk neraka lho."

"Itu bukan pilihan kami." Suara si anak perempuan melirih. "Kami juga tidak ingin memangsa kalian. Tapi, kami juga tidak mau mati. Kami terpaksa melakukannya. Untung saja, bagiku dan anak-anak seusiaku, kami masih bisa menahan diri karena kebutuhan kami tidak sebanyak orang-orang dewasa. Karena itu, aku bisa memandangmu tidak sebagai makanan, melainkan sebagai orang yang bisa membebaskan kami dari semua ini."

Dan kamu juga tidak punya pilihan kalau tidak mau dimangsa oleh orang-orang kampung itu. Oke, semua penjelasan ini mungkin terdengar tidak menyenangkan, tapi entah kenapa, kamu memercayai anak perempuan ini. Dari semua orang yang kamu temui, dialah yang paling kamu percayai. Mungkin karena wajah mengerikannya yang masih menyiratkan kepolosan, mungkin juga karena dia sudah menyelamatkanmu berkali-kali.

Mungkin juga karena lukisan itu benar-benar memancarkan aura jahat yang menakutkan.

"Jadi, apa yang harus aku lakukan?" tanyamu meski kamu sudah bisa menebak jawaban yang bakalan kamu terima.

"Kamu harus membunuh dia." Tangan si anak perempuan terangkat, menunjuk ke arah lukisan si kakek tua semasa muda. "Jangan anggap remeh dia hanya karena dia tua dan lemah. Dia masih punya sumber kekuatan di mana-mana. Kamu harus menghancurkan semua sumber kekuatan itu sebelum kamu benar-benar membunuhnya."

Astaga, rasanya seolah-olah kamu adalah Harry Potter sementara si kakek tua adalah Voldemort yang punya banyak Horcrux! Kalau sampai si anak perempuan bilang sumber kekuatannya ada delapan biji, andai kamu selamat, kamu akan mencari JK Rowling dan bertanya padanya secara langsung, apa Harry Potter itu diangkat dari kisah nyata.

"Jangan khawatir," si anak perempuan tersenyum tipis. "Hanya ada tiga sumber kekuatan yang dia miliki, jadi kamu tidak perlu bersusah-payah." Yahhh. Kandaslah rencanamu untuk ketemu JK Rowling. Tak apalah, rencana itu juga tak begitu bagus. Memangnya gampang ketemu JK Rowling? Keliling Jawa saja sudah menguras seluruh hartamu, apalagi ke Inggris segala. Kamu kan tidak berniat menjual ginjal hanya demi pergi ke luar negeri. "Sumber kekuatan pertama dan terdekat adalah lukisan ini. Kami tidak bisa melakukan apa-apa terhadapnya, tapi kamu hanya perlu merusaknya untuk melenyapkan kekuatannya. Sumber kedua adalah jam rantai kesayangannya yang tersimpan dalam gudang di atas loteng rumah ini. Dan sumber ketiga adalah kacamatanya yang saat ini berada dalam kuburan Pak Kades."

Astaga! Kuburan Pak Kades? Apa ini berarti kamu harus pergi ke kuburan itu lagi? Di mana kamu harus menyeberangi orang-orang kampung yang sedang merangkak-rangkak di luar sana, melewati hutan belantara, dan mendekati pondok tempat orang yang menjadi otak dari semua kejadian ini?

Jangan pikirkan dulu. Satu per satu. Sekarang, yang perlu kamu lakukan adalah merusak lukisan itu.

Kamu harus menaiki sebuah bangku supaya sejajar dengan lukisan itu. Selama beberapa saat, pandanganmu sejajar dengan mata pria dalam lukisan itu. Sepasang mata itu begitu hidup, begitu mengerikan, memancarkan kelicikan dan keculasan yang berhasil disembunyikan oleh sosok kakek tua yang kamu temui. Kamu bisa membayangkan pria itu menunggumu membalikkan badan, dan di saat kamu lengah, dia akan menghunjamkan tangannya padamu, menembus kulit dan tulang punggung, lalu mengambil jantungmu untuk dimilikinya sendiri.

Oh mannn, lukisan ini benar-benar menakutkan!

Kamu pun membuat keputusan. Dengan cepat kamu merogoh ranselmu dan mengeluarkan sebuah spidol, lalu menggambar kumis jelek di atas bibir pria itu.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya si anak perempuan, suaranya terdengar bete.

"Yah, kan katanya harus merusak lukisan. Jadi aku coretin mukanya aja."

"Bukan itu maksudku..."

Kamu yakin, si anak perempuan sama terperangahnya denganku saat pria dalam lukisan itu mulai berdarah-darah. Matanya mengeluarkan air mata darah, dari kedua telinganya mengucurkan darah, demikian pula kedua lubang hidung dan bibirnya. Kamu sama sekali tidak bisa bergerak saat lukisan itu mulai digenangi darah sungguhan--dan pada akhirnya, seluruh lukisan itu tertutup warna merah dari darah segar.

Dari luar rumah, kamu bisa mendengar lolongan keras dan pilu.

"Itu dia!" seru si anak perempuan. Untuk pertama kalinya, suaranya terdengar panik. "Kamu harus pergi. Sekarang juga! Kamu harus pergi ke loteng dan menghancurkan jam rantai itu!"

"Enak saja!" tukasmu saat mendengar garukan di pintu. "Si Ibu Kades masih nungguin di luar pintu! Gimana caranya aku melewati dia dengan cepat?"

"Biar aku yang akan menghadapinya. Kamu hanya perlu pergi! Sekarang!"

Kamu meloncat turun dari bangku tepat saat si anak perempuan meloncat turun dari ambang jendela, lalu merangkak dengan kecepatan tinggi yang terlihat sangat mengerikan. Berhubung dia tidak bisa membuka pintu, kamu yang melakukannya. Saat pintu terbuka, si Ibu Kades meloncat ke arahmu, akan tetapi si anak perempuan langsung menerkamnya.

"Sadarlah, Ibu!" Hah? Apa anak perempuan ini anak Pak Kades? "Dia akan menolong kita! Jadi kendalikan diri Ibu dan bantu dia!"

Kamu tidak sempat untuk menyaksikan drama keluarga itu lebih lanjut lagi. Dengan cepat kamu melesat ke belakang rumah, menaiki tangga, dan tiba di lantai atas. Saat kamu tiba di sana, kamu menyadari bahwa loteng yang dimaksud anak perempuan itu bukannya lantai atas dari rumah itu. Soalnya, ada sebuah tangga melingkar kecil dan curam di pojok ruangan yang gelap, menuju ke bagian atap rumah tersebut.

Pasti itulah yang dimaksud dengan loteng.

Kamu menaiki tangga itu dengan tergesa-gesa, dan tiba di loteng yang dipenuhi banyak peti dan kotak. Uh-oh, gawat banget. Bagaimana caranya kamu mencari sebuah jam rantai di tengah-tengah tumpukan barang ini?

Pandanganmu tertuju pada peti paling besar dan bagus. Ya, kalau memang ada barang-barang milik pria keren di lukisan itu di sini, pastilah barang-barang itu disimpan di peti yang paling mewah. Kamu membuka peti itu, terpesona saat melihat isinya dipenuhi benda-benda berharga.

INSTRUKSI MysteryGame@Area47 UNTUK MINGGU INI: 

Hai para peserta MysteryGame@Area47 yang sudah mendaftarkan diri! 

Kirimkan email ke lexiexu47@gmail.com dengan subject yang diisi dengan "Holiday in Hell episode 8" diikuti nama dan jawaban atas pertanyaan ini: 

BENDA APAKAH YANG KAMU AMBIL? 
(Pilihan jawaban: 
1. Kotak perhiasan kecil
2. Kantong emas berukuran sedang
3. Belati perak
* Tidak perlu sebutkan alasannya.)

Kalex tunggu jawabannya sampai enam hari lagi! ^^

Good luck, everybody! 

xoxo,
Lexie

Sunday, August 4, 2013

MysteryGame@Area47: HOLIDAY IN HELL™, episode 7 (battle #2)

Masih ingatkah kalian, berapa HP dan MP yang kamu dapatkan pada saat menempuh episode 4 (battle #1)? Siapkan kertas dan pensil, tuliskan nilai HP dan MP tersebut di sana. Kini, nilai-nilai itu akan mengalami perubahan lagi. Sanggupkah kamu mempertahankan HP sekaligus menurunkan MP lawan?

"Nah, sekarang sudah waktunya kamu pergi," ucap si kakek tua. "Kamu bisa menyelinap keluar melalui jendela. Setidaknya pondok ini akan menutupi kamu dari pandangan mereka. Cepatlah, sebelum fajar menyingsing dan roh itu lenyap."

"Tapi," kamu ternganga sejenak, "seandainya saya berhasil membunuh roh itu, apa lagi yang harus saya lakukan?"

"Tenang saja," si Kakek menyunggingkan senyumnya yang penuh keriput namun ramah. "Saya akan menyusulmu secepatnya. Tentunya, saya akan menipu mereka dulu supaya mengira saya tidak berbahaya bagi mereka."

Kakek ini memang sudah expert. Demi hidup sampai seratus tahun, sepertinya kamu harus menuruti kakek ini baik-baik. "Oke, Kek. Sampe ketemu nanti."

Jika pada Episode 5 kamu memilih:

1. Mengetuk dengan sopan, klik di sini.
2. Mengintip melalui jendela, klik di sini.
3. Membuat suara-suara mencurigakan, klik di sini.

SEKALENG MINYAK

Begitu kamu masuk, kamu sudah siap dengan satu tangan memegang cermin, sementara tangan yang satu lagi membawa kaleng minyak yang sudah dibuka. Dari cermin yang kamu arahkan ke sekeliling kamar, kamu tahu sosok merangkak itu sedang hinggap di tepi ranjang, siap menerkammu. Sebagian tubuh si sosok merangkak terlihat hangus, namun yang lebih mengerikan adalah geraman penuh dendam yang didenguskan si sosok merangkak dari tenggorokannya. Kamu tak ragu, kalau sampai kamu tertangkap olehnya, kamu pasti bakalan langsung diantar secara pribadi ke neraka.

Kamu berusaha menyiram minyak itu ke arah si sosok merangkak. Namun sialnya, upayamu yang pertama gagal. Bukan saja si sosok merangkak bisa menghindar, dia bahkan mengangkat tangannya yang mendadak memanjang, lalu siap mencakarmu. Kamu meloncat mundur namun terpeleset. Tahu-tahu saja kamu sudah melakukan gerakan split sempurna. Buset dah, sakitnya luar biasa sampai-sampai kakimu seperti terkilir rasanya!

Melihatmu berada dalam kondisi lemah, dengan girang si sosok merangkak meloncat ke arahmu. Oh mannnn. Kalau sampai dia berhasil menimpamu, sudah pasti kamu bakalan dicabik-cabik sampai mati. Jadi, kamu pun menggunakan kesempatan ini untuk mengguyurnya dengan seluruh minyak yang kamu miliki. Si sosok merangkak tampak seperti diguyur lava panas karena sempat menggelinjang-gelinjang, lalu memudar dan akhirnya lenyap.

Apa ini berarti tugasmu sudah berhasil? (HP: -8, MP: -30)

Klik di sini untuk melanjutkan.

GARPU TANAH

Kamu menyorongkan garpu tanahmu ke depan. Saat mereka mendekat, kamu langsung menyodok--tidak ke arah orang-orang itu, melainkan ke arah tulang yang mereka pegang. Dua darinya berhasil kamu jatuhkan dengan mudah, tetapi yang ketiga malah mental ke atas, lalu jatuh tepat di atas kepalamu.

Saat pandanganmu sedang gelap-gelapnya lantaran kepalamu dihantam tulang, ketiga orang itu menyerbu ke arahmu. Kamu menyerang membabi-buta, berharap supaya seranganmu mengenai sesuatu. Salah satunya berhasil mendekatimu, akan tetapi kamu hantam mukanya menggunakan gagang garpu tanah.

Ketika pandanganmu pulih kembali, kamu shock melihat ketiga orang itu terkapar dengan tubuh berlubang-lubang. Seandainya pandanganmu tidak menggelap tadi, kamu tidak akan tega melukai mereka separah itu. Namun kini semuanya sudah terlambat. (HP: -5, MP: -30)

Klik di sini untuk melanjutkan.

MEMBUAT SUARA-SUARA MENCURIGAKAN

"Tunggu dulu." Mendadak si Kakek menyetopmu. "Tidak baik bagimu untuk pergi dengan perut kosong. Sebaiknya kamu membawa makanan yang bisa dimakan sambil jalan."

Si kakek membuka pintu sebuah lemari, sementara kamu menatap dengan sorot mata berbinar-binar. Oke, tidak mungkin si Kakek memberimu semacam burger atau pizza, tapi pastinya tidak akan mengecewakan...

"Ini," kata si kakek sambil memberimu sebutir anggur. "Makanlah sambil jalan. Bagus karena mengandung air, jadi kamu nggak akan haus juga."

Yah, cuma sebutir anggur. Kamu merasa sedikit kecewa. Tapi tak apalah. Benar kata si kakek, saat kamu mulai mengunyah anggur yang ternyata cukup manis itu, kamu tidak saja merasa lebih kenyang, tetapi juga rasa hausmu berkurang. (HP: +5)

Klik di sini untuk melanjutkan.

DI DALAM RUMAH

Kamu memasuki rumah Pak Kades. Rumah itu tampak kosong. Kesunyian yang melingkupi rumah itu nyaris tak tertahankan, membuat tubuhmu sedikit gemetar. Oke, kamu sudah sampai di sini. Memangnya kamu sudi mundur?

Seraya berjingkat-jingkat, kamu menyeberangi koridor kayu yang, celakanya, terus berderik setiap kali diinjak olehmu. Untunglah si Ibu Kades aka Kirsten tidak nongol-nongol, tapi itu tidak berarti dia sudah mati atau apalah. Bisa saja dia sedang ke toilet.

Semakin mendekati kamar yang dulunya kamu tempati itu, nyalimu semakin menciut. Jelas, kalau boleh, kamu berharap tidak perlu menemui si sosok merangkak lagi. Akan tetapi kamu tidak punya pilihan lain lagi. Bukan saja kamu harus menemuinya, kamu juga harus memusnahkannya. Kalau tidak, kamu tidak akan pernah terlepas dari orang-orang kampung ini selamanya. Lebih baik takut sehari daripada terkutuk selamanya, bukan?

Terkutuk. Ya, itulah sebutan yang cocok untuk kampung ini, untuk para penduduknya. Mereka adalah orang-orang yang terkutuk, dan kamu tidak ingin bergabung dengan mereka. Jadi, kamu harus maju terus.

Akhirnya kamu berhenti di depan pintu kamar. Tanganmu siap memutar pintu hendel, akan tetapi rasa takut membuatmu sempat lumpuh sejenak. Kamu memejamkan mata, berdoa berkali-kali, lalu mengeluarkan dua buah benda dari ranselmu. Yang pertama adalah sebuah cermin. Cermin yang kali ini berbeda dengan cermin pertama, karena cermin kali ini adalah cermin meja yang punya penahan di belakangnya, sehingga kamu bisa menggunakannya dengan gaya memegang perisai. Sedangkan benda yang satu lagi adalah benda yang kamu terima dari si kakek tua. Lalu, tanpa berpikir lagi, kamu pun menerjang masuk ke dalam kamar itu.

Jika pada Episode 6 kamu memilih:

1. Sekotak korek api, klik di sini.
2. Sekaleng minyak, klik di sini.
3. Tiga butir telur, klik di sini.

GUNTING KEBUN

Dengan canggung kamu memegangi gunting kebunmu dengan dua tangan dan menyorongkannya ke depan. Saat mereka mendekat, kamu langsung menjepit dengan hentakan cepat. Melelahkan, tapi kamu tidak bisa berhenti. Kalau gagal, bisa-bisa kamu jadi makanan berikutnya. Tulang yang mereka pegang bisa jadi adalah tulangmu. Oh mannn, itu pemikiran yang menakutkan banget!

Kamu berhasil menjatuhkan tulang orang pertama, namun sebelum kamu sempat bertindak lagi, orang kedua menyerangmu. Tulangnya menyodok pipimu keras-keras hingga kamu tergigit pipi sendiri. Ludahmu bercampur dengan darah, terasa menjijikkan hingga membuatmu terpaksa harus meludah.

Namun itu tidak cukup. Kamu mual banget, dan matamu berair menahan dorongan makanan yang hendak keluar dari lambung. Saat itulah, orang-orang itu menyerbu ke arahmu lagi. Kamu menyerang membabi-buta, berharap supaya seranganmu mengenai sesuatu.

Ketika pandanganmu pulih kembali, kamu shock melihat dua dari ketiga orang itu terkapar dengan tubuh berlubang-lubang. Salah satunya kabur dengan terbirit-birit. Aih, seandainya kamu tidak mual tadi, kamu tidak akan tega melukai mereka separah itu. Namun kini semuanya sudah terlambat. (HP: -10, MP: -20)

Klik di sini untuk melanjutkan.

TIGA BUTIR TELUR

Begitu kamu masuk, kamu sudah siap dengan satu tangan memegang cermin, sementara tangan yang satu lagi memegangi telur pertama yang siap kamu lemparkan. Dari cermin yang kamu arahkan ke sekeliling kamar, kamu tahu sosok merangkak itu sedang hinggap di tepi ranjang, siap menerkammu. Sebagian tubuh si sosok merangkak terlihat hangus, namun yang lebih mengerikan adalah geraman penuh dendam yang didenguskan si sosok merangkak dari tenggorokannya. Kamu tak ragu, kalau sampai kamu tertangkap olehnya, kamu pasti bakalan langsung diantar secara pribadi ke neraka.

Kamu melemparkan telur itu ke arah si sosok merangkak. Yes! Kena! Si sosok merangkak bereaksi seolah-olah dilempar duren saja. Raungannya yang terendam terdengar mengerikan. Dia berusaha menyerangmu, akan tetapi kamu sudah merogoh saku dan mengeluarkan telur berikutnya. Kamu melempar lagi dan... voila! Kena lagi!

Si sosok merangkak meraih ke arahmu, dan kamu terperanjat melihat tangannya yang rupanya bisa memanjang. Kamu meloncat mundur dan membentur tembok. Sialan, sakit bener! Semoga kamu tidak jadi gegar otak karenanya! Kamu membelalak saat si sosok merangkak meloncat ke arahmu. Kamu merogoh kantongmu dan mengeluarkan telur terakhir, lalu melemparkannya tepat mengenai muka si sosok merangkak.

Mendadak saja, si sosok merangkak lenyap seolah-olah ditelan udara.

Apa ini berarti tugasmu sudah berhasil? (HP: -5, MP: -35)

Klik di sini untuk melanjutkan.

MENGINTIP MELALUI JENDELA

"Tunggu dulu." Mendadak si Kakek menyetopmu. "Tidak baik bagimu untuk pergi dengan perut kosong. Sebaiknya kamu membawa makanan yang bisa dimakan sambil jalan."

Si kakek membuka pintu sebuah lemari, sementara kamu menatap dengan sorot mata berbinar-binar. Oke, tidak mungkin si Kakek memberimu semacam burger atau pizza, tapi pastinya tidak akan mengecewakan...

"Ini," kata si kakek sambil memberimu sebutir jeruk. "Makanlah sambil jalan. Bagus karena mengandung air, jadi kamu nggak akan haus juga."

Yah, cuma sebutir jeruk, kecil pula. Kamu merasa sedikit kecewa. Tapi tak apalah. Benar kata si kakek, saat kamu mulai memakan jeruk yang ternyata cukup manis itu, kamu tidak saja merasa lebih kenyang, tetapi juga rasa hausmu berkurang. (HP: +10)

Klik di sini untuk melanjutkan.

SABIT

Kamu menyorongkan sabitmu ke samping dengan gaya siap menyerang. Meski begitu, di dalam hati kamu merasa ragu-ragu. Oke, orang-orang ini mungkin bukan manusia hidup yang normal lagi, tapi apa itu berarti kamu berhak mencabut nyawa mereka dengan darah dingin?

Gara-gara keragu-raguanmu, kamu jadi lengah. Para lawanmu yang merasa mendapat kesempatan langsung memukulimu dengan tulang-tulang keras itu. Gila, rasanya seperti dipukuli tongkat bisbol! Sesaat kamu kewalahan dan berusaha menangkis, akan tetapi kamu tetap mendapat pukulan bertubi-tubi.

Okay, that's it! Kamu tidak tahan lagi. Kamu mengayunkan sabitmu dengan ganas, dan para lawanmu langsung meloncat ke belakang. Sabetanmu berhasil mengenai tangan dua dari mereka. Yes!

Namun bukannya menghadapimu dengan jantan, para lawanmu malah langsung terbirit-birit. Sialan! Akan tetapi, di dalam hati kamu rada lega. Setidaknya, kamu tidak perlu menghadapi dilema apakah kamu harus membunuh mereka atau tidak. (HP: -15, MP: -15)

Klik di sini untuk melanjutkan.

PELARIAN

Seperti kata si kakek, pondok itu menutupi dirimu dari pandangan orang-orang kampung yang menyerbu dari arah yang berlawanan. Kamu bergidik lantaran bisa mendengar bunyi langkah yang begitu banyak, akan tetapi tak ada suara yang terdengar. Setidaknya zombie-zombie dalam game Plants vs Zombies masih bisa teriak-teriak, "Brainnnnn!" Yang beginian, benar-benar misterius dan membuatmu merinding.

Sebenarnya kamu tidak begitu tahu jalan kembali ke kampung yang tidak menyenangkan itu. Yang kamu lakukan hanyalah berlari seraya ngumpet dari satu pohon ke pohon lain dengan gaya cupu. Bahkan ada waktu-waktu di mana kamu merangkak-rangkak di atas tanah lantaran tidak ada pohon untuk dijadikan tempat ngumpet. Tapi, tahu-tahu saja kamu sudah tiba di belakang rumah Pak Kades lagi. Yep, si Pak Kades yang gosipnya bernama Robert. Ya ampun, sekarang kamu tak bakalan bisa memandang atau bahkan memikirkan si Pak Kades--maupun istrinya--tanpa teringat nama-nama mereka yang keren.

Kampung itu tampak sepi. Tentu saja, kan para penghuninya sedang mencarimu di pondok si kakek. Kamu menggedor pintu belakang, namun pintu itu digembok. Dengan pede kamu berlari ke pintu depan.

Sialnya, ada yang sedang menjaga di sana--dan bukan hanya satu.

Ada tiga orang yang sedang nongkrong di depan rumah Pak Kades, dan ketiganya sedang menggerogoti sesuatu yang mirip... tulang manusia? Oh, mannn. Benar-benar mengerikan. Mana saat melihatmu mendekat, mereka langsung memegangi tulang mereka bak senjata. Muka mereka yang tanpa ekspresi terlihat sangat menyeramkan. Seolah-olah mereka bukanlah manusia.

Dipikir-pikir lagi, mereka memang bukan manusia lagi.

Jika pada Episode 4 kamu memilih:

1. Sekop, klik di sini.
2. Kapak, klik di sini.
3. Sabit, klik di sini.
4. Garpu tanah, klik di sini.
5. Gunting kebun, klik di sini.

KAPAK

Kamu mengangkat kapakmu ke atas kepala dengan gaya siap menyerang. Meski begitu, di dalam hati kamu merasa ragu-ragu. Oke, orang-orang ini mungkin bukan manusia hidup yang normal lagi, tapi apa itu berarti kamu berhak mencabut nyawa mereka dengan darah dingin?

Gara-gara keragu-raguanmu, kamu jadi lengah. Para lawanmu yang merasa mendapat kesempatan langsung memukulimu dengan tulang-tulang keras itu. Gila, rasanya seperti dipukuli tongkat bisbol! Sesaat kamu kewalahan dan berusaha menangkis, akan tetapi kamu tetap mendapat pukulan bertubi-tubi. Lebih gawat lagi, salah satu pukulan mengenai mukamu. Brengsek! Darah jadi bercucuran dari hidungmu, semua gara-gara kamu terlalu baik!

Okay, that's it! Kamu tidak tahan lagi. Kamu mengayunkan kapakmu dengan ganas, dan para lawanmu langsung meloncat ke belakang. Sabetanmu berhasil mengenai tangan dua dari mereka. Yes!

Namun bukannya menghadapimu dengan jantan, para lawanmu malah langsung terbirit-birit. Sialan! Akan tetapi, di dalam hati kamu rada lega. Setidaknya, kamu tidak perlu menghadapi dilema apakah kamu harus membunuh mereka atau tidak. (HP: -20, MP: -10)

Klik di sini untuk melanjutkan.

SEKOTAK KOREK API

Begitu kamu masuk, kamu sudah siap dengan satu tangan memegang cermin dan kotak korek api, sementara tangan yang satu lagi menyalakan korek. Dari cermin yang kamu arahkan ke sekeliling kamar, kamu tahu sosok merangkak itu sedang hinggap di tepi ranjang, siap menerkammu. Sebagian tubuh si sosok merangkak terlihat hangus, namun yang lebih mengerikan adalah geraman penuh dendam yang didenguskan si sosok merangkak dari tenggorokannya. Kamu tak ragu, kalau sampai kamu tertangkap olehnya, kamu pasti bakalan langsung diantar secara pribadi ke neraka.

Kamu melemparkan korek yang sudah menyala ke arah si sosok merangkak. Namun sialnya, korek itu padam di tengah jalan. Kamu langsung menyalakan sebatang korek lagi, namun korek-korek itu tidak selalu berhasil menyala pada upaya pertama. Kamu merasakan si sosok merangkak mengangkat tangannya yang mendadak memanjang, lalu mencakarmu.

Gila, sakit bener!

Kamu terpaksa lari-lari keliling ranjang sambil terus menyalakan korek dan melemparkannya pada si sosok merangkak. Makin lama, kamu makin jago saja. Hampir sekitar lima atau enam korek mengenainya secara beruntun. Akan tetapi, kamu tidak tahu apakah kamu berhasil melukainya atau tidak. Sebagai balasannya, kamu masih juga kena cakar dua kali. Setiap bekas cakaran mengeluarkan darah bercampur nanah, tapi peduli amat. Kamu terlalu sibuk menyelamatkan nyawa.

Lalu, mendadak saja, si sosok merangkak memudar, lalu lenyap.

Apa ini berarti tugasmu sudah berhasil? (HP: -15, MP: -15)

Klik di sini untuk melanjutkan.

MENGETUK DENGAN SOPAN

"Tunggu dulu." Mendadak si Kakek menyetopmu. "Tidak baik bagimu untuk pergi dengan perut kosong. Sebaiknya kamu membawa makanan yang bisa dimakan sambil jalan."

Si kakek membuka pintu sebuah lemari, sementara kamu menatap dengan sorot mata berbinar-binar. Oke, tidak mungkin si Kakek memberimu semacam burger atau pizza, tapi pastinya tidak akan mengecewakan...

"Ini," kata si kakek sambil memberimu satu paha ayam bakar dan sebotol air minum. "Tadi kamu sudah bersikap sopan sekali, jadi saya tidak akan pelit-pelit juga sama kamu. Makan dan minumlah sambil jalan."

Ayam itu terasa lezat dan memberimu tambahan tenaga yang lumayan. Ditambah dengan air minum yang cukup banyak, kamu merasa segar banget. Sepertinya, hari ini semuanya akan berjalan lebih lancar dari yang kamu duga. (HP: +20)

Klik di sini untuk melanjutkan.

SEKOP

Kamu menyorongkan sekopmu ke depan. Saat mereka mendekat, kamu langsung menyodok--tidak ke arah orang-orang itu, melainkan ke arah tulang yang mereka pegang. Dua darinya berhasil kamu jatuhkan dengan mudah, tetapi yang ketiga malah mental ke atas, lalu jatuh tepat di atas kepalamu.

Saat pandanganmu sedang gelap-gelapnya lantaran kepalamu dihantam tulang, ketiga orang itu menyerbu ke arahmu. Kamu menyerang membabi-buta, berharap supaya seranganmu mengenai sesuatu. Salah satunya berhasil mendekatimu, akan tetapi kamu hantam mukanya menggunakan gagang garpu tanah.

Ketika pandanganmu pulih kembali, kamu shock melihat ketiga orang itu terkapar dengan tubuh penuh darah dan luka goresan. Seandainya pandanganmu tidak menggelap tadi, kamu tidak akan tega melukai mereka separah itu. Namun kini semuanya sudah terlambat. (HP: -5, MP: -30)

Klik di sini untuk melanjutkan.

SELANJUTNYA

Oke, tidak peduli misimu sudah tercapai atau belum, tidak ada lagi yang bisa kamu lakukan di sini. Kamu pun keluar dari kamar itu, siap untuk keluar dari rumah Pak Kades. Tapi lalu mendadak kamu sadari, di luar tidak hening lagi. Kamu mengintip melalui jendela, dan melihat orang-orang kampung sudah kembali. Akan tetapi, kali ini mereka tidak berjalan.

Mereka merangkak.

"Kamu sudah mencuri kaki kami."

Kamu terperanjat dan serta-merta membalikkan tubuh dengan sikap siaga. Di depanmu, Ibu Kades sedang merangkak pula, menatapmu seraya mendongakkan kepalanya.

"Makhluk di atas itu meminjamkan kakinya untuk kami, supaya kami bisa berjalan saat kami keluar dari kuburan," kata si Ibu Kades tanpa menggerakkan mulutnya. "Tanpa dia, kami hanya bisa merangkak-rangkak. Kami semua, dari anak-anak hingga orang-orang yang sudah tua. Kamu mencuri dari kami!"

"Kalian makanin teman-temanku!" balasmu tidak mau kalah. "Itu lebih keji lagi!"

"Kami butuh mereka untuk hidup, dan seharusnya kamu juga. Seharusnya kamu tidak bisa mengelak dari takdirmu, seperti yang sudah kami alami. Ini tidak adil, tidak adil, tidak adil!"

Si Ibu Kades mengejarmu dengan gerakan mirip kelinci ganas yang siap memangsa wortel berjalan. Kamu pun lari terbirit-birit mengitari rumah itu. Kamu menyadari, tidak mungkin kamu bisa selamat kalau kamu keluar dari rumah itu begitu saja. Habis, di depan sana ada banyak orang yang sedang merangkak-rangkak dan tidak kalah dengan si Ibu Kades dalam soal dendam padamu. Jadi kamu hanya bisa berlindung di dalam rumah ini.

Dengan catatan, seharusnya kamu bisa menyingkirkan si Ibu Kades sebelum dia memangsamu.

Pandanganmu tertuju pada kamar pasangan Kades itu. Pintunya terbuka! Tanpa berpikir panjang lagi, kamu pun menghambur masuk ke dalam kamar itu dan mengunci pintu. Sementara si Ibu Kades menggedor-gedor dari luar, kamu memandangi sekeliling kamar itu.

Kamar itu tidak ada bedanya dengan kamar-kamar lain di dalam rumah ini. Perabotannya sederhana, tanpa peralatan elektronik, dan tidak ada cermin di sana. Sebuah lampu minyak diletakkan di atas meja, menerangi benda-benda yang terlihat aneh banget di tempat ini: sebuah ponsel, sebuah radio HT, dan sebuah tablet, semuanya dengan kondisi batere penuh. Ini benar-benar hebat, soalnya ponsel dan tabletmu sudah mati sejak kamu berada di dalam bis.

INSTRUKSI MysteryGame@Area47 UNTUK MINGGU INI:

Hai para peserta MysteryGame@Area47!

Kirimkan email ke lexiexu47@gmail.com dengan subject yang diisi dengan "Holiday in Hell episode 7" diikuti nama, "HP=" diikuti jumlah HP diikuti "MP=" diikuti jumlah MP, serta jawaban atas pertanyaan ini:

BENDA APA YANG KAMU AMBIL? (Pilih antara: ponsel, radio HT, tablet. Tidak perlu sebutkan alasannya.)

Kalex tunggu jawabannya sampai enam hari lagi ^^

Good luck, everybody!

xoxo,
Lexie

Rumah si Kakek Tua dari MysteryGame@Area47: HOLIDAY IN HELL™


Source: @AbandonedPics

Sunday, July 28, 2013

MysteryGame@Area47: HOLIDAY IN HELL™, episode 6

"Apa yang kamu lakukan?"

Kamu terperanjat saat pintu terbuka, menampakkan seraut wajah yang sudah sangat keriput. Tapi kamu tidak sempat mengatakan apa-apa, lantaran si kakek tua ternyata galak betul.

"Pergi dari sini!" raungnya dengan tampang yang tak kalah seram dengan seekor harimau. "Jangan ganggu saya lagi!"

"Maaf," ucapmu terbata-bata. "Saya hanya ingin minta bantuan..."

Kini giliran kakek tua itu yang terperanjat. "Lho kamu manusia toh?"

Mendadak kamu jadi sewot. "Ah, Kakek. Memangnya saya mirip monyet?"

Di luar dugaan, kakek tua itu tertawa terbahak-bahak. "Sudah lama saya tidak mendengar lelucon dari manusia hidup. Ayo, masuk, masuk. Kamu pasti sudah capek dan kedinginan!"

Kamu memasuki pondok yang sepertinya lebih layak disebut gubuk itu. Di dalam pondok itu, semuanya tampak begitu bersahaja. Kursi dan meja kayu, kasur dari kapuk, kompor minyak--intinya, mirip dengan rumah-rumah di kampung itu. Untung saja kakek itu bisa berbicara. Kalau tidak, sudah pasti kamu mengira dia salah satu dari penduduk desa itu.

Kamu memandangi kakek itu. Karena sudah amat sangat tua, tubuh kakek ini menciut hingga hanya sebahumu. Tambahan lagi, dia rada bongkok. Rambutnya sudah berwarna putih, jarang-jarang pula (sejujurnya kepalanya ini rada menyeramkan, mirip ilmuwan gila soalnya). Pakaiannya pun cukup sopan, kemeja kotak-kotak kumal dengan celana jins. Dalam segala keanehannya, si kakek tua tidak terlihat mencurigakan atau jahat. Sepasang matanya yang kecil menatapmu, dengan sudut-sudut mata yang berkeriput. Sepertinya kakek itu punya hobi tersenyum atau tertawa. Saat ini pun, bibirnya menyunggingkan senyum yang tampaknya menyenangkan.

"Jadi, kenapa kamu bisa nyasar di tempat seaneh ini, malam-malam begini pula?"

Teringat betapa kagetnya kakek itu menyadari bahwa kamu manusia, kamu menyadari bahwa kemungkinan besar si kakek tua sudah mengetahui soal orang-orang kampung tersebut. Apalagi sepertinya dia adalah penjaga makam orang-orang tersebut. "Eh, Kek, sebenarnya saya barusan dari kampung di dekat sini..."

"Dan kamu masih hidup?" Kali ini kamu baru menyadari arti tatapan kakek tua itu. Rupanya, dia sedang memandangimu dengan takjub. "Bagaimana mungkin? Bahkan saya pun harus mengucilkan diri sejauh-jauhnya dari mereka supaya nggak menjadi sama seperti mereka."

Kamu berpikir sejenak, berusaha menebak arti dari kata-kata itu. "Kakek juga penduduk desa itukah?"

"Betul sekali," angguk kakek itu. "Sebetulnya, saya adalah kepala desa dari kampung itu."

Kamu melongo. "Tapi..."

"Tapi kamu sudah pernah ketemu kepala desa yang lain," kata kakek itu sambil manggut-manggut. "Itu benar. Dia memang kepala desa yang sekarang."

"Maksud Kakek?"

"Saya adalah kepala desa saat kampung itu masih kampung biasa, sementara dia adalah kepala desa dari kampung orang-orang mati. Sebab," si kakek tua rupanya pandai bercerita, sebab dia berhenti pada saat yang tepat, membuatmu menahan napas saking tegangnya, "dia adalah yang pertama mati dari mereka semua."

Sesaat kamu tidak sanggup bicara. "Kenapa mereka bisa mati?"

"Karena sebuah penyakit misterius," ucap si kakek tua sambil berbisik, seolah-olah dengan mengucapkan hal itu keras-keras bisa mengundang kedatangan virus mematikan yang sedang kalian bicarakan. "Mereka semua mati satu per satu dengan cara yang sangat aneh. Terlalu mudah. Hanya dengan demam tinggi, kadang disertai ruam dan muntah-muntah, mereka pun meninggal dalam waktu seminggu."

Kamu bukan dokter, tapi tidak sulit bagimu untuk menerka penyakit apakah itu. "Itu demam berdarah. Kalian semua terkena wabah demam berdarah."

"Rupanya kamu bukan anak biasa," ucap si kakek tua memandangimu dengan sorot mata takjub. "Mungkin kamu memang dibawa ke sini untuk menyelamatkan kami semua."

Oke, sebenarnya itu adalah pengetahuan umum yang biasa-biasa saja, tapi kamu lumayan senang disangka bukan anak biasa. Jadi kamu tidak mengatakan apa-apa untuk membantahnya. "Lalu, apa yang terjadi lagi, Kek?"

"Satu per satu meninggal," kenang si kakek. "Dimulai dari sobatku, Robert." Robert??? Nama si Pak Kades itu Robert??? Kok bisa keren begitu?? "Disusul istrinya, Kirsten." Buset! "Lalu Taylor..."

Gile, rupanya nama orang-orang di kampung itu memang keren-keren. Mungkin saja si kakek tua yang penampilannya bak manusia zaman abad pertengahan ini sebenarnya bernama Justin. Oke, lebih baik kamu segera menyetop kakek itu menyebut nama-nama lain yang bikin kamu tambah minder saja. "Setelah itu, Kek?"

"Awalnya semua biasa-biasa saja. Maksudnya, orang meninggal ya meninggal. Didoakan, dikubur, habis perkara. Tapi, setelah mereka semua meninggal, dan tinggal aku seorang diri," si kakek bergidik, "mereka yang meninggal kembali lagi pada suatu malam."

Kamu langsung ikutan bergidik, bukan hanya karena tampang horor yang tercermin pada wajah si kakek, melainkan juga membayangkan seorang manusia hidup dikelilingi orang-orang mati yang muncul pada malam hari.

"Arnold bilang, mereka semua menolak untuk menyeberangi Gerbang Kematian. Setelah beberapa lama, gerbang itu tertutup untuk mereka semua. Dan itu lebih baik, karena mereka bisa kembali ke dunia ini, meski dengan tubuh yang tidak utuh lagi. Mereka tidak bisa bertahan di saat ada sinar matahari, bahkan di dalam rumah sekali pun, jadi mereka semua harus kembali ke dalam kuburan mereka di siang hari."

"Gimana caranya?" tanyamu heran. "Nggak mungkin mereka menggali-tutup kuburan mereka setiap hari dong."

"Itulah ajaibnya," kata si kakek. "Dalam banyak hal mereka menyerupai manusia biasa. Meski begitu, mereka bisa keluar-masuk kuburan mereka seperti hantu. Tidak benar-benar seperti hantu sih. Mereka merangkak di atasnya, mengais-ngais seperti anjing, lalu menceburkan diri seolah-olah kaisan mereka bisa menghasilkan lubang. Padahal saya sudah periksa semua kuburan itu. Semuanya rapi tak tersentuh. Saat mereka keluarpun, seolah-olah mereka keluar susah-payah dengan menembus tanah."

Seperti zombie, pikirmu, tapi kamu rasa si kakek tua tidak pernah nonton Resident Evil, jadi percuma saja kamu sebut-sebut.

"Entah kenapa, saya satu-satunya yang tidak terjangkit penyakit tersebut. Mungkin karena saya penduduk yang paling sehat. Yah, jangan biarkan tubuh tua ini menipumu. Waktu saya masih muda, tubuh saya tinggi besar dan berotot, beda dengan penduduk lain yang, yah, kamu sudah lihat sendiri."

Ya, kamu masih ingat betul para penduduk yang tubuhnya letoy-letoy itu. Tak bisa kamu bayangkan bagaimana mereka sanggup bertani atau berkebun. Sebenarnya, kamu juga tak bisa membayangkan kakek ini tinggi besar dan berotot seperti Taylor Lautner. Cuma ya, kata orang kan, don't judge the book by its cover. Mana tahu dulu kakek ini juga tampan seperti Justin Bieber. Siapa tahu.

"Nggak percaya?" Entah tampangmu seperti apa, pokoknya si kakek tua tampak jengkel melihat air mukamu. "Buktinya saya masih hidup setelah semua orang mati! Gini-gini usia saya sudah seratus tahun, tahu??"

OH MAN. "Waduh, kalo gitu seharusnya saya panggil Kakek Buyut?"

"Jangan. Kakek buyut itu biasanya sudah mati. Kan saya masih hidup dan sehat walafiat pula. Nah, Anak Muda, kamu masih mau hidup atau tidak?"

"Mau dong, Kek," jawabmu cepat.

"Kalau begitu, kamu harus mengikuti petunjukku dengan sebaik-baiknya dan juga dengan cepat. Karena," kakek itu berkata kalem, "orang-orang kampung itu sudah tau kamu ada di sini."

Saat itulah kamu menyadari ada langkah banyak orang di depan pondok. Paling jauh, hanya berjarak sepuluh meter. Oh mannn! Kamu tidak bakalan punya kesempatan untuk kabur dari pondok. Mereka pasti bisa mengejarmu dengan mudah.

"Saya harus gimana, Kek?" tanyamu panik.

"Pertama-tama, kamu harus pergi ke rumah Arnold, maksudku kepala desa kampung orang-orang mati itu. Setelah itu, carilah kamar yang ada rohnya."

"Roh?" Kamu tercekat.

"Roh itu hanya bisa dilihat dengan cermin." Oh mannn! Itu kan si sosok merangkak! Kamu harus ketemu dia lagi??? "Bunuh dia."

Enak saja si kakek ini ngomong. "Gimana caranya bunuh roh begitu, Kek?"

"Gampang," ucap si kakek. "Gunakan salah satu dari benda ini. Tapi kamu hanya boleh pilih salah satu, karena saya juga butuh sisanya. Bukan cuma kamu yang perlu menjaga nyawa, Nak!"

INSTRUKSI MysteryGame@Area47 UNTUK MINGGU INI: 

Hai para peserta MysteryGame@Area47 yang sudah mendaftarkan diri! 

Kirimkan email ke lexiexu47@gmail.com dengan subject yang diisi dengan "Holiday in Hell episode 6" diikuti nama dan jawaban atas pertanyaan ini: 

BENDA APAKAH YANG KAMU PILIH? 
(Pilihan jawaban: 
1. Sekotak korek api 
2. Sekaleng minyak
3. Tiga butir telur
* Tidak perlu sebutkan alasannya.)

Kalex tunggu jawabannya sampai enam hari lagi! ^^

Good luck, everybody! 

xoxo,
Lexie