Sejauh ini, kamu memiliki HP (Health Points) sebesar 100 HP. Dalam perjalananmu, setiap kali kamu menemukan kata-kata seperti (HP: -x), itu berarti HP-mu akan dikurangi dengan bilangan yang diwakili x. Rekan seperjalananmu, Johan, memiliki JP (Johan Points) sebesar 100 JP, yang akan dikurangi setiap kali Johan mengalami luka dan ada keterangan (JP: -x). Sementara musuhmu, Dokter X, memiliki 200 XP (X Points), yang akan dikurangi setiap kali kamu bertemu kata-kata seperti (XP: -x). Siapkan kertas dan alat tulis. Ini saatnya kemampuan berhitungmu diuji bersamaan dengan keberanianmu! "Buat apa lo menarik tuas EMERGENCY?" teriakmu pada Johan sambil menyeruak di antara para pasien rumah sakit jiwa. "Sekarang kita jadi sulit keluar!"
"Justru ini bagus buat kamuflase!" balas Johan yang berada di depanmu. "Para penjaga itu pasti sulit menangkap kita di tengah-tengah kekacauan ini!"
Kamu harus mengakui, ucapan Johan memang benar. Kekacauan ini benar-benar membuat situasi jadi membingungkan. Lampu merah yang terpasang pada bagian atas pintu setiap kamar berkedap-kedip, sementara bunyi sirene meraung-raung memekakkan telinga. Para pasien lain langsung keluar dari kamar mereka dan berjalan-jalan tanpa tujuan tertentu, muka mereka tampak kebingungan.
Kamu baru saja mencapai lift saat mendadak terdengar suara berwibawa dari pengeras suara. Kendati suara itu tidak jelas pria ataupun wanita, dari logatnya kamu tahu bahwa orang yang berbicara adalah Dokter X. "Perhatian! Cegat siapa pun yang turun dari lantai mereka. Gunakan segala cara untuk mencegah mereka. Boleh melukai mereka, tapi jangan bunuh mereka! Sekian!"
Lalu, yang membuat jantungmu tercekat karena ngeri, semua pasien yang tadinya tampak kebingungan itu kini berjalan dengan tersaruk-saruk ke arah lift. Tangan mereka semua terjulur ke depan, siap untuk menangkapmu. Dalam sekejap, kamu dan Johan ditelan kerumunan itu, dan sesaat terpikir olehmu, tidak ada jalan keluar lagi. Kamu akan mati dimangsa mereka.
Jika pada Episode 3 kamu memilih:
1. Lift, klik di sini.
2. Tangga biasa, klik di sini.
3. Tangga darurat, klik di sini
Perhatian: Jangan sampai salah klik, karena akan sulit sekali untuk kembali ke awal.
MUG
Tanpa berpikir panjang, kamu mengeluarkan mug yang kamu curi dan menghantamkannya pada kepala si pasien gila yang mencoba menggigitmu. Mug itu pecah dan kepala si pasien gila langsung berdarah-darah, namun itu tidak menghentikan si pasien gila untuk menggigit lehermu. Untunglah, sebelum giginya menembus lehermu, Johan si rekan seperjuanganmu segera menarik si pasien gila darimu. Pasien itu sempat menggigit tangannya juga, tapi Johan mengibaskan tangannya dan melemparkan si pasien gila ke arah tembok. Kamu melihat si pasien gila tersuruk ke bawah lantai bagai balon kempes.
"Untung lehermu tidak berdarah," kata Johan sambil mengusap tangannya yang berdarah lantaran kena gigit.
Kamu segera mengusap lehermu. Benar kata Johan, luka yang kamu derita jauh lebih ringan dibanding luka di tangan Johan. Tapi pasien gila itu kurang ajar juga. Dia kira dia semacam vampir atau apa? Meski tidak sampai berdarah, sekarang kamu jadi takut kena rabies. Tidak lucu kalau setelah capek-capek keluar dari rumah sakit, kamu beneran jadi gila.
"Tak apa," kata Johan seolah-olah bisa membaca pikiranmu. "Nanti kita periksakan kalau kita sudah keluar dari sini. Sekarang, jangan pikirkan dulu, oke?"
"Oke," anggukmu, bersyukur punya rekan seperti Johan. "Makasih ya tadi udah selamatin aku!"
"Jangan berterima kasih," sahut Johan tenang. "Nanti akan kutagih kok."
Entah kenapa, kamu jadi merinding mendengar ucapan itu. (HP:-5, JP:-10)
Klik di sini untuk melanjutkan.
JARUM SUNTIK
Kamu mencabut jarum suntik dari kantong depan sakumu, sesaat memandangi senjata yang sama yang digunakan oleh si dokter gila. Bedanya, punya si dokter gila berisi cairan mematikan, sementara punyamu hanya berisi angin. Jadi kamu akan menggunakan benda ini hanya untuk menusuknya. Tapi, kalau kamu asal menusuk, bisa-bisa kamu langsung mengirim dokter sesat tersebut ke neraka. Padahal kamu bukan pembunuh. Tidak peduli lawanmu sejahat apa, kamu tidak berhak mencabut nyawanya. Tujuanmu hanyalah menyelamatkan Johan. Titik.
Kamu berpikir selama dua detik, membuat keputusan, lalu menghunjamkan jarum suntik itu pada telinga si dokter gila. Si dokter gila langsung menjerit keras sementara darah mengalir keluar dari telinganya. Sesaat kamu hanya berdiri, menggigil ketakutan karena sudah menyebabkan luka begini parah pada seorang manusia. Meski kamu melakukan itu untuk menyelamatkan temanmu, kamu tetap merasa berdosa. (XP: -20)
Lalu mendadak ada yang berusaha merebut jarum suntik yang kamu gunakan itu. Spontan kamu mempertahankan senjata itu.
"Apa yang mau kamu lakukan?" bentakmu pada Johan yang sudah terbebas dari penyerangnya.
"Membunuhnya, tentu saja!" balas Johan sambil membentak juga. "Kalau dia mati, kita bebas!"
Aku menatap Johan dengan tidak percaya. Bisa-bisanya cowok itu mengatakan hal seperti itu dengan begitu yakin, seolah-olah membunuh adalah sebuah keharusan. "Kamu nggak boleh mencabut nyawa orang seenak jidat!"
"Kenapa nggak boleh? Kalau kita ingin terbebas dari neraka ini, memang ada harga yang harus kita bayar kok! Kamu kira di dunia ini kebebasan didapatkan secara cuma-cuma? Kita semua berjuang, tahu? Berjuang! Dan dalam setiap perjuangan, selalu ada yang mati. Itu sudah wajar!"
Kamu hanya melongo mendengar pidato Johan. Entah kenapa, pidatonya terdengar masuk akal sekaligus tidak waras. Mungkin seperti itulah pidato Hitler atau para diktator kharismatik lainnya. Mereka membicarakan pendapat mereka yang gila itu dengan penuh keyakinan, mencampurnya dengan sekelumit kebenaran, dan membuat semua orang yang gampang terpengaruh menuruti mereka.
Tapi kamu tidak seperti itu. Seberapa ngotot pun Johan, kamu tidak bersedia menyerahkan senjatamu itu.
"Tuh lihat!" Tiba-tiba Johan merajuk dengan marah. "Si Dokter X udah kabur!"
Eh, benar juga! Si Dokter X sudah hilang tanpa berbekas. Padahal lukanya tadi lumayan parah.
Astaga, dokter itu sebenarnya manusia atau bukan sih?
Klik di sini untuk melanjutkan.
LIFT
Tanpa mengindahkan semua orang yang sedang mengerubungimu, kamu memaksa masuk ke dalam lift sambil menarik tangan Johan. Tapi kamu tidak hanya berhasil membawa masuk Johan--belasan pasien lain juga ikut masuk bersama kalian. Seperti yang lain, tangan mereka terjulur padamu dan Johan, menandakan mereka sudah tahu kalianlah orang-orang yang dimaksud Dokter X.
"Dorong mereka keluar!" teriakmu. "Dorong mereka keluar, lalu tutup pintu lift!"
Dengan sekuat tenaga, kalian pun mendorong orang-orang lain keluar dari lift. Kamu melongo saat melihat beberapa di antaranya mencakari muka Johan hingga berdarah-darah. Saat kamu sedang lengah, dua di antaranya mencekikmu sampai kamu mengap-mengap kehabisan udara. Tapi pada akhirnya, kalian berhasil mengusir mereka semua keluar dan menutup pintu lift sebelum ada yang masuk lagi.
Kamu terbatuk-batuk dan menyayangkan tak ada air atau apapun yang bisa membuatmu merasa lebih baik, tapi sepertinya kondisimu jauh lebih baik daripada Johan yang mukanya berdarah-darah. (JP: -15)
Pada saat kalian baru saja merasa lega dan aman, mendadak lift mati.
"Kita harus bagaimana?" tanyamu cemas.
"Kita tidak punya pilihan lain," sahut Johan tidak kalah cemas. "Kita harus membuka pintu lift dan keluar dari sini."
Kalian memaksa buka pintu lift yang tertutup dan mendapatkan kalian sudah berada di lantai dua. Di depan kalian, sebuah koridor yang panjang dan sepi menanti kalian.
Klik di sini untuk melanjutkan.
PENJEPIT
Kamu mencabut penjepit dari kantong depan sakumu, sesaat memandangi senjata yang tampak mengerikan itu. Kamu harus menjepit anggota badannya dengan cerdik. Kalau tidak, bukan saja dia takkan melepaskan Johan, bisa-bisa kamu bakalan disuntiknya dengan cairan hitam yang mengerikan itu juga. Tapi kamu tidak bisa sembarangan. Salah-salah kamu malah mengirim dokter sesat tersebut ke neraka. Padahal kamu bukan pembunuh. Tidak peduli lawanmu sejahat apa, kamu tidak berhak mencabut nyawanya. Tujuanmu hanyalah menyelamatkan Johan. Titik.
Kamu berpikir selama dua detik, membuat keputusan, lalu menusukkan jepitan itu ke muka si dokter gila. Si dokter gila menjerit keras saat kamu menjepit keluar bola matanya, sementara darah mulai mengucur membasahi muka si dokter. Sesaat kamu hanya berdiri, menggigil ketakutan karena sudah menyebabkan luka begini parah pada seorang manusia. Meski kamu melakukan itu untuk menyelamatkan temanmu, kamu tetap merasa berdosa. (XP: -30)
Lalu mendadak ada yang berusaha merebut penjepitmu. Spontan kamu mempertahankan senjata itu.
"Apa yang mau kamu lakukan?" bentakmu pada Johan yang sudah terbebas dari penyerangnya.
"Membunuhnya, tentu saja!" balas Johan sambil membentak juga. "Kalau dia mati, kita bebas!"
Aku menatap Johan dengan tidak percaya. Bisa-bisanya cowok itu mengatakan hal seperti itu dengan begitu yakin, seolah-olah membunuh adalah sebuah keharusan. "Kamu nggak boleh mencabut nyawa orang seenak jidat!"
"Kenapa nggak boleh? Kalau kita ingin terbebas dari neraka ini, memang ada harga yang harus kita bayar kok! Kamu kira di dunia ini kebebasan didapatkan secara cuma-cuma? Kita semua berjuang, tahu? Berjuang! Dan dalam setiap perjuangan, selalu ada yang mati. Itu sudah wajar!"
Kamu hanya melongo mendengar pidato Johan. Entah kenapa, pidatonya terdengar masuk akal sekaligus tidak waras. Mungkin seperti itulah pidato Hitler atau para diktator kharismatik lainnya. Mereka membicarakan pendapat mereka yang gila itu dengan penuh keyakinan, mencampurnya dengan sekelumit kebenaran, dan membuat semua orang yang gampang terpengaruh menuruti mereka.
Tapi kamu tidak seperti itu. Seberapa ngotot pun Johan, kamu tidak bersedia menyerahkan senjatamu itu.
"Tuh lihat!" Tiba-tiba Johan merajuk dengan marah. "Si Dokter X udah kabur!"
Eh, benar juga! Si Dokter X sudah hilang tanpa berbekas. Padahal lukanya tadi lumayan parah.
Astaga, dokter itu sebenarnya manusia atau bukan sih?
Klik di sini untuk melanjutkan.
PENGGARIS BESI
Tanpa berpikir panjang, kamu mengeluarkan penggaris besi yang kamu curi dan segera memukuli si pasien gila dengan membabi buta. Namun si pasien gila sama sekali tidak merasakan semua pukulan itu dan menghunjamkan giginya yang kuning-kuning ke lehermu. Kamu berteriak keras saking sakitnya, bisa kamu rasakan giginya menembus kulitmu.
Kamu berteriak lagi saat Johan menarik si pasien gila darimu dan merasakan sedikit dagingmu ikut tercabut dari tempatnya. Tanpa belas kasihan sedikit pun, Johan melemparkan si pasien gila ke arah tembok, dan si pasien gila langsung tersuruk ke bawah lantai bagai balon kempes.
Tapi kamu tak sempat merasa prihatin padanya. Kamu lebih memikirkan lehermu yang terluka parah. Dasar pasien gila kurang ajar. Dia kira dia semacam vampir atau apa? Sekarang kamu jadi takut kena rabies. Tidak lucu kalau setelah capek-capek keluar dari rumah sakit, kamu beneran jadi gila.
"Tak apa," kata Johan seolah-olah bisa membaca pikiranmu. "Nanti kita periksakan kalau kita sudah keluar dari sini. Sekarang, jangan pikirkan dulu, oke?"
"Oke," anggukmu, bersyukur punya rekan seperti Johan. "Makasih ya tadi udah selamatin aku!"
"Jangan berterima kasih," sahut Johan tenang. "Nanti akan kutagih kok."
Entah kenapa, kamu jadi merinding mendengar ucapan itu. (HP:-15)
Klik di sini untuk melanjutkan.
LANTAI DUA
Baru tiba di lantai dua, kalian mendengar suara Dokter X berkumandang lagi dari
speaker. "Perhatian! Jangan segan-segan menyerang orang yang kita cari. Pukul, tendang, cakar, gigit. Lakukan apa saja untuk melumpuhkan mereka. Sekian!"
Astaga, dokter ini memang sudah gila! Bisa-bisanya dia menyuruh para pasien rumah sakit jiwa untuk menggigit kalian, hanya karena untuk mencegah kalian melarikan diri! Di dunia ini, mana ada dokter yang memberi perintah seperti ini, kalau bukan dokter gila?
"Eh," kamu menyenggol Johan, "kalo digigit orang gila, kita bakalan ketularan gila nggak?"
Johan memandangimu dengan tatapan aneh. "Nggak sih, kecuali kalo mereka gila karena rabies."
Oh ya, benar juga. "Tapi di sini nggak ada yang gila karena rabies kan?"
Johan mengangkat bahunya. "Mana tau? Bisa jadi dokter itu menginjeksi kita semua dengan virus rabies. Itu sebabnya orang-orang yang tadinya waras pun, setelah beberapa saat berada di sini jadi gila beneran."
OMG. Apa ini berarti kalian tidak boleh sampai kena gigit?
"Tenang saja," kata Johan sambil melangkah ke koridor yang tenang. "Di sini nggak ada siapa-siapa..."
Tanpa diduga-duga, dari sebuah pintu sesosok makhluk liar meloncat dengan kecepatan tinggi dan menerkam lehermu dengan brutal, membuatmu terpaku saking takutnya. Saat makhluk itu sudah sedang memagut lehermu, kamu baru menyadari bahwa makhluk itu adalah salah satu pasien gila yang sepertinya bernafsu banget untuk memakanmu. Oh, sial!
Jika pada Episode 1 kamu memilih:
1. Bolpen, klik di sini.
2. Stapler, klik di sini.
3. Penggaris besi, klik di sini
4. Mug, klik di sini.
Perhatian: Jangan sampai salah klik, karena akan sulit sekali untuk kembali ke awal.
TANGGA BIASA
Kamu segera mengubah haluan. Alih-alih menunggu sampai pintu lift terbuka, kamu menuruni tangga biasa yang terletak di samping lift.
"Apa yang kamu lakukan?" teriak Johan dari atas. "Pintu lift sudah terbuka!"
Tapi kamu sudah keburu menuruni tangga dan sulit bagimu untuk melawan arah gerak kerumunan. "Kamu naik lift saja, aku turun lewat tangga!"
Baru saja kamu bicara begitu, seseorang menamparmu hingga kamu terlempar ke dinding. Kepalamu membentur dinding yang keras, membuatmu pusing seketika. Selama beberapa waktu, kamu tidak menyadari apa yang terjadi dan membiarkan dirimu terbawa arus. Ternyata pada akhirnya kamu berhasil tiba juga di lantai dua. Tepat pada saat itu, Johan keluar dari lift dan menarikmu pergi.
"Apa yang terjadi?" gumammu.
"Lift mati, jadi aku harus turun di sini," sahut Johan sambil mengusap pelipisnya yang berdarah.
"Kenapa mukamu?" tanyamu lagi.
"Nabrak tembok lantaran didorong orang-orang gila keparat," sahutnya kasar. "Nggak penting. Ayo, kita cabut!" (HP: -10, JP: -10)
Bersama Johan, kamu pun berjalan menuju koridor yang panjang dan sepi di depan.
Klik di sini untuk melanjutkan.
GUNTING
Kamu mencabut gunting dari kantong depan sakumu, sesaat memandangi senjata mematikan itu. Kalau kamu asal menusuk, bisa-bisa kamu langsung mengirim dokter sesat tersebut ke neraka. Padahal kamu bukan pembunuh. Tidak peduli lawanmu sejahat apa, kamu tidak berhak mencabut nyawanya. Tujuanmu hanyalah menyelamatkan Johan. Titik.
Kamu berpikir selama dua detik, membuat keputusan, lalu menghunjamkan gunting itu pada kaki si dokter gila. Terlihat goresan besar yang mengerikan pada lengan si dokter, mengucurkan darah yang mengalir pelan namun pasti, sementara si dokter menjerit sejadi-jadinya. Sesaat kamu hanya berdiri, menggigil ketakutan karena sudah menyebabkan luka begini parah pada seorang manusia. Meski kamu melakukan itu untuk menyelamatkan temanmu, kamu tetap merasa berdosa. (XP: -10)
Lalu mendadak ada yang berusaha merebut guntingmu. Spontan kamu mempertahankan senjata itu.
"Apa yang mau kamu lakukan?" bentakmu pada Johan yang sudah terbebas dari penyerangnya.
"Membunuhnya, tentu saja!" balas Johan sambil membentak juga. "Kalau dia mati, kita bebas!"
Aku menatap Johan dengan tidak percaya. Bisa-bisanya cowok itu mengatakan hal seperti itu dengan begitu yakin, seolah-olah membunuh adalah sebuah keharusan. "Kamu nggak boleh mencabut nyawa orang seenak jidat!"
"Kenapa nggak boleh? Kalau kita ingin terbebas dari neraka ini, memang ada harga yang harus kita bayar kok! Kamu kira di dunia ini kebebasan didapatkan secara cuma-cuma? Kita semua berjuang, tahu? Berjuang! Dan dalam setiap perjuangan, selalu ada yang mati. Itu sudah wajar!"
Kamu hanya melongo mendengar pidato Johan. Entah kenapa, pidatonya terdengar masuk akal sekaligus tidak waras. Mungkin seperti itulah pidato Hitler atau para diktator kharismatik lainnya. Mereka membicarakan pendapat mereka yang gila itu dengan penuh keyakinan, mencampurnya dengan sekelumit kebenaran, dan membuat semua orang yang gampang terpengaruh menuruti mereka.
Tapi kamu tidak seperti itu. Seberapa ngotot pun Johan, kamu tidak bersedia menyerahkan senjatamu itu.
"Tuh lihat!" Tiba-tiba Johan merajuk dengan marah. "Si Dokter X udah kabur!"
Eh, benar juga! Si Dokter X sudah hilang tanpa berbekas. Padahal lukanya tadi lumayan parah.
Astaga, dokter itu sebenarnya manusia atau bukan sih?
Klik di sini untuk melanjutkan.
STAPLER
Tanpa berpikir panjang, kamu mengeluarkan stapler yang kamu curi dan kamu langsung menjepit hidung si pasien gila yang mencoba menggigitmu. Si pasien gila langsung melolong bagaikan dinosaurus yang terluka dan melepaskanmu. Saat kamu sedang bersyukur karena sudah bebas dari ancaman, kamu melihat si pasien gila beralih target pada Johan. Sesaat kamu hanya bengong melihat dia menggigiti Johan, tapi lalu kamu mulai menjepit kuping si pasien gila dengan brutal. Sekali lagi si pasien gila melolong dan melepaskan korbannya, lalu lari menyelamatkan diri.
"Thanks," sahut Johan sambil mengusap lehernya yang berdarah. "Suatu saat, akan kubalas."
Meski itu ucapan terima kasih, entah kenapa, kamu jadi merinding karenanya. (JP: -15)
Klik di sini untuk melanjutkan.
BERTEMU DOKTER X
Kalian berlari pontang-panting dan berhasil menghindari pasien-pasien gila yang bermunculan dari mana-mana dan berusaha memangsa kalian. Mereka semua benar-benar mengerikan, memiliki kecepatan gerak yang nyaris sebanding dengan binatang liar, dan satu-satunya tujuan mereka sepertinya hanyalah menggigit dan mencabik-cabik daging kalian.
Namun kamu bukanlah orang yang bisa dikalahkan begitu saja, apalagi dalam soal melarikan diri. Kamu sudah pernah berhasil kabur dari kejaran monster bau yang mengerikan, masa kamu tidak bisa kabur dari sergapan para pasien gila yang bagaikan zombie-zombie ini?
Diam-diam, kamu juga salut pada Johan yang tidak kalah gesit dibandingkan denganmu. Bahkan, cowok itu bagaikan memiliki insting keenam yang membuatnya berhasil lolos dari sergapan para pasien gila di saat-saat terakhir. Terbentik dalam pikiranmu, jangan-jangan Johan bisa menghindari mereka karena dia mengetahui keberadaan mereka. Karena, dia dan makhluk-makhluk itu, pada dasarnya adalah jenis yang sama.
Tidak, kamu tidak boleh berpikir begitu tentang rekan seperjuanganmu. Johan sudah membuktikan dirinya dengan menyelamatkanmu berkali-kali. Memang dia rada psikopat, tapi dalam sikon seperti ini kamu harus memercayainya.
Akhirnya, koridor yang menjadi jalan pelarian kalian berujung pada sebuah pintu tertutup. Di sekeliling kalian, tidak ada lagi jalan keluar lain. Satu-satunya cara untuk meloloskan diri dari para pasien gila yang terus mengejar kalian adalah memasuki pintu itu. Kalian menggedor-gedor sejenak, dan merasakan kelegaan yang amat sangat saat pintu itu akhirnya terbuka. Dengan gerakan cepat dan sigap, kalian berdua masuk ke dalam ruangan, menutup pintu, dan mengunci pintu itu dengan selot. Terdengar hantaman pada pintu yang begitu keras, diikuti oleh gedoran-gedoran yang kuat dan tidak sabar. Namun perlahan-lahan, begitu menyadari usaha mereka tak ada artinya, semua gedoran itu berhenti juga.
Begitu ketegangan mereda, barulah kamu dan Johan berbalik untuk memperhatikan ruangan tempat kalian berada. Rupanya ruangan itu adalah semacam laboratorium yang tampak berantakan. Tabung-tabung eksperimen, kandang-kandang berisi binatang-binatang yang menjerit-jerit histeris, dan rak-rak berisi berbagai larutan kimia. Ruangan itu membuat perasaanmu jadi tidak enak. Sepertinya, ruangan ini sudah banyak menyaksikan berbagai kengerian yang dialami oleh berbagai kelinci percobaan--tidak hanya binatang saja, melainkan juga manusia.
Baru saja kamu ingin berkomentar, Johan menempelkan jari di bibirnya.
"Ada orang," ucapnya tanpa suara.
Kalian berdua saling beradu punggung, berputar memandangi sekeliling ruangan dengan pandangan penuh selidik. Namun sebelum kalian berhasil menemukan sesuatu, mendadak sebuah sosok meloncat dari balik rak laboratorium dan menerkam Johan. Kamu hanya ternganga saat melihat Dokter X duduk di atas badan Johan, di tangannya terdapat sebuah jarum suntik besar yang siap ditusukkannya pada muka Johan.
"Tolong!" teriak Johan padamu. "Hentikan dia!"
Kamu memandangi pergulatan mereka sesaat, tidak tahu apa yang harus kamu lakukan. Tapi lalu kamu teringat. Johan adalah rekan seperjuanganmu yang sudah menyelamatkanmu berkali-kali. Kamu berutang nyawa padanya. Kamu harus menyelamatkannya.
Jika pada Episode 2 kamu memilih:
1. Scalpel, klik di sini.
2. Gunting, klik di sini.
3. Penjepit, klik di sini
4. Jarum suntik, klik di sini.
Perhatian: Jangan sampai salah klik, karena akan sulit sekali untuk kembali ke awal.
TANGGA DARURAT
Kamu segera mengubah haluan. Alih-alih menunggu sampai pintu lift terbuka, kamu segera membuka pintu berat yang menuju tangga darurat.
"Lewat sini saja!" teriakmu pada Johan. "Cepat, kita harus tutup pintu darurat sebelum mereka semua ikut masuk!"
Johan menyelip masuk ke celah sempit antara daun pintu dan dinding yang kamu sisakan untuknya. Namun tidak hanya Johan yang mempergunakan celah sempit itu. Sebelum kamu sempat menutup pintu, beberapa pasien lain ikut menyeruak masuk. Saat pasien-pasien yang bagaikan mayat hidup itu menerjang ke arah kalian, kalian langsung meloncat mundur saking kagetnya. Kalian sama sekali tidak menyadari betapa dekatnya pinggiran tangga dengan pintu. Tahu-tahu saja kamu dan Johan sudah terguling-guling jatuh dari tangga. Johan berhasil meraih pegangan tangga untuk menahan tubuhnya sehingga dia tidak mengalami cedera terlalu berat, tetapi kamu terguling-guling hingga ke bawah tangga.
"Hei, kamu nggak apa-apa?" tanya Johan sambil mengusap-usap lututnya yang sakit.
"Nggak," gelengmu sambil berdiri. Kamu menjerit saat menyadari kakimu terkilir sampai-sampai kamu nyaris tak bisa jalan. (HP: -15)
"Perlu kubantu?"
Nada suara Johan begitu merendahkan seolah-olah kamu hanya menjadi beban baginya, jadi kamu mengertakkan gigi dan berkata, "Nggak usah, aku masih bisa jalan sendiri kok."
Kalian menatap para pasien yang mulai menuruni tangga dengan canggung, siap mengejar kalian dengan gerakan lambat tapi konsisten. Dari bawah, terdengar suara-suara keras dan cepat.
"Itu para penjaga!" seru Johan tegang. "Ayo, kita keluar ke lantai dua saja!"
Kalian membuka pintu terdekat dan kabur ke lantai dua. Di depan kalian, sebuah koridor yang panjang dan sepi menanti kalian.
Klik di sini untuk melanjutkan.
SCALPEL
Kamu mencabut scalpel dari kantong depan sakumu, sesaat memandangi pisau bedah supertajam itu. Kalau kamu asal menusuk, bisa-bisa kamu langsung mengirim dokter sesat tersebut ke neraka. Padahal kamu bukan pembunuh. Tidak peduli lawanmu sejahat apa, kamu tidak berhak mencabut nyawanya. Tujuanmu hanyalah menyelamatkan Johan. Titik.
Kamu berpikir selama dua detik, membuat keputusan, lalu menghunjamkan pisau itu pada kaki si dokter gila. Darah memuncrat membasahi mukamu, membuat seluruh dunia terlihat merah dan berbau amis, sementara si dokter menjerit sejadi-jadinya. Sesaat kamu hanya berdiri, menggigil ketakutan karena sudah menyebabkan luka begini parah pada seorang manusia. Meski kamu melakukan itu untuk menyelamatkan temanmu, kamu tetap merasa berdosa. (XP: -20)
Lalu mendadak ada yang berusaha merebut scalpel-mu. Spontan kamu mempertahankan senjata itu.
"Apa yang mau kamu lakukan?" bentakmu pada Johan yang sudah terbebas dari penyerangnya.
"Membunuhnya, tentu saja!" balas Johan sambil membentak juga. "Kalau dia mati, kita bebas!"
Aku menatap Johan dengan tidak percaya. Bisa-bisanya cowok itu mengatakan hal seperti itu dengan begitu yakin, seolah-olah membunuh adalah sebuah keharusan. "Kamu nggak boleh mencabut nyawa orang seenak jidat!"
"Kenapa nggak boleh? Kalau kita ingin terbebas dari neraka ini, memang ada harga yang harus kita bayar kok! Kamu kira di dunia ini kebebasan didapatkan secara cuma-cuma? Kita semua berjuang, tahu? Berjuang! Dan dalam setiap perjuangan, selalu ada yang mati. Itu sudah wajar!"
Kamu hanya melongo mendengar pidato Johan. Entah kenapa, pidatonya terdengar masuk akal sekaligus tidak waras. Mungkin seperti itulah pidato Hitler atau para diktator kharismatik lainnya. Mereka membicarakan pendapat mereka yang gila itu dengan penuh keyakinan, mencampurnya dengan sekelumit kebenaran, dan membuat semua orang yang gampang terpengaruh menuruti mereka.
Tapi kamu tidak seperti itu. Seberapa ngotot pun Johan, kamu tidak bersedia menyerahkan senjatamu itu.
"Tuh lihat!" Tiba-tiba Johan merajuk dengan marah. "Si Dokter X udah kabur!"
Eh, benar juga! Si Dokter X sudah hilang tanpa berbekas. Padahal lukanya tadi lumayan parah.
Astaga, dokter itu sebenarnya manusia atau bukan sih?
Klik di sini untuk melanjutkan.
BOLPEN
Tanpa berpikir panjang, kamu mengeluarkan bolpen yang kamu curi dan menusuk pasien gila yang mencoba menggigitmu dengan benda itu. Bolpen itu menancap sempurna di bahu si pasien gila, namun si pasien gila seolah-olah tidak merasakannya dan tetap menggigit lehermu dengan penuh semangat. Untunglah rekan seperjuanganmu, Johan, segera menarik si pasien gila darimu. Pasien itu sempat menggigit tangannya juga, tapi Johan mengibaskan tangannya dan melemparkan si pasien gila ke arah tembok. Kamu melihat si pasien gila tersuruk ke bawah lantai bagai balon kempes.
"Lehermu berdarah," kata Johan sambil mengusap tangannya yang kena gigit.
Kamu segera mengusap lehermu. Sial, darah yang keluar lumayan juga. Dasar pasien kurang ajar. Dia kira dia semacam vampir atau apa? Dan sekarang kamu jadi takut kena rabies. Tidak lucu kalau setelah capek-capek keluar dari rumah sakit, kamu beneran jadi gila.
"Tak apa," kata Johan seolah-olah bisa membaca pikiranmu. "Nanti kita periksakan kalau kita sudah keluar dari sini. Sekarang, jangan pikirkan dulu, oke?"
"Oke," anggukmu, bersyukur punya rekan seperti Johan. "Makasih ya tadi udah selamatin aku!"
"Jangan berterima kasih," sahut Johan tenang. "Nanti akan kutagih kok."
Entah kenapa, kamu jadi merinding mendengar ucapan itu. (HP:-10, JP:-5)
Klik di sini untuk melanjutkan.
PILIHAN
Sesaat kamu dan Johan saling memelototi.
Di dalam hati, kamu mulai menyadari bahwa adalah sebuah kesalahan besar bersekutu dengan orang seperti ini. Dia tidak segan-segan melenyapkan siapa pun juga yang menghalangi jalannya. Suatu saat, ketika dia harus memilih antara kebebasan dan menyelamatkanmu, dia takkan ragu untuk memilih kebebasan meski harus mengorbankan dirimu. Bahkan, kemungkinan besar, dia akan melakukan itu dengan senang hati.
"Sudahlah," akhirnya Johan yang mengalah duluan. Meski begitu, kamu tahu di dalam hati dia mulai membencimu. "Tidak ada gunanya kita saling bertengkar sekarang. Kita masih harus kerja sama untuk menyelamatkan diri. Kamu masih mau melarikan diri kan?"
Meski enggan bekerja sama dengan orang ini, kamu tahu bahwa sudah terlambat untuk menarik diri. Bagaimanapun juga, kamu memang ingin lolos dari tempat mengerikan ini. Kamu tidak ingin menjadi salah satu dari pasien gila itu. "Ya, aku masih mau melarikan diri."
"Kalau begitu, kita harus turun ke lantai satu. Ambil satu senjata di ruangan ini, lalu kita kabur."
Kamu memandangi ruangan itu. Ada beberapa benda besar yang bisa kamu pilih untuk mendobrak kerumunan yang mungkin sedang menunggu di depan. Sebuah tongkat berjalan yang mungkin saja kepunyaan si dokter gila, sapu bergagang kayu, pengki yang terbuat dari plastik, tutup tong sampah dari besi. Apa pun benda yang kamu pilih, kamu yakin akan bisa digunakan untuk menerobos kerumunan mayat hidup yang ganas dan siap mencabik-cabikmu dengan gigi mereka kalau kamu gagal.
Baca episode berikutnya.
INSTRUKSI MysteryGame@Area47 UNTUK MINGGU INI:
Hai para peserta MysteryGame@Area47!
Kirimkan email ke
lexiexu47@gmail.com dengan subject yang diisi dengan "MysteryGame@Area47: THE ASYLUM," diikuti nama panggilan diikuti "HP=" diikuti jumlah HP diikuti "JP=" diikuti jumlah JP diikuti "XP=" diikuti jumlah XP diikuti jawaban atas pertanyaan ini:
SENJATA APA YANG KAMU AMBIL? (Pilih antara: tongkat, sapu, pengki, tutup tong sampah. Tidak perlu sebutkan alasannya.)Lexie tunggu jawabannya sampai enam hari lagi. Jangan sampai telat ya mengirimkan jawabannya!
Good luck, everybody! xoxo,
Lexie