Sunday, May 20, 2012

MysteryGame@Area47: THE ASYLUM™, episode 5

Baru saja kamu meraih senjata yang kamu pilih, mendadak pintu didobrak sampai hancur berkeping-keping oleh para pasien rumah sakit bermuka pucat dan bermata nyalang. Dengan ngeri kamu melihat belasan, puluhan pasien yang masuk dan memenuhi ruangan di sekitarmu dan Johan. Entah untuk keberapa kalinya kamu berpikir, kamu tak bakalan bisa keluar hidup-hidup dari tempat ini.

Tapi naluri bertahanmu membuatmu terus berjuang. Sambil menahan para pasien itu dengan senjatamu, kamu pun merangkak, menerobos di antara kaki-kaki, tidak segan memukul dan menyikut demi kelangsungan hidupmu (setidaknya kamu tidak melukai mereka sementara mereka tidak segan-segan melukaimu). Di belakangmu, Johan menempel dengan ketat. Rupanya cowok itu tidak berhasil mengambil senjata yang diinginkannya, sehingga kini hidupnya bergantung pada upayamu. Diam-diam kamu merasa lega. Mungkin dengan ini, utang nyawamu pada Johan bisa terbayar meski belum seluruhnya.

Keluar dari ruangan lab tidak berarti kalian sudah bisa bernapas lega. Kerumunan pasien itu seperti tidak ada habis-habisnya. Kamu terus berusaha bertahan, mulai menyodokkan senjatamu ke atas setiap kali ada muka yang merunduk untuk menangkap atau menggigit kalian. Beberapa bahkan ingin menduduki kalian. Gila, diduduki satu orang saja kamu bakalan gepeng, apalagi kalau diduduki beramai-ramai! Permainan orang-orang gila ini benar-benar mengerikan!

Kalian terus merangkak, bergerak di antara kaki-kaki, terkadang bahkan merayap. Beberapa tendangan sempat mengenai mukamu, tapi kamu terus maju sambil menangkis semua serangan sebisamu. Akhirnya kalian tiba pada ambang tangga dan mulai menuruninya dengan secepat mungkin. Namun, saat kamu menoleh ke belakang, kamu menyadari sesuatu yang aneh.

Tidak ada yang mengikuti kalian.

"Tunggu, Johan, tunggu!" Kamu mendesis keras, dan Johan langsung berhenti. "Kenapa nggak ada yang mengejar kita?"

Johan memandangi koridor yang sepi. Terlalu sepi, sampai-sampai terasa mengerikan.

"Ada yang salah," bisikmu pada Johan lagi. "Sepertinya ada jebakan di depan sana."

Johan mengangguk tanda setuju. "Jadi kita maju atau gimana?"

Kamu berpikir sejenak. Setelah menyeberangi koridor ini, kalian akan tiba di bangsal tempat kalian bertemu tadi malam. Di situlah letak pintu keluar dari rumah sakit jiwa yang mengerikan ini. Tidak mungkin tempat itu tidak dijaga sama sekali.

Dipikir-pikir lagi, sedari tadi kalian tidak bertemu penjaga sama sekali. Ke mana mereka semua?

"Nggak," akhirnya kamu menggeleng. "Mungkin saja kita bakalan dihadang oleh banyak penjaga. Kita harus mencari persenjataan yang lebih baik. Lagian, kamu pasti masih ingat, pintu keluar kita adalah pintu kawat yang sangat kuat dan nggak bisa didobrak. Mau tidak mau kita harus mencari kuncinya."

"Soal kunci itu memang
tricky." Johan ragu sejenak, lalu melanjutkan, "Sebenarnya kita harus menggunakan dua kunci untuk membuka pintu kawat. Setahuku, dua kunci itu bentuknya sama, tapi yang satu dimasukkan ke lubang kunci sebelah kiri pintu dan yang lain dimasukkan ke lubang kunci sebelah kanan pintu. Di luar, salah satu lubang kunci kiri ada dalam loket dan kuncinya dipegang oleh si kakek penjaga loker. Tapi di dalam, semua penjaga punya kuncinya."

"Jadi itu sebabnya kamu bilang kamu nggak bisa melarikan diri sendirian," tebakmu.

Sekali lagi, Johan mengangguk, dan lagi-lagi tebersit di pikiranmu, bahwa Johan menyembunyikan banyak hal darimu. "Jadi nggak heran para penjaga itu tidak menampakkan diri. Kalau kita nggak bisa merebut kunci dari mereka, kemungkinan besar kita nggak akan bisa keluar dari sini. Yang sekarang harus kita lakukan adalah mencari para penjaga itu dan mengambil kunci mereka secara paksa."

Kamu mengangguk. "Oke, kalau gitu, ayo kita cari senjata dulu."

Kalian masuk ke ruangan terdekat dan terpaku di ambang pintu.

Ruangan itu lebih mirip bangsal rumah sakit yang besar dengan enam ranjang berderet-deret. Pada setiap ranjang itu, berbaringlah pasien gila yang gampang dikenali dari seragam yang sama dengan seragam yang kamu kenakan. Kepala setiap pasien itu dibotaki dan dipasangi banyak sekali kabel-kabel yang terhubung ke dalam sebuah mesin. Setiap pasien itu tidak bergerak sama sekali, napas mereka teratur menandakan mereka dalam keadaan tidur.

"Apa ini?" bisikmu pada Johan.

"Tempat percobaan para pasien," sahut Johan sambil mengertakkan gigi. "Dulu aku juga pernah dirawat di sini. Bukan dirawat, sebenarnya, tapi diprogram."

Kamu memandangi Johan dan rambutnya yang acak-acakan. Tidak bisa dibayangkan dulu dia juga pernah botak seperti pasien-pasien ini. "Diprogram?"

"Ya," angguk Johan. "Kita semua diprogram untuk menuruti keinginan mereka tanpa melawan. Jadi kita akan makan saat disuruh makan meski kita tidak lapar, tidur saat disuruh tidur meski kita tidak mengantuk, dan sebagainya dan sebagainya."

"Maksudmu semacam hipnotis," kamu menduga-duga.

"Mekanismenya berbeda," Johan menggeleng. "Yang ini otak kita disetrum atau diprogram supaya jadi lemah. Rasanya begitu menyakitkan sampai-sampai kita nggak punya keinginan untuk melawan mereka lagi. Akibatnya, kita jadi mirip mayat hidup ketimbang manusia hidup biasa."

"Sementara orang yang dihipnotis masih bisa melakukan kegiatan seperti biasa," dugamu. "Jadi ada kemungkinan besar mereka menggila seperti itu bukan karena disuntik rabies, tapi kesalahan pemrograman?"

"Bisa jadi."

Mendadak kamu jadi malu banget. Bisa-bisanya tadi kamu histeris lantaran menyangka bakalan kena rabies. "Kenapa kamu nggak bilang dari tadi? Kamu tahu aku takut banget ketularan rabies!"

"Sori," sahut Johan tanpa kelihatan merasa bersalah. "Nggak ada waktu untuk menjelaskan. Tapi sekarang kamu tahu semuanya kan?"

Tidak. Tidak semuanya. Tapi kamu tidak akan mengungkapkan perasaan hatimu, bahwa kamu tidak percaya pada Johan sedikit pun.

Kamu mengelilingi ruangan itu, menatap pasien terdekat dengan penuh rasa kasihan. Kamu tidak tahu apa alasan mereka dibawa ke sini. Mungkin karena salah paham sepertimu, mungkin juga ada alasan lain. Tapi tak ada satu orang manusia pun yang berhak diperlakukan seperti itu. Bahkan Johan yang penuh tipu muslihat pun tidak pantas dijebloskan di sini.

Mendadak pasien yang kamu tatap membuka matanya, membuatmu terlonjak kaget. Matanya menatapmu dengan tajam dan menusuk, dan jantungmu jadi berdebar-debar. Lalu, mulut yang terkatup itu bergerak kaku, mengucapkan satu kata yang mengerikan.

"Mati."

Belum hilang rasa kagetmu, pasien itu sudah bangkit duduk, mencabut semua kabel dari kepalanya yang botak dengan kasar, lalu menerkam ke arahmu. Tanpa menoleh pun kamu mengetahui pasien-pasien lain juga sudah melakukan hal yang sama. Sebagian turut menyerangmu dan sisanya menyerang Johan.

Untungnya, kamu masih memegangi senjata yang kamu ambil dari lab. Dengan benda itu kamu menjauhkan para penyerangmu dari dirimu, dan perlahan namun pasti, kamu mendekat ke arah Johan hingga kalian beradu punggung.

"Berikan senjatamu padaku!" teriak Johan. "Aku lebih kuat, aku bisa mengusir mereka semua dari tempat ini!"

Kamu ragu-ragu. Ini adalah senjata kamu satu-satunya. Kalau kamu serahkan pada Johan, kamu tak punya apa-apa untuk melindungi dirimu lagi. Tapi mungkin benar katanya. Untuk cowok kurus, tenaga Johan tergolong kuat sekali.

Apa yang harus kamu lakukan?

Baca episode berikutnya.


INSTRUKSI MysteryGame@Area47 UNTUK MINGGU INI:

Hai para peserta MysteryGame@Area47!

Kirimkan email ke lexiexu47@gmail.com dengan subject yang diisi dengan "MysteryGame@Area47: THE ASYLUM episode 5," diikuti nama panggilan diikuti "HP=" diikuti jumlah HP diikuti "JP=" diikuti jumlah JP diikuti "XP=" diikuti jumlah XP diikuti jawaban atas pertanyaan ini:

TINDAKAN APA YANG KAMU AMBIL? (Pilih antara: serahkan senjata pada Johan, tetap pegang sendiri dan menolong Johan, kabur meninggalkan Johan. Tidak perlu sebutkan alasannya.)

Lexie tunggu jawabannya sampai enam hari lagi. Jangan sampai telat ya mengirimkan jawabannya!

Good luck, everybody!

xoxo,
Lexie

Saturday, May 19, 2012

Pengumuman Hasil Kuis TEROR "The Perfect Match"

Hai Lexsychopaths!

Akhirnya pengumuman yang ditunggu-tunggu tiba juga. Terlalu banyak jawaban yang bagus-bagus sampai aku bingung banget. Jadi buat yang belum terpilih, itu bukan karena jawaban kalian kurang bagus, melainkan karena memang hanya ada 3 pemenang. Seandainya aku bisa memilih lebih banyak orang, percaya deh banyak di antara kalian sudah jadi pemenang juga!

Oke, tidak berpanjang-panjang lagi, inilah hasil kuis:

1. Frankie Cahyadi & Hanny Pelangi (61 suara)

Sebenarnya nggak heran juga lagi-lagi pasangan ini yang jadi juaranya the perfect match. Perpaduan antara Frankie yang bad boy abis dan rada kere dengan Hanny yang arogan, selalu beruntung, dan jarang hidup susah membuat hubungan mereka jadi saling mendidik dan melengkapi. Meski begitu, karena sifat keduanya dominan banget, sama-sama tidak mau mengalah, hubungan mereka jadi kacau banget. Tiada hari tanpa bikin ribut, kira-kira seperti itulah. Untungnya, meski tampang Frankie sengak banget, diam-diam dia selalu mengalah buat Hanny yang egois.

Pemenang yang memilih Frankie dan Hanny: Nurul Azizah, @siiazizahh, Batam.

2. Markus Mann & Tory Senjakala (52 suara)

Markus adalah tipe cowok yang kalem, cerdas tapi tak banyak bacot, serta berdedikasi dalam setiap pekerjaannya. Dia selalu mengobservasi setiap sikon yang dialaminya dengan baik. Itulah sebabnya dia satu-satunya cowok di dunia ini yang bisa melihat kelebihan dari Tory, si cewek jail yang kerjanya meneror orang-orang di sekitarnya (mungkin saingannya Johan kali ya, tapi versi yang lebih innocent, mana Tory sama sekali tidak berniat jahat dalam setiap kelakuannya). Tidak peduli Tory menampiknya habis-habisan, Markus selalu menjaganya, tidak peduli Tory berada di dekatnya atau di negara asing yang ribuan kilometer jauhnya. Pada akhirnya, siapa sih yang nggak jatuh cinta pada cowok sebaik ini?

Pemenang yang memilih Markus & Tory: Tiara Agnes Orlando Tambun, @tiaaratieer, Medan.

3. Tony Senjakala & Jenny Angkasa (36 suara)

Tony dan Jenny adalah pasangan paling adem dari ketiga pasangan ini. Hubungan mereka benar-benar terlepas dari berbagai pertengkaran atau drama-drama menyedihkan. Meski Jenny tidak punya kepercayaan diri yang tinggi, sikap Tony yang selalu mendahulukan dirinya membuat dia merasa aman. Sementara Tony yang biasanya narsis malah jadi tidak pede banget setiap kali berhadapan dengan Jenny yang tenang dan, menurutnya, misterius banget (wahahahaha).

Pemenang yang memilih Tony & Jenny: Ainun Jaryah Bahrir, Surabaya.

Selamat kepada semua pemenang! Jangan lupa kirimkan data alamat lengkap dan nomor HP yang bisa dihubungi ke inbox FB Lexie secepatnya ya! Bagi yang belum menang, jangan putus asa ya. Kalau kalian terus mengikuti kuis-kuis yang Lexie adakan, suatu saat kalian pasti bisa menang. ^^

Terima kasih untuk semua peserta kuis. Thank you buat jawaban-jawabannya yang keren. Love you all!

Until next time...

xoxo,
Lexie

Sunday, May 13, 2012

MysteryGame@Area47: THE ASYLUM™, episode 4 (episode battle #1)

Sejauh ini, kamu memiliki HP (Health Points) sebesar 100 HP. Dalam perjalananmu, setiap kali kamu menemukan kata-kata seperti (HP: -x), itu berarti HP-mu akan dikurangi dengan bilangan yang diwakili x. Rekan seperjalananmu, Johan, memiliki JP (Johan Points) sebesar 100 JP, yang akan dikurangi setiap kali Johan mengalami luka dan ada keterangan (JP: -x). Sementara musuhmu, Dokter X, memiliki 200 XP (X Points), yang akan dikurangi setiap kali kamu bertemu kata-kata seperti (XP: -x). Siapkan kertas dan alat tulis. Ini saatnya kemampuan berhitungmu diuji bersamaan dengan keberanianmu!

"Buat apa lo menarik tuas EMERGENCY?" teriakmu pada Johan sambil menyeruak di antara para pasien rumah sakit jiwa. "Sekarang kita jadi sulit keluar!"

"Justru ini bagus buat kamuflase!" balas Johan yang berada di depanmu. "Para penjaga itu pasti sulit menangkap kita di tengah-tengah kekacauan ini!"

Kamu harus mengakui, ucapan Johan memang benar. Kekacauan ini benar-benar membuat situasi jadi membingungkan. Lampu merah yang terpasang pada bagian atas pintu setiap kamar berkedap-kedip, sementara bunyi sirene meraung-raung memekakkan telinga. Para pasien lain langsung keluar dari kamar mereka dan berjalan-jalan tanpa tujuan tertentu, muka mereka tampak kebingungan.

Kamu baru saja mencapai lift saat mendadak terdengar suara berwibawa dari pengeras suara. Kendati suara itu tidak jelas pria ataupun wanita, dari logatnya kamu tahu bahwa orang yang berbicara adalah Dokter X. "Perhatian! Cegat siapa pun yang turun dari lantai mereka. Gunakan segala cara untuk mencegah mereka. Boleh melukai mereka, tapi jangan bunuh mereka! Sekian!"

Lalu, yang membuat jantungmu tercekat karena ngeri, semua pasien yang tadinya tampak kebingungan itu kini berjalan dengan tersaruk-saruk ke arah lift. Tangan mereka semua terjulur ke depan, siap untuk menangkapmu. Dalam sekejap, kamu dan Johan ditelan kerumunan itu, dan sesaat terpikir olehmu, tidak ada jalan keluar lagi. Kamu akan mati dimangsa mereka.

Jika pada Episode 3 kamu memilih:

1. Lift, klik di sini.
2. Tangga biasa, klik di sini.
3. Tangga darurat, klik di sini

Perhatian: Jangan sampai salah klik, karena akan sulit sekali untuk kembali ke awal.



MUG

Tanpa berpikir panjang, kamu mengeluarkan mug yang kamu curi dan menghantamkannya pada kepala si pasien gila yang mencoba menggigitmu. Mug itu pecah dan kepala si pasien gila langsung berdarah-darah, namun itu tidak menghentikan si pasien gila untuk menggigit lehermu. Untunglah, sebelum giginya menembus lehermu, Johan si rekan seperjuanganmu segera menarik si pasien gila darimu. Pasien itu sempat menggigit tangannya juga, tapi Johan mengibaskan tangannya dan melemparkan si pasien gila ke arah tembok. Kamu melihat si pasien gila tersuruk ke bawah lantai bagai balon kempes.

"Untung lehermu tidak berdarah," kata Johan sambil mengusap tangannya yang berdarah lantaran kena gigit.

Kamu segera mengusap lehermu. Benar kata Johan, luka yang kamu derita jauh lebih ringan dibanding luka di tangan Johan. Tapi pasien gila itu kurang ajar juga. Dia kira dia semacam vampir atau apa? Meski tidak sampai berdarah, sekarang kamu jadi takut kena rabies. Tidak lucu kalau setelah capek-capek keluar dari rumah sakit, kamu beneran jadi gila.

"Tak apa," kata Johan seolah-olah bisa membaca pikiranmu. "Nanti kita periksakan kalau kita sudah keluar dari sini. Sekarang, jangan pikirkan dulu, oke?"

"Oke," anggukmu, bersyukur punya rekan seperti Johan. "Makasih ya tadi udah selamatin aku!"

"Jangan berterima kasih," sahut Johan tenang. "Nanti akan kutagih kok."

Entah kenapa, kamu jadi merinding mendengar ucapan itu. (HP:-5, JP:-10)

Klik di sini untuk melanjutkan.


JARUM SUNTIK

Kamu mencabut jarum suntik dari kantong depan sakumu, sesaat memandangi senjata yang sama yang digunakan oleh si dokter gila. Bedanya, punya si dokter gila berisi cairan mematikan, sementara punyamu hanya berisi angin. Jadi kamu akan menggunakan benda ini hanya untuk menusuknya. Tapi, kalau kamu asal menusuk, bisa-bisa kamu langsung mengirim dokter sesat tersebut ke neraka. Padahal kamu bukan pembunuh. Tidak peduli lawanmu sejahat apa, kamu tidak berhak mencabut nyawanya. Tujuanmu hanyalah menyelamatkan Johan. Titik.

Kamu berpikir selama dua detik, membuat keputusan, lalu menghunjamkan jarum suntik itu pada telinga si dokter gila. Si dokter gila langsung menjerit keras sementara darah mengalir keluar dari telinganya. Sesaat kamu hanya berdiri, menggigil ketakutan karena sudah menyebabkan luka begini parah pada seorang manusia. Meski kamu melakukan itu untuk menyelamatkan temanmu, kamu tetap merasa berdosa. (XP: -20)

Lalu mendadak ada yang berusaha merebut jarum suntik yang kamu gunakan itu. Spontan kamu mempertahankan senjata itu.

"Apa yang mau kamu lakukan?" bentakmu pada Johan yang sudah terbebas dari penyerangnya.

"Membunuhnya, tentu saja!" balas Johan sambil membentak juga. "Kalau dia mati, kita bebas!"

Aku menatap Johan dengan tidak percaya. Bisa-bisanya cowok itu mengatakan hal seperti itu dengan begitu yakin, seolah-olah membunuh adalah sebuah keharusan. "Kamu nggak boleh mencabut nyawa orang seenak jidat!"

"Kenapa nggak boleh? Kalau kita ingin terbebas dari neraka ini, memang ada harga yang harus kita bayar kok! Kamu kira di dunia ini kebebasan didapatkan secara cuma-cuma? Kita semua berjuang, tahu? Berjuang! Dan dalam setiap perjuangan, selalu ada yang mati. Itu sudah wajar!"

Kamu hanya melongo mendengar pidato Johan. Entah kenapa, pidatonya terdengar masuk akal sekaligus tidak waras. Mungkin seperti itulah pidato Hitler atau para diktator kharismatik lainnya. Mereka membicarakan pendapat mereka yang gila itu dengan penuh keyakinan, mencampurnya dengan sekelumit kebenaran, dan membuat semua orang yang gampang terpengaruh menuruti mereka.

Tapi kamu tidak seperti itu. Seberapa ngotot pun Johan, kamu tidak bersedia menyerahkan senjatamu itu.

"Tuh lihat!" Tiba-tiba Johan merajuk dengan marah. "Si Dokter X udah kabur!"

Eh, benar juga! Si Dokter X sudah hilang tanpa berbekas. Padahal lukanya tadi lumayan parah.

Astaga, dokter itu sebenarnya manusia atau bukan sih?

Klik di sini untuk melanjutkan.


LIFT

Tanpa mengindahkan semua orang yang sedang mengerubungimu, kamu memaksa masuk ke dalam lift sambil menarik tangan Johan. Tapi kamu tidak hanya berhasil membawa masuk Johan--belasan pasien lain juga ikut masuk bersama kalian. Seperti yang lain, tangan mereka terjulur padamu dan Johan, menandakan mereka sudah tahu kalianlah orang-orang yang dimaksud Dokter X.

"Dorong mereka keluar!" teriakmu. "Dorong mereka keluar, lalu tutup pintu lift!"

Dengan sekuat tenaga, kalian pun mendorong orang-orang lain keluar dari lift. Kamu melongo saat melihat beberapa di antaranya mencakari muka Johan hingga berdarah-darah. Saat kamu sedang lengah, dua di antaranya mencekikmu sampai kamu mengap-mengap kehabisan udara. Tapi pada akhirnya, kalian berhasil mengusir mereka semua keluar dan menutup pintu lift sebelum ada yang masuk lagi.

Kamu terbatuk-batuk dan menyayangkan tak ada air atau apapun yang bisa membuatmu merasa lebih baik, tapi sepertinya kondisimu jauh lebih baik daripada Johan yang mukanya berdarah-darah. (JP: -15)

Pada saat kalian baru saja merasa lega dan aman, mendadak lift mati.

"Kita harus bagaimana?" tanyamu cemas.

"Kita tidak punya pilihan lain," sahut Johan tidak kalah cemas. "Kita harus membuka pintu lift dan keluar dari sini."

Kalian memaksa buka pintu lift yang tertutup dan mendapatkan kalian sudah berada di lantai dua. Di depan kalian, sebuah koridor yang panjang dan sepi menanti kalian.

Klik di sini untuk melanjutkan.


PENJEPIT

Kamu mencabut penjepit dari kantong depan sakumu, sesaat memandangi senjata yang tampak mengerikan itu. Kamu harus menjepit anggota badannya dengan cerdik. Kalau tidak, bukan saja dia takkan melepaskan Johan, bisa-bisa kamu bakalan disuntiknya dengan cairan hitam yang mengerikan itu juga. Tapi kamu tidak bisa sembarangan. Salah-salah kamu malah mengirim dokter sesat tersebut ke neraka. Padahal kamu bukan pembunuh. Tidak peduli lawanmu sejahat apa, kamu tidak berhak mencabut nyawanya. Tujuanmu hanyalah menyelamatkan Johan. Titik.

Kamu berpikir selama dua detik, membuat keputusan, lalu menusukkan jepitan itu ke muka si dokter gila. Si dokter gila menjerit keras saat kamu menjepit keluar bola matanya, sementara darah mulai mengucur membasahi muka si dokter. Sesaat kamu hanya berdiri, menggigil ketakutan karena sudah menyebabkan luka begini parah pada seorang manusia. Meski kamu melakukan itu untuk menyelamatkan temanmu, kamu tetap merasa berdosa. (XP: -30)

Lalu mendadak ada yang berusaha merebut penjepitmu. Spontan kamu mempertahankan senjata itu.

"Apa yang mau kamu lakukan?" bentakmu pada Johan yang sudah terbebas dari penyerangnya.

"Membunuhnya, tentu saja!" balas Johan sambil membentak juga. "Kalau dia mati, kita bebas!"

Aku menatap Johan dengan tidak percaya. Bisa-bisanya cowok itu mengatakan hal seperti itu dengan begitu yakin, seolah-olah membunuh adalah sebuah keharusan. "Kamu nggak boleh mencabut nyawa orang seenak jidat!"

"Kenapa nggak boleh? Kalau kita ingin terbebas dari neraka ini, memang ada harga yang harus kita bayar kok! Kamu kira di dunia ini kebebasan didapatkan secara cuma-cuma? Kita semua berjuang, tahu? Berjuang! Dan dalam setiap perjuangan, selalu ada yang mati. Itu sudah wajar!"

Kamu hanya melongo mendengar pidato Johan. Entah kenapa, pidatonya terdengar masuk akal sekaligus tidak waras. Mungkin seperti itulah pidato Hitler atau para diktator kharismatik lainnya. Mereka membicarakan pendapat mereka yang gila itu dengan penuh keyakinan, mencampurnya dengan sekelumit kebenaran, dan membuat semua orang yang gampang terpengaruh menuruti mereka.

Tapi kamu tidak seperti itu. Seberapa ngotot pun Johan, kamu tidak bersedia menyerahkan senjatamu itu.

"Tuh lihat!" Tiba-tiba Johan merajuk dengan marah. "Si Dokter X udah kabur!"

Eh, benar juga! Si Dokter X sudah hilang tanpa berbekas. Padahal lukanya tadi lumayan parah.

Astaga, dokter itu sebenarnya manusia atau bukan sih?

Klik di sini untuk melanjutkan.


PENGGARIS BESI

Tanpa berpikir panjang, kamu mengeluarkan penggaris besi yang kamu curi dan segera memukuli si pasien gila dengan membabi buta. Namun si pasien gila sama sekali tidak merasakan semua pukulan itu dan menghunjamkan giginya yang kuning-kuning ke lehermu. Kamu berteriak keras saking sakitnya, bisa kamu rasakan giginya menembus kulitmu.

Kamu berteriak lagi saat Johan menarik si pasien gila darimu dan merasakan sedikit dagingmu ikut tercabut dari tempatnya. Tanpa belas kasihan sedikit pun, Johan melemparkan si pasien gila ke arah tembok, dan si pasien gila langsung tersuruk ke bawah lantai bagai balon kempes.

Tapi kamu tak sempat merasa prihatin padanya. Kamu lebih memikirkan lehermu yang terluka parah. Dasar pasien gila kurang ajar. Dia kira dia semacam vampir atau apa? Sekarang kamu jadi takut kena rabies. Tidak lucu kalau setelah capek-capek keluar dari rumah sakit, kamu beneran jadi gila.

"Tak apa," kata Johan seolah-olah bisa membaca pikiranmu. "Nanti kita periksakan kalau kita sudah keluar dari sini. Sekarang, jangan pikirkan dulu, oke?"

"Oke," anggukmu, bersyukur punya rekan seperti Johan. "Makasih ya tadi udah selamatin aku!"

"Jangan berterima kasih," sahut Johan tenang. "Nanti akan kutagih kok."

Entah kenapa, kamu jadi merinding mendengar ucapan itu. (HP:-15)

Klik di sini untuk melanjutkan.


LANTAI DUA

Baru tiba di lantai dua, kalian mendengar suara Dokter X berkumandang lagi dari speaker. "Perhatian! Jangan segan-segan menyerang orang yang kita cari. Pukul, tendang, cakar, gigit. Lakukan apa saja untuk melumpuhkan mereka. Sekian!"

Astaga, dokter ini memang sudah gila! Bisa-bisanya dia menyuruh para pasien rumah sakit jiwa untuk menggigit kalian, hanya karena untuk mencegah kalian melarikan diri! Di dunia ini, mana ada dokter yang memberi perintah seperti ini, kalau bukan dokter gila?

"Eh," kamu menyenggol Johan, "kalo digigit orang gila, kita bakalan ketularan gila nggak?"

Johan memandangimu dengan tatapan aneh. "Nggak sih, kecuali kalo mereka gila karena rabies."

Oh ya, benar juga. "Tapi di sini nggak ada yang gila karena rabies kan?"

Johan mengangkat bahunya. "Mana tau? Bisa jadi dokter itu menginjeksi kita semua dengan virus rabies. Itu sebabnya orang-orang yang tadinya waras pun, setelah beberapa saat berada di sini jadi gila beneran."

OMG. Apa ini berarti kalian tidak boleh sampai kena gigit?

"Tenang saja," kata Johan sambil melangkah ke koridor yang tenang. "Di sini nggak ada siapa-siapa..."

Tanpa diduga-duga, dari sebuah pintu sesosok makhluk liar meloncat dengan kecepatan tinggi dan menerkam lehermu dengan brutal, membuatmu terpaku saking takutnya. Saat makhluk itu sudah sedang memagut lehermu, kamu baru menyadari bahwa makhluk itu adalah salah satu pasien gila yang sepertinya bernafsu banget untuk memakanmu. Oh, sial!

Jika pada Episode 1 kamu memilih:

1. Bolpen, klik di sini.
2. Stapler, klik di sini.
3. Penggaris besi, klik di sini
4. Mug, klik di sini.

Perhatian: Jangan sampai salah klik, karena akan sulit sekali untuk kembali ke awal.



TANGGA BIASA

Kamu segera mengubah haluan. Alih-alih menunggu sampai pintu lift terbuka, kamu menuruni tangga biasa yang terletak di samping lift.

"Apa yang kamu lakukan?" teriak Johan dari atas. "Pintu lift sudah terbuka!"

Tapi kamu sudah keburu menuruni tangga dan sulit bagimu untuk melawan arah gerak kerumunan. "Kamu naik lift saja, aku turun lewat tangga!"

Baru saja kamu bicara begitu, seseorang menamparmu hingga kamu terlempar ke dinding. Kepalamu membentur dinding yang keras, membuatmu pusing seketika. Selama beberapa waktu, kamu tidak menyadari apa yang terjadi dan membiarkan dirimu terbawa arus. Ternyata pada akhirnya kamu berhasil tiba juga di lantai dua. Tepat pada saat itu, Johan keluar dari lift dan menarikmu pergi.

"Apa yang terjadi?" gumammu.

"Lift mati, jadi aku harus turun di sini," sahut Johan sambil mengusap pelipisnya yang berdarah.

"Kenapa mukamu?" tanyamu lagi.

"Nabrak tembok lantaran didorong orang-orang gila keparat," sahutnya kasar. "Nggak penting. Ayo, kita cabut!" (HP: -10, JP: -10)

Bersama Johan, kamu pun berjalan menuju koridor yang panjang dan sepi di depan.

Klik di sini untuk melanjutkan.


GUNTING

Kamu mencabut gunting dari kantong depan sakumu, sesaat memandangi senjata mematikan itu. Kalau kamu asal menusuk, bisa-bisa kamu langsung mengirim dokter sesat tersebut ke neraka. Padahal kamu bukan pembunuh. Tidak peduli lawanmu sejahat apa, kamu tidak berhak mencabut nyawanya. Tujuanmu hanyalah menyelamatkan Johan. Titik.

Kamu berpikir selama dua detik, membuat keputusan, lalu menghunjamkan gunting itu pada kaki si dokter gila. Terlihat goresan besar yang mengerikan pada lengan si dokter, mengucurkan darah yang mengalir pelan namun pasti, sementara si dokter menjerit sejadi-jadinya. Sesaat kamu hanya berdiri, menggigil ketakutan karena sudah menyebabkan luka begini parah pada seorang manusia. Meski kamu melakukan itu untuk menyelamatkan temanmu, kamu tetap merasa berdosa. (XP: -10)

Lalu mendadak ada yang berusaha merebut guntingmu. Spontan kamu mempertahankan senjata itu.

"Apa yang mau kamu lakukan?" bentakmu pada Johan yang sudah terbebas dari penyerangnya.

"Membunuhnya, tentu saja!" balas Johan sambil membentak juga. "Kalau dia mati, kita bebas!"

Aku menatap Johan dengan tidak percaya. Bisa-bisanya cowok itu mengatakan hal seperti itu dengan begitu yakin, seolah-olah membunuh adalah sebuah keharusan. "Kamu nggak boleh mencabut nyawa orang seenak jidat!"

"Kenapa nggak boleh? Kalau kita ingin terbebas dari neraka ini, memang ada harga yang harus kita bayar kok! Kamu kira di dunia ini kebebasan didapatkan secara cuma-cuma? Kita semua berjuang, tahu? Berjuang! Dan dalam setiap perjuangan, selalu ada yang mati. Itu sudah wajar!"

Kamu hanya melongo mendengar pidato Johan. Entah kenapa, pidatonya terdengar masuk akal sekaligus tidak waras. Mungkin seperti itulah pidato Hitler atau para diktator kharismatik lainnya. Mereka membicarakan pendapat mereka yang gila itu dengan penuh keyakinan, mencampurnya dengan sekelumit kebenaran, dan membuat semua orang yang gampang terpengaruh menuruti mereka.

Tapi kamu tidak seperti itu. Seberapa ngotot pun Johan, kamu tidak bersedia menyerahkan senjatamu itu.

"Tuh lihat!" Tiba-tiba Johan merajuk dengan marah. "Si Dokter X udah kabur!"

Eh, benar juga! Si Dokter X sudah hilang tanpa berbekas. Padahal lukanya tadi lumayan parah.

Astaga, dokter itu sebenarnya manusia atau bukan sih?

Klik di sini untuk melanjutkan.


STAPLER

Tanpa berpikir panjang, kamu mengeluarkan stapler yang kamu curi dan kamu langsung menjepit hidung si pasien gila yang mencoba menggigitmu. Si pasien gila langsung melolong bagaikan dinosaurus yang terluka dan melepaskanmu. Saat kamu sedang bersyukur karena sudah bebas dari ancaman, kamu melihat si pasien gila beralih target pada Johan. Sesaat kamu hanya bengong melihat dia menggigiti Johan, tapi lalu kamu mulai menjepit kuping si pasien gila dengan brutal. Sekali lagi si pasien gila melolong dan melepaskan korbannya, lalu lari menyelamatkan diri.

"Thanks," sahut Johan sambil mengusap lehernya yang berdarah. "Suatu saat, akan kubalas."

Meski itu ucapan terima kasih, entah kenapa, kamu jadi merinding karenanya. (JP: -15)

Klik di sini untuk melanjutkan.


BERTEMU DOKTER X

Kalian berlari pontang-panting dan berhasil menghindari pasien-pasien gila yang bermunculan dari mana-mana dan berusaha memangsa kalian. Mereka semua benar-benar mengerikan, memiliki kecepatan gerak yang nyaris sebanding dengan binatang liar, dan satu-satunya tujuan mereka sepertinya hanyalah menggigit dan mencabik-cabik daging kalian.

Namun kamu bukanlah orang yang bisa dikalahkan begitu saja, apalagi dalam soal melarikan diri. Kamu sudah pernah berhasil kabur dari kejaran monster bau yang mengerikan, masa kamu tidak bisa kabur dari sergapan para pasien gila yang bagaikan zombie-zombie ini?

Diam-diam, kamu juga salut pada Johan yang tidak kalah gesit dibandingkan denganmu. Bahkan, cowok itu bagaikan memiliki insting keenam yang membuatnya berhasil lolos dari sergapan para pasien gila di saat-saat terakhir. Terbentik dalam pikiranmu, jangan-jangan Johan bisa menghindari mereka karena dia mengetahui keberadaan mereka. Karena, dia dan makhluk-makhluk itu, pada dasarnya adalah jenis yang sama.

Tidak, kamu tidak boleh berpikir begitu tentang rekan seperjuanganmu. Johan sudah membuktikan dirinya dengan menyelamatkanmu berkali-kali. Memang dia rada psikopat, tapi dalam sikon seperti ini kamu harus memercayainya.

Akhirnya, koridor yang menjadi jalan pelarian kalian berujung pada sebuah pintu tertutup. Di sekeliling kalian, tidak ada lagi jalan keluar lain. Satu-satunya cara untuk meloloskan diri dari para pasien gila yang terus mengejar kalian adalah memasuki pintu itu. Kalian menggedor-gedor sejenak, dan merasakan kelegaan yang amat sangat saat pintu itu akhirnya terbuka. Dengan gerakan cepat dan sigap, kalian berdua masuk ke dalam ruangan, menutup pintu, dan mengunci pintu itu dengan selot. Terdengar hantaman pada pintu yang begitu keras, diikuti oleh gedoran-gedoran yang kuat dan tidak sabar. Namun perlahan-lahan, begitu menyadari usaha mereka tak ada artinya, semua gedoran itu berhenti juga.

Begitu ketegangan mereda, barulah kamu dan Johan berbalik untuk memperhatikan ruangan tempat kalian berada. Rupanya ruangan itu adalah semacam laboratorium yang tampak berantakan. Tabung-tabung eksperimen, kandang-kandang berisi binatang-binatang yang menjerit-jerit histeris, dan rak-rak berisi berbagai larutan kimia. Ruangan itu membuat perasaanmu jadi tidak enak. Sepertinya, ruangan ini sudah banyak menyaksikan berbagai kengerian yang dialami oleh berbagai kelinci percobaan--tidak hanya binatang saja, melainkan juga manusia.

Baru saja kamu ingin berkomentar, Johan menempelkan jari di bibirnya.

"Ada orang," ucapnya tanpa suara.

Kalian berdua saling beradu punggung, berputar memandangi sekeliling ruangan dengan pandangan penuh selidik. Namun sebelum kalian berhasil menemukan sesuatu, mendadak sebuah sosok meloncat dari balik rak laboratorium dan menerkam Johan. Kamu hanya ternganga saat melihat Dokter X duduk di atas badan Johan, di tangannya terdapat sebuah jarum suntik besar yang siap ditusukkannya pada muka Johan.

"Tolong!" teriak Johan padamu. "Hentikan dia!"

Kamu memandangi pergulatan mereka sesaat, tidak tahu apa yang harus kamu lakukan. Tapi lalu kamu teringat. Johan adalah rekan seperjuanganmu yang sudah menyelamatkanmu berkali-kali. Kamu berutang nyawa padanya. Kamu harus menyelamatkannya.

Jika pada Episode 2 kamu memilih:

1. Scalpel, klik di sini.
2. Gunting, klik di sini.
3. Penjepit, klik di sini
4. Jarum suntik, klik di sini.

Perhatian: Jangan sampai salah klik, karena akan sulit sekali untuk kembali ke awal.


TANGGA DARURAT

Kamu segera mengubah haluan. Alih-alih menunggu sampai pintu lift terbuka, kamu segera membuka pintu berat yang menuju tangga darurat.

"Lewat sini saja!" teriakmu pada Johan. "Cepat, kita harus tutup pintu darurat sebelum mereka semua ikut masuk!"

Johan menyelip masuk ke celah sempit antara daun pintu dan dinding yang kamu sisakan untuknya. Namun tidak hanya Johan yang mempergunakan celah sempit itu. Sebelum kamu sempat menutup pintu, beberapa pasien lain ikut menyeruak masuk. Saat pasien-pasien yang bagaikan mayat hidup itu menerjang ke arah kalian, kalian langsung meloncat mundur saking kagetnya. Kalian sama sekali tidak menyadari betapa dekatnya pinggiran tangga dengan pintu. Tahu-tahu saja kamu dan Johan sudah terguling-guling jatuh dari tangga. Johan berhasil meraih pegangan tangga untuk menahan tubuhnya sehingga dia tidak mengalami cedera terlalu berat, tetapi kamu terguling-guling hingga ke bawah tangga.

"Hei, kamu nggak apa-apa?" tanya Johan sambil mengusap-usap lututnya yang sakit.

"Nggak," gelengmu sambil berdiri. Kamu menjerit saat menyadari kakimu terkilir sampai-sampai kamu nyaris tak bisa jalan. (HP: -15)

"Perlu kubantu?"

Nada suara Johan begitu merendahkan seolah-olah kamu hanya menjadi beban baginya, jadi kamu mengertakkan gigi dan berkata, "Nggak usah, aku masih bisa jalan sendiri kok."

Kalian menatap para pasien yang mulai menuruni tangga dengan canggung, siap mengejar kalian dengan gerakan lambat tapi konsisten. Dari bawah, terdengar suara-suara keras dan cepat.

"Itu para penjaga!" seru Johan tegang. "Ayo, kita keluar ke lantai dua saja!"

Kalian membuka pintu terdekat dan kabur ke lantai dua. Di depan kalian, sebuah koridor yang panjang dan sepi menanti kalian.

Klik di sini untuk melanjutkan.


SCALPEL

Kamu mencabut scalpel dari kantong depan sakumu, sesaat memandangi pisau bedah supertajam itu. Kalau kamu asal menusuk, bisa-bisa kamu langsung mengirim dokter sesat tersebut ke neraka. Padahal kamu bukan pembunuh. Tidak peduli lawanmu sejahat apa, kamu tidak berhak mencabut nyawanya. Tujuanmu hanyalah menyelamatkan Johan. Titik.

Kamu berpikir selama dua detik, membuat keputusan, lalu menghunjamkan pisau itu pada kaki si dokter gila. Darah memuncrat membasahi mukamu, membuat seluruh dunia terlihat merah dan berbau amis, sementara si dokter menjerit sejadi-jadinya. Sesaat kamu hanya berdiri, menggigil ketakutan karena sudah menyebabkan luka begini parah pada seorang manusia. Meski kamu melakukan itu untuk menyelamatkan temanmu, kamu tetap merasa berdosa. (XP: -20)

Lalu mendadak ada yang berusaha merebut scalpel-mu. Spontan kamu mempertahankan senjata itu.

"Apa yang mau kamu lakukan?" bentakmu pada Johan yang sudah terbebas dari penyerangnya.

"Membunuhnya, tentu saja!" balas Johan sambil membentak juga. "Kalau dia mati, kita bebas!"

Aku menatap Johan dengan tidak percaya. Bisa-bisanya cowok itu mengatakan hal seperti itu dengan begitu yakin, seolah-olah membunuh adalah sebuah keharusan. "Kamu nggak boleh mencabut nyawa orang seenak jidat!"

"Kenapa nggak boleh? Kalau kita ingin terbebas dari neraka ini, memang ada harga yang harus kita bayar kok! Kamu kira di dunia ini kebebasan didapatkan secara cuma-cuma? Kita semua berjuang, tahu? Berjuang! Dan dalam setiap perjuangan, selalu ada yang mati. Itu sudah wajar!"

Kamu hanya melongo mendengar pidato Johan. Entah kenapa, pidatonya terdengar masuk akal sekaligus tidak waras. Mungkin seperti itulah pidato Hitler atau para diktator kharismatik lainnya. Mereka membicarakan pendapat mereka yang gila itu dengan penuh keyakinan, mencampurnya dengan sekelumit kebenaran, dan membuat semua orang yang gampang terpengaruh menuruti mereka.

Tapi kamu tidak seperti itu. Seberapa ngotot pun Johan, kamu tidak bersedia menyerahkan senjatamu itu.

"Tuh lihat!" Tiba-tiba Johan merajuk dengan marah. "Si Dokter X udah kabur!"

Eh, benar juga! Si Dokter X sudah hilang tanpa berbekas. Padahal lukanya tadi lumayan parah.

Astaga, dokter itu sebenarnya manusia atau bukan sih?

Klik di sini untuk melanjutkan.


BOLPEN

Tanpa berpikir panjang, kamu mengeluarkan bolpen yang kamu curi dan menusuk pasien gila yang mencoba menggigitmu dengan benda itu. Bolpen itu menancap sempurna di bahu si pasien gila, namun si pasien gila seolah-olah tidak merasakannya dan tetap menggigit lehermu dengan penuh semangat. Untunglah rekan seperjuanganmu, Johan, segera menarik si pasien gila darimu. Pasien itu sempat menggigit tangannya juga, tapi Johan mengibaskan tangannya dan melemparkan si pasien gila ke arah tembok. Kamu melihat si pasien gila tersuruk ke bawah lantai bagai balon kempes.

"Lehermu berdarah," kata Johan sambil mengusap tangannya yang kena gigit.

Kamu segera mengusap lehermu. Sial, darah yang keluar lumayan juga. Dasar pasien kurang ajar. Dia kira dia semacam vampir atau apa? Dan sekarang kamu jadi takut kena rabies. Tidak lucu kalau setelah capek-capek keluar dari rumah sakit, kamu beneran jadi gila.

"Tak apa," kata Johan seolah-olah bisa membaca pikiranmu. "Nanti kita periksakan kalau kita sudah keluar dari sini. Sekarang, jangan pikirkan dulu, oke?"

"Oke," anggukmu, bersyukur punya rekan seperti Johan. "Makasih ya tadi udah selamatin aku!"

"Jangan berterima kasih," sahut Johan tenang. "Nanti akan kutagih kok."

Entah kenapa, kamu jadi merinding mendengar ucapan itu. (HP:-10, JP:-5)

Klik di sini untuk melanjutkan.


PILIHAN

Sesaat kamu dan Johan saling memelototi.

Di dalam hati, kamu mulai menyadari bahwa adalah sebuah kesalahan besar bersekutu dengan orang seperti ini. Dia tidak segan-segan melenyapkan siapa pun juga yang menghalangi jalannya. Suatu saat, ketika dia harus memilih antara kebebasan dan menyelamatkanmu, dia takkan ragu untuk memilih kebebasan meski harus mengorbankan dirimu. Bahkan, kemungkinan besar, dia akan melakukan itu dengan senang hati.

"Sudahlah," akhirnya Johan yang mengalah duluan. Meski begitu, kamu tahu di dalam hati dia mulai membencimu. "Tidak ada gunanya kita saling bertengkar sekarang. Kita masih harus kerja sama untuk menyelamatkan diri. Kamu masih mau melarikan diri kan?"

Meski enggan bekerja sama dengan orang ini, kamu tahu bahwa sudah terlambat untuk menarik diri. Bagaimanapun juga, kamu memang ingin lolos dari tempat mengerikan ini. Kamu tidak ingin menjadi salah satu dari pasien gila itu. "Ya, aku masih mau melarikan diri."

"Kalau begitu, kita harus turun ke lantai satu. Ambil satu senjata di ruangan ini, lalu kita kabur."

Kamu memandangi ruangan itu. Ada beberapa benda besar yang bisa kamu pilih untuk mendobrak kerumunan yang mungkin sedang menunggu di depan. Sebuah tongkat berjalan yang mungkin saja kepunyaan si dokter gila, sapu bergagang kayu, pengki yang terbuat dari plastik, tutup tong sampah dari besi. Apa pun benda yang kamu pilih, kamu yakin akan bisa digunakan untuk menerobos kerumunan mayat hidup yang ganas dan siap mencabik-cabikmu dengan gigi mereka kalau kamu gagal.

Baca episode berikutnya.


INSTRUKSI MysteryGame@Area47 UNTUK MINGGU INI:

Hai para peserta MysteryGame@Area47!

Kirimkan email ke lexiexu47@gmail.com dengan subject yang diisi dengan "MysteryGame@Area47: THE ASYLUM," diikuti nama panggilan diikuti "HP=" diikuti jumlah HP diikuti "JP=" diikuti jumlah JP diikuti "XP=" diikuti jumlah XP diikuti jawaban atas pertanyaan ini:

SENJATA APA YANG KAMU AMBIL? (Pilih antara: tongkat, sapu, pengki, tutup tong sampah. Tidak perlu sebutkan alasannya.)

Lexie tunggu jawabannya sampai enam hari lagi. Jangan sampai telat ya mengirimkan jawabannya!

Good luck, everybody!

xoxo,
Lexie

Sunday, May 6, 2012

MysteryGame@Area47™: THE ASYLUM, episode 3

Kamu didorong masuk ke dalam sebuah ruangan gelap melalui pintu besi. Saat pintu itu akhirnya ditutup, kamu menyadari akan sangat sulit keluar dari ruangan ini. Apalagi, setelah ditutup, terdengar bunyi klik yang menandakan pintu itu dikunci dari luar.

Kamu terjebak dalam ruangan gelap itu.

Setelah matamu mulai terbiasa dengan kegelapan, kamu menyadari kamu ada di dalam ruangan berukuran 3x4 meter persegi. Ruangan itu sebenarnya mempunyai jendela, dan samar-samar ada sinar bulan yang menyeruak masuk, hanya saja awalnya kamu tidak terbiasa dengan penerangan selemah itu. Ada sebuah ranjang kosong di sisi kiri yang segera kamu tempati lantaran kamu sudah pusing dan nyaris tak berdaya akibat obat yang diberikan padamu, belum lagi kakimu sakit banget. Sementara itu, di sisi lain ruangan...

"Halo, kita ketemu lagi."

Meski tadinya sudah tepar banget, kamu langsung terlonjak di atas tempat tidurmu mendengar suara itu. Kamu sama sekali tidak menduga ada orang lain di dalam ruangan itu. Habis, waktu kamu mencoba mendengarkan tadi, tidak ada suara apa pun juga di dalam ruangan itu. Jadi kamu mengira kamu hanya sendirian di dalam sana. Tidak tahunya, kamu punya teman sekamar.

Dan teman sekamarmu adalah Johan.

Kenapa bisa kebetulan begitu?

"Kaget bisa ketemu denganku lagi?" Buset. Rasanya seolah-olah orang ini bisa membaca pikiranmu! "Yah, lihat saja tingkat kewarasanku. Sebelum kamu, akulah orang terakhir yang masuk. Jadi tidak heran kita ditempatkan di ruangan yang sama... Ah, tidak. Aku bukan orang yang terakhir. Sebenarnya, masih ada satu orang lagi. Tapi setelah sebulan tinggal di sini, dia tidak tahan lagi dan menjadi gila. Lalu, suatu malam, dia bunuh diri."

Entah kenapa, bulu kudukmu merinding mendengar cerita itu. Mungkin itu gara-gara cara bercerita Johan yang dramatis, atau mungkin juga karena sebab lain. Misalnya, roh yang merasa terpanggil saat kisah hidupnya diceritakan. "Di ruangan ini?"

"Ya."

Saat menjawab pertanyaanmu itu, suara Johan terdengar mengerikan sekali. Begitu tenang, begitu ringan, begitu dingin. Kenapa ada orang yang begitu santai menceritakan kematian seseorang, seolah-olah tidak ada hubungannya dengan dirinya? Padahal orang itu pernah menjadi rekan sekamarnya, mungkin pernah menjadi temannya.

Dan kenapa dia bisa tahan tinggal di ruangan tempat orang lain pernah mati?

"Bagaimana cara dia mati?" tanyamu ingin tahu. "Gantung diri?"

Suara Johan mengandung senyum geli saat menjawab, "Bukan. Dia menusuk dirinya berkali-kali."

Astaga! Kejadian itu begitu mengerikan! Kenapa dia malah tersenyum geli saat menceritakannya?

Sebuah kenyataan muncul dengan begitu cepat, seolah-olah menamparmu dengan keras.

Johan adalah psikopat gila.

Astaga! Kenapa bisa-bisanya kamu seruangan dengan orang yang begini mengerikan? Kamu memang sial belakangan ini. Sudah dikejar-kejar monster sepanjang malam, kini tahu-tahu kamu sekamar dengan psikopat. Rasa senang akibat jadi penulis muda tajir, di-follow Justin Bieber, dan disetarakan dengan Harry Potter sudah lenyap tak berbekas, digantikan dengan rasa takut, bingung, dan ngeri yang berkepanjangan ini. Kamu sangat berharap di dalam hati bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk belaka, bagaimana kamu akan dibangunkan oleh ibumu dan diseret ke sekolahan di mana kamu menjadi murid biasa yang tak ada bedanya dengan teman-temanmu. Percuma jadi orang beken kalau kerjamu dikejar-kejar bahaya melulu. Kamu kan bukan Bruce Willis atau James Bond. Lolos dari satu bahaya itu keajaiban, sedangkan lolos dari dua bahaya itu mustahil!

Tidak. Kamu tidak boleh berpikir begitu. Salah satu alasan kamu bisa menjadi penulis muda tajir adalah berkat sifatmu yang tidak gampang putus asa dan selalu berusaha sampai detik-detik terakhir. Kamu ingat semua pengorbananmu waktu menulis novel debutmu yang begitu sulit, bagaimana kamu harus pergi ke warnet setiap hari untuk menulisnya, dan bagaimana kamu memohon-mohon untuk meminjam printer dari teman yang pelitnya luar biasa. Kamu ingat bagaimana kamu mengantarkan naskahmu ke penerbit, menunggu keputusan dengan deg-degan, memperbaiki semua kekurangan yang dijelaskan editor padamu, dan merevisinya berkali-kali di warnet hingga tengah malam, sampai-sampai ibumu mengiramu hobi dugem. Semua penderitaan itu sudah kamu tanggung dengan susah payah, dan kini semua itu berbuah manis.

Dan kini, kamu akan menghadapi semua bahaya ini dengan segenap akal dan usahamu, karena kamu percaya, pada akhirnya kamu akan mendapatkan akhir yang kamu harapkan.

Jadi, jangan menyalahkan kesialan, jangan memikirkan semua ini mustahil berhasil dijalankan, jangan pernah berpikir negatif.

Mendadak terdengar suara Johan memecahkan keheningan. "Kamu mau melakukannya denganku?"

"Melakukan apa?" tanyamu bingung. Seberapa pun kuatnya mentalmu, pikiranmu sudah mulai berkabut akibat pengaruh obat.

"Kabur secepatnya dari sini."

Rencana itu terdengar begitu indah dalam kabut yang memenuhi pikiranmu, jadi kamu menyahut lemah, "Ya."

Lagi-lagi suara Johan mengandung senyum saat menjawab, "Kalau begitu mendingan kamu tidur dulu. Sekarang kamu pasti udah ngantuk banget karena pengaruh obat. Kalau saatnya tiba, aku akan bangunin kamu."

Kamu tidak terlalu mendengarkan Johan lagi karena kamu sudah tak sadarkan diri. Kamu hanyut dalam tidur tanpa mimpi, berenang-renang dalam kegelapan yang begitu kental, dan saat kamu akhirnya tersadar kembali, sesaat kamu tidak mengenali kenyataan saking lelapnya tidur yang barusan kamu jalani.

Hal pertama yang kamu lihat adalah Johan yang menjulang tinggi di samping tempat tidurmu, diterangi oleh sinar bulan yang samar-samar, salah satu tangannya yang terangkat memegang sebilah pisau tajam. Seringai keji terlihat di mukanya yang pucat, membuatnya tampak seperti malaikat kematian yang mengerikan. Kamu membuka mulut, ingin berteriak sekeras-kerasnya dan meminta pertolongan, tapi tangan Johan yang bebas membungkam mulutmu. Untuk ukuran cowok kurus, tenaga Johan besar sekali.

"Kamu ingin bernasib seperti teman sekamarku yang dulu?"

Astaga!!! Apa arti kata-kata itu? Apa teman sekamar Johan dulu juga dibunuh oleh Johan?!

Tapi kamu tidak sanggup melontarkan semua pertanyaan itu lantaran mulutmu dibekap erat-erat oleh Johan. Kamu hanya bisa menatapnya dengan penuh horor.

"Kamu mau kabur dari sini?"

Dengan susah-payah kamu mengangguk.

Johan tersenyum, lalu menghunjamkan pisau itu kuat-kuat padamu. Kamu memejamkan mata rapat-rapat, tapi bisa merasakan pisau itu menembus sisi jaket pengekangmu dan memutuskan tali jaket tersebut.

Dan kamu pun terbebas.

"Bisa berdiri?" tanya Johan padamu.

Kamu mencoba berdiri dan merasa lega bahwa tubuhmu tidak sekaku yang kamu takutkan. "Ya."

"Kalau begitu, kita mulai pelarian kita," senyum Johan. "Siap?"

"Tentu saja," anggukmu.

Johan berjalan ke arah pintu, mengeluarkan sebuah kunci dari sakunya, lalu membuka pintu kamar dengan sangat mudah.

"Jadi selama ini kamu sebenarnya bisa keluar?" tanyamu heran.

"Iya," angguk Johan.

"Lalu kenapa kamu nggak kabur sendiri?"

Lagi-lagi Johan tersenyum dengan caranya yang menakutkan itu, senyum yang tak mencapai matanya. "Karena pelarian ini membutuhkan dua orang, bukan cuma satu. Kamu ingin turun lewat mana? Lift, tangga biasa, atau tangga darurat?"

Setelah mendengar jawabanmu, Johan memecahkan kotak bertuliskan EMERGENCY dan menarik tuas di dalamnya. Sirene langsung meraung-raung, pintu-pintu sel terbuka secara otomatis, dan para penghuni sel keluar bagaikan mayat-mayat hidup yang kebingungan.

"Ayo, kita kabur."


INSTRUKSI MysteryGame@Area47 UNTUK MINGGU INI:

Hai para peserta MysteryGame@Area47 yang sudah mendaftarkan diri!

Kirimkan email ke lexiexu47@gmail.com dengan subject yang diisi dengan "MysteryGame: THE ASYLUM episode 3" + nama panggilan + jawaban atas pertanyaan ini:

KAMU INGIN TURUN LEWAT MANA? (Pilih antara: lift, tangga biasa, tangga darurat.)

Lexie tunggu jawabannya sampai enam hari lagi. Jangan sampai telat ya mengirimkan jawabannya! ^^v

Good luck, everybody!

xoxo,
Lexie