Sunday, May 26, 2019

Project Alice: Randy Sakuragi, si Cowok Paling Keji

Ada alasan bagus kenapa aku mengendap-endap seperti pencuri pagi-pagi begini, dalam kondisi berhujan-hujan pula.

Alasan itu adalah, aku ini pengecut tingkat dewa.

Oke, setelah diucapkan, ternyata alasannya tidak begitu bagus. Tapi setidaknya aku bukan pembohong. Aku takkan mengingkari kelemahanku yang satu itu. Aku takut banget dengan segala macam hantu-hantuan (ya, aku percaya mereka ada), serangga-serangga (masa kalian tidak merasa terancam dengan binatang yang bisa masuk ke dalam lubang hidung kalian?), binatang pengerat (ewww jorok), anjing dan kucing (mereka suka mengejarku), ternak dan unggas (suka mengejarku juga), burung (ingat flu burung, saudara-saudara), dan binatang-binatang buas (dikerangkeng atau tidak, mereka itu kuat banget). Aku juga takut dengan petir (pakai beha berkawat saja bisa membuat kita disambar), gempa bumi (sudah menelan banyak korban), keramaian (aku gampang terinjak-injak massa), dan lalu lintas (tahu nggak naik pesawat masih lebih aman?).

Dan, tentu saja, aku takut pada Randy Sakuragi.

Asal tahu saja, nama belakang itu bukanlah nama aslinya. Namun dia merasa dirinya mirip banget dengan cowok jagoan dalam manga Slam Dunk (meski tak ada yang merasa begitu) sehingga dia menambahkan nama tokoh tersebut ke dalam namanya. Tidak ada yang berani membantahnya, karena Randy Sakuragi memiliki tubuh paling besar, tenaga paling kuat, dan daftar kejahatan paling panjang di sekolah kami. Bahkan guru-guru pun takut padanya.

Sebenarnya, minus hal-hal mengerikan dalam diri Randy Sakuragi, dia sebenarnya lumayan ganteng dengan tipe bad boy gitu lho. Tubuh tinggi penuh otot akibat sering berantem, rambut shaggy yang dicat warna pirang, anting kecil di telinga kiri. Senyumnya agak sinis, tapi toh membuatnya kelihatan keren. Mungkin saja aku bakalan naksir dia, kalau saja dia tidak begitu benci padaku.

Yah, jujur saja, aku sendiri pun tidak tahu kenapa Randy Sakuragi benci banget padaku. Aku ini kan cewek lemah tak berdaya. Kelebihanku tidaklah banyak—aku tidak terlalu cantik, bukan berasal dari keluarga kaya, prestasi akademik pun sedang-sedang saja—jadi tak ada alasan untuk sebal dan iri padaku. Sebagai anak baru di kelas X dengan nyali yang nyaris tak ada, tentu saja aku tak pernah bertingkah macam-macam di depan para senior dan murid lama. Seharusnya aku dinobatkan sebagai murid baru paling sempurna.

Dan bukannya ditindas-tindas seperti sekarang ini.

Aku sama sekali tidak menyadari sejak kapan dia mulai memperhatikanku. Seingatku, aku berhasil melalui acara MOS dengan sukses—dikerjai bersama teman-teman lain, tapi tidak ada adegan memalukan secara pribadi. Pokoknya, aku lolos tanpa insiden berarti. Lalu aku masuk ke kelas X-5 di mana Randy Sakuragi ikut bercokol. Di minggu pertama saja, dia sudah tak segan-segan memalakku.

“Eh, Dora, bagi duit jajan dong!”

Begitulah dia memulai perkenalan kami. Sejujurnya, aku rada tersinggung karena selain namaku bukan Dora, potongan rambutku pun sama sekali tidak mirip tokoh kartun itu. Dari sekian banyak fitur tubuhku, rambut termasuk salah satu yang terbaik—potongannya bermodel bob yang bagian depannya lebih panjang dari bagian belakang, model yang lagi ngetren-ngetrennya itu. Poniku, tentu saja, ditrap samping dan bukan poni datar seperti poni Dora. Tapi, biarpun tersinggung, aku tidak berani protes, soalnya muka Randy Sakuragi serem banget.

Tak peduli ada cabe merah yang nyelip di gigi sampingnya dan sangat mengganggu pandangan.

Kuabaikan si cabe merah yang bikin rusak imej cowok ganteng nan seram ini. Tanpa banyak bacot kukeluarkan dompetku, lalu memamerkan isinya yang cuma tujuh ribu perak.

“Gila lo, miskin bener!” Oke, sekali lagi aku tersinggung. Ayahku memang bukan konglomerat atau pejabat berkuasa, tapi beliau punya pekerjaan tetap yang hebat sebagai tukang potong rambut di barbershop. Bahkan, bisa kukatakan dengan bangga, bahwa rambutku ini adalah hasil karya ayahku. Sehari-harinya pekerjaan ayahku memang cuma mencukur rambut cowok-cowok sampai botak, tapi kalau memang harus, beliau bisa kok memotong rambut pixie yang kapan itu ngetren berkat Jennifer Lawrence, rambut keriting-keriting cantik ala Jennifer Lopez, maupun rambut layer ala Jennifer Aniston. Pemasukan ayahku juga bagus, meski tidak berlebihan, dan sebagai anak yang tahu diri, aku tidak minta uang jajan yang banyak. “Duit tujuh rebu di zaman now begini, bisa buat makan apa?”

Aku bisa memberikan lebih dari sepuluh jawaban untuk pertanyaan itu. Masalahnya, aku takut banget. Orang ini sepertinya siap untuk memakanku seandainya jawaban yang kuberikan tidak sesuai dengan selera makannya. Lebih aman aku diam saja.

“Bisu ya?” Oh, sial. Sepertinya apa pun yang kulakukan selalu bikin cowok bengis ini tak senang. “Kalo gitu percuma dong punya mulut. Apa mulutnya gue jahit aja ya?”

Aku kaget luar biasa saat cowok itu mengeluarkan kotak berisi peralatan jahit dari sakunya. Astaga, mana ada preman di dunia ini yang bawa-bawa kotak jahit ke mana-mana? Pastinya preman yang satu ini memang suka menyiksa orang dengan peralatan menjahit!

Tanpa berpikir panjang lagi, aku pun lari tunggang-langgang.

Sejak hari itu, tiada hari kulalui tanpa siksaan dari Randy Sakuragi. Awalnya dia hanya sering memalak uangku. Tapi saat aku mulai mencari jalan untuk meloloskan diri—seperti mengendap-endap masuk ke sekolah atau berusaha jalan bareng guru dengan menanyakan pertanyaan-pertanyaan konyol—Randy Sakuragi sepertinya jadi berang. Ulahnya makin brutal saja, mulai dari mengeluarkan seluruh isi tasku hanya karena ingin “meminjam” pen (yang tentunya tak pernah dikembalikannya lagi) hingga mencemplungkan baju olahragaku ke dalam selokan di dekat kamar mandi cowok (ewww).

Aku ingat menatap baju olahraga yang menyumbat saluran pembuangan itu dengan air mata mengalir deras di pipiku. Rasa-rasanya aku mirip tokoh malang di sinetron, hanya saja tidak ada cowok ganteng yang langsung menolongku. Yang ada hanyalah si tokoh antagonis alias Randy Sakuragi yang tertawa keras-keras di belakangku.

“Dasar cengeng,” cemoohnya. “Hal-hal kayak begini yang bikin kami semua seneng ngerjain elo.”

Kami semua? Hanya dia seorang diri yang senang mengerjaiku!

Berhubung tak ada yang ingin mencari masalah dengan cowok preman paling mengerikan di seluruh sekolah, semua teman sekelas pun menjauhiku seolah-olah aku penderita penyakit menular. Dipikir-pikir lagi, ini memang mirip penyakit menular. Semua yang mendekatiku bakalan ketularan nasib ikut ditindas Randy Sakuragi. Diam-diam aku menamai penyakit ini sebagai Infeksi Kotoran Mata Randy.

Tolong jangan bilang ke dia. Bisa-bisa aku mati disiksa karenanya.

Ketika akhirnya aku tak tahan lagi, aku pun mengadu pada wali kelasku, Pak Tarno. Sekadar catatan, aku bukanlah murid pengadu. Biasanya aku menutup mata terhadap keisengan satu-dua atau sepuluh kali, dan pada dasarnya aku adalah anak yang pemaaf. Tapi aku sudah tidak tahan pada Randy Sakuragi. Cowok itu membuat masa-masa awal SMA-ku jadi sengsara tak tertahankan.

Tak kuduga, Pak Tarno malah ketawa.

“Jangan terlalu diambil hati.” Jangan terlalu diambil hati?! “Randy itu bukan anak yang jahat. Dia ngisengin kamu karena dia suka padamu.”

Aku menatap wali kelasku itu seolah-olah dia sudah gila. Randy? Suka padaku? Aku teringat tawanya yang terdengar puas banget saat mencemplungkan baju olahragaku ke dalam got. Tidak, tidak mungkin dia menyukaiku. Dia melakukan semua ini karena dia memang keji.

Mungkin menyadari isi hatiku, Pak Tarno buru-buru berdeham. “Kamu jangan khawatir, Bapak pasti akan bicara padanya. Tapi, daripada kamu menunggu Randy berubah, lebih baik kamu yang mengubah cara pandangmu. Jangan memandang Randy sebagai tukang tindas, tetapi pandanglah dia sebagai cowok yang hanya ingin mencari perhatian. Mungkin, setelah itu, kamu akan menyadari Randy sama sekali tidak berbahaya. Oke?”

Oke apanya? Jelas-jelas Randy adalah cowok paling berbahaya di sekolah ini. Bukti yang akan kusajikan adalah kejadian hari ini. Hari di mana hujan turun dengan deras. Guruh bergemuruh di kejauhan, sementara sesekali kilat yang menakutkan menyambar.

Aku mengendap-endap di luar gerbang sekolah, berpindah-pindah dari balik sebatang pohon (berbahaya banget berada di bawah pohon di saat hujan) ke tong sampah dan belakang mobil, berdoa supaya petir tidak menyambarku karena mengenakan bra berkawat pagi ini (mana kutahu hujannya tidak reda-reda?). Kurapatkan jas hujanku yang berwarna kuning seraya menggigil kedinginan, memandangi pemandangan di depanku dan meneliti setiap sosok dengan seksama. Saat yakin banget tak ada kepala berwarna kuning jelek di antara mereka, aku pun menampakkan diri.

“Jadi di sini rupanya lo?”

Jantungku serasa berhenti berdetak. Saat aku akhirnya berhasil menoleh, dari ekor mataku aku melihat tubuh Randy Sakuragi menjulang tinggi di belakangku, mengancam bagai beruang ganas yang siap mencaplok kepala berang-berang imut dan malang. Beruang ganas yang basah kuyup, tidak mengenakan jas hujan atau membawa payung, dan tampak berang setengah mati.

Oh, sial.

Belakangan ini, setiap kali melihat Randy Sakuragi, reaksiku adalah melarikan diri sesegera mungkin, berharap gerakanku yang mendadak bisa mencuri start di saat dia masih lengah. Sayangnya, dari sepuluh usahaku, belum tentu ada satu yang berhasil. Setiap kali Randy Sakuragi selalu berhasil menangkapku dalam waktu singkat dan melakukan apa pun yang diinginkannya terhadapku.

Seperti saat ini.

Aku bisa merasakan Randy menarik tudung jasku dengan keras, membuatku terpental ke belakang—tepatnya ke arah Randy Sakuragi. Cowok itu menangkap kedua bahuku dengan kedua tangannya yang besar, kekuatannya membuatku sadar bahwa aku tak bakalan bisa meloloskan diri hanya dengan sekali sentak (berjuta-juta kali sentak pun tak bakalan bisa).

Matilah aku, pagi-pagi begini jadi bulan-bulanan Randy Sakuragi, di tengah hujan pula. Kalau sampai Randy Sakuragi disambar petir akibat kejahatannya yang sudah bertumpuk-tumpuk, aku bakalan ikutan kesamber juga. Dan berhubung bodinya besar, paling-paling dia kesetrum sedikit saja, sedangkan aku yang berbodi kecil pasti bakalan mati dalam kondisi hitam dan hangus.

Aku benar-benar sial.

“Lo ini bener-bener gila,” ketus Randy Sakuragi, suaranya membahana di belakang kepalaku. “Ngapain lo ujan-ujanan begini pagi-pagi?”

Astaga, memangnya ketakutanku padanya tidak cukup jelas? Namun, untuk kesekian kalinya, saking takutnya aku tidak bisa bicara.

“Lagi-lagi bisu!” bentaknya tak sabar sambil memutar tubuhku. Kini aku bisa melihat muka Randy Sakuragi yang basah dan berang saat kedua tangannya mengguncang tubuhku kuat-kuat. “Lo kira enak, tiap kali gue ngomong, lo kagak pernah mau jawab?”

Cowok ini benar-benar jahat. Seandainya sekarang tidak hujan, dia pasti sudah menyadari air mataku sedang berlinang-linang saking takutnya. Entah kenapa, mendadak di dalam pikiranku terlintas kata-kata yang pernah beken, “Aku ingin menangis di antara hujan, supaya hujan bisa menyembunyikan air mataku.” Itu kata-kata yang bodoh sekali. Kita kan sudah capek-capek menangis, masa harus diumpetin? Orang-orang lain, terutama yang sudah menyakiti kita, harus tahu kalau air mata kita mengucur deras (kalau perlu sampai keluar darah sekalian). Biar mereka tahu kalau mereka sudah berdosa besar.

Tapi andai Randy Sakuragi tahu aku sedang menangis saat ini, barangkali dia cuek saja. Barangkali dia malah tambah berang. Mungkin aku bakalan dikatai cengeng lalu dilempar ke tengah jalan untuk dilindas truk pembawa balok-balok kayu, kemudian balok-balok kayu itu bakalan jatuh karena terguncang, dan salah satu balok kayu itu menembus badan Randy Sakuragi.

Oke, sepertinya aku terlalu sering film Final Destination. Bukannya aku benar-benar sering nonton sih. Hanya sekali, sebenarnya, tapi itu sudah terlalu sering bagi orang penakut sepertiku. Gara-gara sekali menonton film thriller, adegannya menancap di otakku dan menghantuiku seumur hidup.

Aku tidak tahu apa yang dilihat Randy pada wajahku, karena sepertinya dia makin tak senang saja. Mungkin dia baru menyadari bahwa seberapa pun aku berdiri di sana, aku tetap kering berkat jas hujanku, sementara dia semakin kuyup saja.

“Jas hujan lo kayaknya bagus,” katanya mendadak. “Nggak pantes buat elo. Mendingan buat gue aja!”

Aku melongo saat cowok itu menarik lepas kancing-kancing jas hujanku dengan cara yang sangat kurang ajar. Meski sudah berkali-kali dia menjailiku, baru kali ini aku merasa batas-batas pribadiku dilanggar dengan semena-mena. Darah di seluruh tubuhku berdesir, menimbulkan rasa panas akibat malu dan terhina. Sebelum dia sempat melepaskan jas hujan itu dari tubuhku, aku menyentakkan diriku ke belakang. Meski begitu aku belum berhasil meloloskan diri. Sementara Randy memegangi jasku dengan ngotot, aku pun memberontak sekuat tenaga.

“Brengsek, Dora...”

Kami berdua sama-sama jatuh ke atas jalanan berlumpur. Aku mencoba merangkak pergi, tapi Randy Sakuragi berhasil menangkap kakiku dengan genggaman yang mantap.

“Jangan kabur, dasar cewek sialan!”

Oke, sudah waktunya aku menurunkan tangan kejam—atau lebih tepat, kaki kejam. Tanpa segan-segan lagi, aku menendang muka Randy dengan sepatuku yang kotor banget.

“Dora!”

Oh, sial. Hanya dengan mendengar nada suaranya pun, aku sudah yakin banget. Seandainya aku tertangkap, kali ini aku pasti mati. Dia akan memastikan aku tak berani melawannya lagi, dan aku akan menjadi mainannya untuk selama-lamanya.

Aku tidak mau. Aku tidak rela!

Dengan gerakan tak terkendali aku berhasil bangkit berdiri, lalu aku pun lari secepat-cepatnya. Yang terlintas dalam pikiranku adalah, begitu aku tiba di dalam sekolah, aku akan selamat. Pasti akan ada yang menolongku. Guru, satpam, tukang bersih-bersih—pasti ada yang menyelamatkanku dari tangan Randy Sakuragi.

Aku berlari melewati gerbang sekolah, memasuki kerumunan anak-anak yang baru datang ke sekolah sambil membawa payung mereka. Hatiku merebak dipenuhi kegembiraan karena aku bakalan selamat dari cengkeraman Randy Sakuragi...

“Dora!”

Aku tersentak saat sekali lagi jas hujanku direnggut ke belakang. Dengan sekuat tenaga aku menyentakkan diri ke depan seraya menjerit, “Tolong!”

Rasanya dunia seperti berhenti berputar. Orang-orang di sekeliling kami berhenti berjalan. Semua memandangi kami—aku dan Randy Sakuragi yang berhadap-hadapan. Kali ini Randy Sakuragi berhasil menarik lepas jas hujanku, membuatku diguyur air hujan yang masih sederas tadi. Kedua tanganku memeluk tubuhku yang menggigil kedinginan, merasa telanjang dan terekspos di bawah pandangan Randy Sakuragi yang dipenuhi amarah.

Tak ada satu orang pun yang bergerak untuk menolongku.

“Dora, kali ini lo nggak akan gue biarkan lolos lagi,” geram Randy Sakuragi sambil mencampakkan jas hujanku ke atas genangan air. “Kali ini gue akan bikin lo tau apa sebenarnya yang gue inginkan dari lo!”

Aku menatapnya dengan mata terbelalak dan mulut ternganga lebar. Apa yang dia inginkan dariku?

Keperawanankukah?

Aduh, mengerikan sekali!

Aku bergerak maju ke arah kantor guru, tapi dengan cepat Randy Sakuragi menghalangi jalanku.

“Sebaiknya lo menyerah saja,” katanya dengan tampang keji. “Lo mau ke neraka pun, akan gue kejer terus!”

Tidak, aku tidak akan menyerah! Aku tidak akan mau tunduk di bawah Randy Sakuragi lagi! Akan kuberitahu dia bahwa aku, meski lemah dan pengecut, tidak akan sudi menyerah dengan gampang.

Jadi aku pun berbalik dan berlari lagi.

Belum pernah aku berlari sekencang ini. Rasanya kakiku seperti terlepas dan tubuhku melayang dengan kecepatan tinggi. Aku berlari memutari gedung sekolah, mengelilingi lapangan sepak bola, dan akhirnya tiba di gedung belakang. Gedung itu adalah gedung lama yang sudah tak terpakai lagi. Seorang penjaga sekolah yang sudah tua sedang mengepel di situ.

Aduh, dari sekian banyak penjaga sekolah, kenapa aku harus bertemu yang sudah tua dan kelihatan ringkih ini?

Jalanan di depanku sudah buntu. Aku salah membelok—bukannya membelok ke arah koridor menuju kelas-kelas lama yang tak terpakai, aku malah membelok ke koridor buntu yang berakhir pada sebuah pintu. Aku memberanikan diri untuk menoleh ke belakang. Kelegaan mengaliri sekujur tubuhku saat melihat tiadanya bayangan Randy Sakuragi yang mirip raksasa itu. Tubuhku lemas saat aku jatuh terduduk di ujung koridor itu.

“Ada apa, Nak?” tanya si penjaga sekolah dengan ramah.

“Saya,” baru kusadari napasku yang terengah-engah, “saya dikejar anak paling jahat di sekolah ini, Kek.”

“Oh,” suara si penjaga sekolah tampak prihatin. “Dan ini adalah akhir pelarianmu.”

“Bukan, bukan akhir pelarianku.” Mendadak sebuah ide terbentik di pikiranku. “Kek, pintu ini bisa dibuka nggak? Biar saya ngumpet di dalam sebentar ya? Hanya sampai anak itu pergi saja kok, Kek.”

Si penjaga sekolah menatapku dengan muka aneh.

“Nggak bisa, Nak.”

Keputusasaan kembali menghantamku. “Kenapa? Kan aku nggak akan merusak apa-apa. Aku hanya ingin bersembunyi, sebentar saja.”

“Pintu ini,” si penjaga sekolah tampak ragu-ragu, “terkunci, Nak.”

“Tapi Kakek pasti punya kuncinya dong!” sergahku.

Sekali lagi si penjaga sekolah menatapku dengan muka aneh. “Kakek nggak punya kok.”

Aku tahu penjaga sekolah itu berbohong. Kenapa? Kenapa dia membohongi? Jangan-jangan... Jangan-jangan dia adalah konconya Randy Sakuragi. Aku pernah mendengar bahwa salah satu trik Randy Sakuragi untuk lolos dari berbagai hukuman adalah hubungan baiknya dengan para penjaga sekolah. Jangan-jangan kakek yang bertampang baik hati ini sebenarnya adalah salah satu antek Randy Sakuragi.

Atau mungkin juga kakek ini hanya tak ingin repot. Dia tidak ingin perseteruan antara aku dan Randy Sakuragi mengacaukan pekerjaannya. Dia tidak ingin membantuku sama sekali...

“Dora!”

Serta-merta aku menoleh dan melihat Randy Sakuragi di kejauhan. Sepertinya dia sempat terjatuh atau apa, karena kini pakaian seragamnya jauh lebih kotor ketimbang tadi—padahal tadi kan kami berdua sudah sempat terjatuh di tanah berlumpur. Dan kini, tampangnya semakin bengis saja.

Aku tidak boleh membiarkannya menangkapku.

Aku tidak punya waktu lagi. Kuputuskan, aku harus masuk ke dalam ruangan itu sekarang juga—tidak peduli penjaga sekolah itu mengizinkanku atau tidak. Jadi aku bangkit berdiri dan memegangi hendel pintu, lalu memutar benda itu. Aku sudah mengharapkan pintu itu tetap bergeming akibat terkunci, jadi aku rada shock saat pintu itu benar-benar terbuka. Tapi lalu muncul sebuah harapan, harapan yang sangat besar, bahwa kali ini aku akan berhasil lolos dari Randy Sakuragi dan memperjuangkan kebebasanku.

Atau begitulah pemikiranku, sampai akhirnya aku masuk ke dalam pintu itu.