Sunday, July 28, 2013

MysteryGame@Area47: HOLIDAY IN HELL™, episode 6

"Apa yang kamu lakukan?"

Kamu terperanjat saat pintu terbuka, menampakkan seraut wajah yang sudah sangat keriput. Tapi kamu tidak sempat mengatakan apa-apa, lantaran si kakek tua ternyata galak betul.

"Pergi dari sini!" raungnya dengan tampang yang tak kalah seram dengan seekor harimau. "Jangan ganggu saya lagi!"

"Maaf," ucapmu terbata-bata. "Saya hanya ingin minta bantuan..."

Kini giliran kakek tua itu yang terperanjat. "Lho kamu manusia toh?"

Mendadak kamu jadi sewot. "Ah, Kakek. Memangnya saya mirip monyet?"

Di luar dugaan, kakek tua itu tertawa terbahak-bahak. "Sudah lama saya tidak mendengar lelucon dari manusia hidup. Ayo, masuk, masuk. Kamu pasti sudah capek dan kedinginan!"

Kamu memasuki pondok yang sepertinya lebih layak disebut gubuk itu. Di dalam pondok itu, semuanya tampak begitu bersahaja. Kursi dan meja kayu, kasur dari kapuk, kompor minyak--intinya, mirip dengan rumah-rumah di kampung itu. Untung saja kakek itu bisa berbicara. Kalau tidak, sudah pasti kamu mengira dia salah satu dari penduduk desa itu.

Kamu memandangi kakek itu. Karena sudah amat sangat tua, tubuh kakek ini menciut hingga hanya sebahumu. Tambahan lagi, dia rada bongkok. Rambutnya sudah berwarna putih, jarang-jarang pula (sejujurnya kepalanya ini rada menyeramkan, mirip ilmuwan gila soalnya). Pakaiannya pun cukup sopan, kemeja kotak-kotak kumal dengan celana jins. Dalam segala keanehannya, si kakek tua tidak terlihat mencurigakan atau jahat. Sepasang matanya yang kecil menatapmu, dengan sudut-sudut mata yang berkeriput. Sepertinya kakek itu punya hobi tersenyum atau tertawa. Saat ini pun, bibirnya menyunggingkan senyum yang tampaknya menyenangkan.

"Jadi, kenapa kamu bisa nyasar di tempat seaneh ini, malam-malam begini pula?"

Teringat betapa kagetnya kakek itu menyadari bahwa kamu manusia, kamu menyadari bahwa kemungkinan besar si kakek tua sudah mengetahui soal orang-orang kampung tersebut. Apalagi sepertinya dia adalah penjaga makam orang-orang tersebut. "Eh, Kek, sebenarnya saya barusan dari kampung di dekat sini..."

"Dan kamu masih hidup?" Kali ini kamu baru menyadari arti tatapan kakek tua itu. Rupanya, dia sedang memandangimu dengan takjub. "Bagaimana mungkin? Bahkan saya pun harus mengucilkan diri sejauh-jauhnya dari mereka supaya nggak menjadi sama seperti mereka."

Kamu berpikir sejenak, berusaha menebak arti dari kata-kata itu. "Kakek juga penduduk desa itukah?"

"Betul sekali," angguk kakek itu. "Sebetulnya, saya adalah kepala desa dari kampung itu."

Kamu melongo. "Tapi..."

"Tapi kamu sudah pernah ketemu kepala desa yang lain," kata kakek itu sambil manggut-manggut. "Itu benar. Dia memang kepala desa yang sekarang."

"Maksud Kakek?"

"Saya adalah kepala desa saat kampung itu masih kampung biasa, sementara dia adalah kepala desa dari kampung orang-orang mati. Sebab," si kakek tua rupanya pandai bercerita, sebab dia berhenti pada saat yang tepat, membuatmu menahan napas saking tegangnya, "dia adalah yang pertama mati dari mereka semua."

Sesaat kamu tidak sanggup bicara. "Kenapa mereka bisa mati?"

"Karena sebuah penyakit misterius," ucap si kakek tua sambil berbisik, seolah-olah dengan mengucapkan hal itu keras-keras bisa mengundang kedatangan virus mematikan yang sedang kalian bicarakan. "Mereka semua mati satu per satu dengan cara yang sangat aneh. Terlalu mudah. Hanya dengan demam tinggi, kadang disertai ruam dan muntah-muntah, mereka pun meninggal dalam waktu seminggu."

Kamu bukan dokter, tapi tidak sulit bagimu untuk menerka penyakit apakah itu. "Itu demam berdarah. Kalian semua terkena wabah demam berdarah."

"Rupanya kamu bukan anak biasa," ucap si kakek tua memandangimu dengan sorot mata takjub. "Mungkin kamu memang dibawa ke sini untuk menyelamatkan kami semua."

Oke, sebenarnya itu adalah pengetahuan umum yang biasa-biasa saja, tapi kamu lumayan senang disangka bukan anak biasa. Jadi kamu tidak mengatakan apa-apa untuk membantahnya. "Lalu, apa yang terjadi lagi, Kek?"

"Satu per satu meninggal," kenang si kakek. "Dimulai dari sobatku, Robert." Robert??? Nama si Pak Kades itu Robert??? Kok bisa keren begitu?? "Disusul istrinya, Kirsten." Buset! "Lalu Taylor..."

Gile, rupanya nama orang-orang di kampung itu memang keren-keren. Mungkin saja si kakek tua yang penampilannya bak manusia zaman abad pertengahan ini sebenarnya bernama Justin. Oke, lebih baik kamu segera menyetop kakek itu menyebut nama-nama lain yang bikin kamu tambah minder saja. "Setelah itu, Kek?"

"Awalnya semua biasa-biasa saja. Maksudnya, orang meninggal ya meninggal. Didoakan, dikubur, habis perkara. Tapi, setelah mereka semua meninggal, dan tinggal aku seorang diri," si kakek bergidik, "mereka yang meninggal kembali lagi pada suatu malam."

Kamu langsung ikutan bergidik, bukan hanya karena tampang horor yang tercermin pada wajah si kakek, melainkan juga membayangkan seorang manusia hidup dikelilingi orang-orang mati yang muncul pada malam hari.

"Arnold bilang, mereka semua menolak untuk menyeberangi Gerbang Kematian. Setelah beberapa lama, gerbang itu tertutup untuk mereka semua. Dan itu lebih baik, karena mereka bisa kembali ke dunia ini, meski dengan tubuh yang tidak utuh lagi. Mereka tidak bisa bertahan di saat ada sinar matahari, bahkan di dalam rumah sekali pun, jadi mereka semua harus kembali ke dalam kuburan mereka di siang hari."

"Gimana caranya?" tanyamu heran. "Nggak mungkin mereka menggali-tutup kuburan mereka setiap hari dong."

"Itulah ajaibnya," kata si kakek. "Dalam banyak hal mereka menyerupai manusia biasa. Meski begitu, mereka bisa keluar-masuk kuburan mereka seperti hantu. Tidak benar-benar seperti hantu sih. Mereka merangkak di atasnya, mengais-ngais seperti anjing, lalu menceburkan diri seolah-olah kaisan mereka bisa menghasilkan lubang. Padahal saya sudah periksa semua kuburan itu. Semuanya rapi tak tersentuh. Saat mereka keluarpun, seolah-olah mereka keluar susah-payah dengan menembus tanah."

Seperti zombie, pikirmu, tapi kamu rasa si kakek tua tidak pernah nonton Resident Evil, jadi percuma saja kamu sebut-sebut.

"Entah kenapa, saya satu-satunya yang tidak terjangkit penyakit tersebut. Mungkin karena saya penduduk yang paling sehat. Yah, jangan biarkan tubuh tua ini menipumu. Waktu saya masih muda, tubuh saya tinggi besar dan berotot, beda dengan penduduk lain yang, yah, kamu sudah lihat sendiri."

Ya, kamu masih ingat betul para penduduk yang tubuhnya letoy-letoy itu. Tak bisa kamu bayangkan bagaimana mereka sanggup bertani atau berkebun. Sebenarnya, kamu juga tak bisa membayangkan kakek ini tinggi besar dan berotot seperti Taylor Lautner. Cuma ya, kata orang kan, don't judge the book by its cover. Mana tahu dulu kakek ini juga tampan seperti Justin Bieber. Siapa tahu.

"Nggak percaya?" Entah tampangmu seperti apa, pokoknya si kakek tua tampak jengkel melihat air mukamu. "Buktinya saya masih hidup setelah semua orang mati! Gini-gini usia saya sudah seratus tahun, tahu??"

OH MAN. "Waduh, kalo gitu seharusnya saya panggil Kakek Buyut?"

"Jangan. Kakek buyut itu biasanya sudah mati. Kan saya masih hidup dan sehat walafiat pula. Nah, Anak Muda, kamu masih mau hidup atau tidak?"

"Mau dong, Kek," jawabmu cepat.

"Kalau begitu, kamu harus mengikuti petunjukku dengan sebaik-baiknya dan juga dengan cepat. Karena," kakek itu berkata kalem, "orang-orang kampung itu sudah tau kamu ada di sini."

Saat itulah kamu menyadari ada langkah banyak orang di depan pondok. Paling jauh, hanya berjarak sepuluh meter. Oh mannn! Kamu tidak bakalan punya kesempatan untuk kabur dari pondok. Mereka pasti bisa mengejarmu dengan mudah.

"Saya harus gimana, Kek?" tanyamu panik.

"Pertama-tama, kamu harus pergi ke rumah Arnold, maksudku kepala desa kampung orang-orang mati itu. Setelah itu, carilah kamar yang ada rohnya."

"Roh?" Kamu tercekat.

"Roh itu hanya bisa dilihat dengan cermin." Oh mannn! Itu kan si sosok merangkak! Kamu harus ketemu dia lagi??? "Bunuh dia."

Enak saja si kakek ini ngomong. "Gimana caranya bunuh roh begitu, Kek?"

"Gampang," ucap si kakek. "Gunakan salah satu dari benda ini. Tapi kamu hanya boleh pilih salah satu, karena saya juga butuh sisanya. Bukan cuma kamu yang perlu menjaga nyawa, Nak!"

INSTRUKSI MysteryGame@Area47 UNTUK MINGGU INI: 

Hai para peserta MysteryGame@Area47 yang sudah mendaftarkan diri! 

Kirimkan email ke lexiexu47@gmail.com dengan subject yang diisi dengan "Holiday in Hell episode 6" diikuti nama dan jawaban atas pertanyaan ini: 

BENDA APAKAH YANG KAMU PILIH? 
(Pilihan jawaban: 
1. Sekotak korek api 
2. Sekaleng minyak
3. Tiga butir telur
* Tidak perlu sebutkan alasannya.)

Kalex tunggu jawabannya sampai enam hari lagi! ^^

Good luck, everybody! 

xoxo,
Lexie

Sunday, July 21, 2013

MysteryGame@Area47: HOLIDAY IN HELL™, episode 5

Setelah memberimu senjata baru, anak-anak itu pergi secepat kedatangan mereka, meninggalkanmu seorang diri di tengah hutan belantara. Jelas, mereka bukanlah anak-anak biasa. Gerakan mereka lebih cepat, namun nyaris tak terdengar. Mereka tidak berbicara, akan tetapi selalu ada suara anak-anak di sekitar mereka--suara tawa dan canda, yang seolah-olah adalah gema dari masa lalu. Meski saat berbicara denganku mereka terdengar dewasa, sesungguhnya mereka hanyalah anak kecil biasa. Kamu tahu, niat mereka untuk membantumu bukanlah karena mereka menyukai atau menghargai nyawamu. Bagi mereka, semua ini hanyalah permainan--permainan yang dimainkan antara orang-orang kampung dan kamu. Kamu adalah lawan yang jauh lebih lemah dan gampang dikalahkan. Untuk membuat permainan lebih menarik dan seimbang, mereka harus membantumu.

Tidak peduli apa niat mereka, kamu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Kamu akan menggunakan bantuan mereka sebisanya, meski kamu tahu kamu tak bakalan percaya pada mereka. Saat ini, orang yang benar-benar ada di pihakmu hanyalah kamu sendiri.

Sambil membawa senjata barumu, kamu berjalan menembus hutan dan kegelapan, dengan kampung itu di belakangmu. Ke mana pun kamu pergi, pasti akan lebih baik daripada kampung itu, tidak peduli arah itu akan membawamu masuk jauh ke dalam hutan. Lebih penting lagi, ini kan pulau Jawa yang terkenal karena kepadatan penduduknya. Kamu yakin banget, hutan ini tidak bakalan besar-besar amat deh.

Kamu berjalan dengan hati-hati supaya tidak menyenggol dahan-dahan yang mencuat dari semak-belukar dan tersandung batu-batuan atau akar yang menjalar di atas tanah, serta menahan diri untuk tidak menggunakan senter. Kamu takut cahaya dari benda itu akan membuat posisimu ketahuan para penduduk kampung. Jadi, lebih baik kamu berjalan dalam kegelapan. Tidak apa-apa kamu harus bergerak lebih pelan. Ingat pepatah, biar lambat asal selamat.

Sambil berjalan, kamu memikirkan ucapan anak perempuan itu. Orang-orang kampung itu adalah orang-orang mati yang sudah mati beberapa waktu berselang. Lama sekali, begitulah istilah yang digunakan oleh anak perempuan itu. Kamu teringat orang-orang kampung itu tidak menggunakan barang-barang elektronik. Yah, bisa jadi itu karena orang mati tidak bisa membayar rekening listrik. Akan tetapi sepertinya kemungkinan yang lebih besar adalah, mereka memang berasal dari zaman di mana listrik belum masuk kampung. Di pulau-pulau lain, mungkin banyak kampung yang belum menggunakan listrik, tapi di Jawa seharusnya semua sudah menggunakan listrik, apalagi kampung ini tidak jauh dari jalan protokol. Tidak, pastinya kampung ini sudah raib sejak lama--mungkin lima atau enam puluh tahun lalu.

Lalu wabah. Apakah wabah yang melanda kampung mereka itu? Wabah yang membuat seluruh penduduk kampung mati. Pastinya wabah yang sangat mengerikan. Apakah wabah itu pula yang membuat mereka kini memakan daging manusia untuk tetap hidup? Bagaimana kalau mereka tidak bisa menemukan daging manusia? Apa yang akan terjadi pada diri mereka...

Sebuah pemikiran baru mendadak melintas di kepalamu. Pemikiran yang menyambar dirimu bagaikan halilintar di siang bolong. Pemikiran yang sebenarnya sudah kamu sadari sejak menemukan jempol bercincin Hello Kitty dalam bakmi itu, namun selama ini kamu menolak untuk memikirkannya lebih lanjut.

Dari mana orang-orang itu punya begitu banyak daging manusia? Begitu banyak warung, begitu banyak pengunjung. Pasti banyak manusia yang mereka bantai, dan tidak mungkin itu adalah persediaan mereka. Habis, mereka tidak punya kulkas atau apa pun juga yang bisa digunakan untuk menjaga daging-daging itu supaya tidak basi.

Tidak salah lagi, rekan-rekanmu satu bis sudah mati dibantai oleh orang-orang kampung itu.

Mendadak seluruh tubuhmu gemetaran. Perutmu yang kosong bergolak hebat, dan kamu memuntahkan cairan asam yang merupakan satu-satunya cairan dalam lambungmu. Tidak, tidak mungkin. Semua ini terlalu mengerikan untuk kamu percaya. Orang-orang dalam bis itu--orang-orang yang tadinya masih mengobrol, bercanda, mengharapkan liburan indah seperti dirimu--semuanya sudah mati dalam kondisi yang begitu mengenaskan. Tidak ada yang bakalan tahu, karena tidak ada mayat.

Kecuali dirimu--kalau kamu selamat, tentu saja.

Oke, meski menyadari bahwa kamu rada egois, kamu tidak bisa membantah bahwa kamu lebih ketakutan daripada berduka. Habis, bagaimana kamu bisa selamat dari semua ini? Kini, karena tidak menjadi tamu di kampung itu lagi, kamu juga menjadi salah satu target untuk dibunuh dan dijadikan makanan pendamping bakmi atau nasi goreng atau apalah. Kamu tidak punya siapa-siapa untuk meminta bantuan, karena tidak ada manusia hidup lain lagi selain kamu. Yah, ada si beruang, tapi dari yang kamu saksikan, sepertinya si beruang juga sudah menjadi salah satu di antara mereka. Tidak, kamu tidak bisa mengharapkan si beruang lagi. Sudah beruntung kalau kamu tidak berakhir dalam perutnya.

Kamu mengusap bibirmu dan menguatkan hati. Tidak ada gunanya kamu menyerah dalam ketakutanmu. Oke, kamu memang takut, tapi kalau kamu hanya bisa berdiri gemetaran sambil muntah, kamu tidak akan menyelamatkan dirimu. Sudah waktunya kamu bangkit dan mencari jalan keluar dari semua ini. Kalau kamu beruntung, kamu akan menemukan jalan raya kembali dan menunggu orang lewat yang bisa memberimu tumpangan. Tapi kalau tidak, bagaimana caranya kamu menyelamatkan diri?

Melawan balik?

Ha-ha. Lucu sekali. Mereka itu banyak. Kamu tidak tahu berapa jumlahnya secara persis, tapi yang jelas mereka banyak banget. Pastinya di atas lima puluh orang--mungkin seratus? Kalau ditambah para pendatang yang bukan penduduk kampung tapi kemarin ikut makan di warung, seratus adalah angka yang pasti. Sementara kamu cuma seorang diri. Mana mungkin kamu melawan mereka? Ini sama saja dengan Daud melawan seratus Goliat. Mana mereka sudah mati. Meski kamu sudah melukai banyak di antara mereka, memangnya itu ada pengaruhnya? Toh mereka tidak bisa mati. Mungkin dengan makan daging manusia, mereka akan pulih lagi lalu ikut dalam pasukan dan menyerangmu lagi.

Kamu berusaha memeras otakmu. Dalam cerita-cerita di film atau game, pasti ada sesuatu yang memicu semua ini, dan kamu harus menemukan hal itu. Masalahnya, dalam cerita-cerita itu, biasanya semua orang sudah tahu apakah pemicunya dan yang harus mereka lakukan hanyalah menghancurkan pemicu itu. Sedangkan kamu buta sama sekali. Lagi pula, kamu tidak seperti jagoan-jagoan dalam film itu. Kamu cuma anak sekolahan biasa, bukan Bruce Willis atau Will Smith. Mana mungkin kamu bisa melakukan hal sekeren itu?

Oke, selangkah demi selangkah. Jangan berpikir terlalu banyak dulu. Sekarang, kamu harus mencari tempat yang aman.

Kamu meneruskan perjalanan sambil makan. Kebetulan, kamu membawa roti di dalam ranselmu. Untunglah roti itu belum basi. Setelah makan, kamu mulai merasa lebih baik. Dan saat perasaanmu lebih baik, kamu melihat sekelilingmu dengan lebih baik pula. Jauh di depan sana, kamu bisa melihat ruangan terbuka. Kamu mulai berlari, berdoa dengan penuh harapan, bahwa kamu akan tiba di tepi jalan protokol.

Saat kamu akhirnya tiba di lapangan terbuka itu, pemandangan yang tak terduga menyambutmu.

Lapangan terbuka itu rupanya adalah sebuah kuburan besar.

Kamu sudah pernah pergi ke pemakaman biasa. Pemakaman itu juga sangat luas, dipenuhi dengan batu-batu nisan, rumput-rumput terpangkas rapi berhias bunga-bunga beraneka warna, serta orang-orang yang berdiri di depan nisan maupun yang sedang melintas. Kuburan ini sama sekali tidak seperti pemakaman itu. Tidak ada batu-batu nisan--yang ada hanyalah sebatang kayu yang ditancapkan pada gundukan-gundukan yang memenuhi kuburan itu. Ada gundukan-gundukan besar, dan ada pula gundukan-gundukan kecil. Semuanya tersebar tak merata. Rumput ilalang tumbuh di mana-mana--kecuali di atas gundukan-gundukan itu, seolah-olah tak ada yang bisa tumbuh di atas gundukan-gundukan itu.

Karena penghuni gundukan-gundukan itu masih sering keluar-masuk gundukan mereka masing-masing.

Di tepi kuburan, terdapat sebuah pondok kayu berukuran kecil, mungkin hanya sekitar 9-12 meter persegi. Pondok itu tampak sudah tua dan reyot. Jika kuburan ini adalah milik orang-orang kampung itu, seharusnya sang penjaga makam pun sudah tiada. Kecuali kalau penjaga makam itu setua dan sereyot pondok huniannya.

Bulu kudukmu merinding. Sebagian dari dirimu mengatakan bahwa kamu harus pergi dari tempat ini secepatnya, akan tetapi logikamu mengatakan kamu harus menyelidiki tempat ini. Bagaimanapun juga, sekarang masih malam hari. Kalau kuburan ini adalah milik orang-orang kampung itu--dan kalau kata-kata anak perempuan itu benar--para penghuni kuburan itu belum kembali. Inilah saat terbaik bagimu untuk menyelidiki. Kamu mengumpulkan keberanianmu dan mulai berjalan mengitari kuburan itu.

Seraya berjalan, kamu mengecek tulisan pada kayu-kayu yang terpancang pada setiap gundukan. Pada setiap kayu, tertera nama para pemiliknya. Tentu saja, tidak ada yang kamu kenal. Di ujung barisan di dekat pondok, terdapat sebuah lubang kubur yang masih terbuka. Kamu bertanya-tanya untuk siapakah lubang kubur itu dan apakah sudah ada orang mati yang berbaring di sana.

Saat kamu akhirnya tiba di depan pintu itu, ketakutanmu sudah memuncak dan nyaris melumpuhkan dirimu. Seolah-olah semua sumber kengerian itu berasal dari dalam pondok itu. Kamu ragu-ragu, haruskah kamu mengetuk dengan sopan sebagai seorang tamu yang berniat baik (tapi posisimu akan terlalu lemah kalau-kalau yang nongol adalah musuh), mengintip melalui jendela (lebih berhati-hati tapi kalau ketahuan, kamu akan dianggap kurang ajar), atau lebih baik kamu memancing sang penghuni keluar dari pondoknya.


INSTRUKSI MysteryGame@Area47 UNTUK MINGGU INI:

Hai para peserta MysteryGame@Area47 yang sudah mendaftarkan diri!

Kirimkan email ke lexiexu47@gmail.com dengan subject yang diisi dengan "Holiday in Hell episode 5" diikuti nama dan jawaban atas pertanyaan ini:

APAKAH YANG AKAN KAMU LAKUKAN SAAT TIBA DI PONDOK ITU?
(Pilihan jawaban:
1. Mengetuk dengan sopan.
2. Mengintip melalui jendela.
3. Membuat suara-suara mencurigakan untuk memancing pemiliknya keluar.
* Tidak perlu sebutkan alasannya.)

Kalex tunggu jawabannya sampai enam hari lagi! ^^

Good luck, everybody!

xoxo,
Lexie

Sunday, July 14, 2013

MysteryGame@Area47: HOLIDAY IN HELL™, episode 4 (battle #1)

WAKTUNYA EPISODE BATTLE!

Sejauh ini, kamu memiliki HP (Health Points) sebesar 100 HP. Dalam perjalananmu, setiap kali kamu menemukan kata-kata seperti (HP: -x), itu berarti HP-mu akan dikurangi dengan bilangan yang diwakili x. Sementara itu, musuhmu adalah kekuatan gelap yang menguasai kampung misterius tersebut dan memiliki 200 MP (Magic Points), yang akan dikurangi setiap kali kamu bertemu kata-kata seperti (MP: -x). Siapkan kertas dan alat tulis. Ini saatnya kemampuan berhitungmu diuji bersamaan dengan keberanianmu!

Jika pada Episode 3 kamu memilih:

1. Ambil ransel dan kabur secepat-cepatnya, klik di sini.
2. Mengumpulkan cermin dan sisir yang jatuh, lalu menantang si sosok merangkak, klik di sini.
3. Mencoba bertahan semalaman, klik di sini.


DAHAN
Oke, apa gunanya sebatang dahan kecil melawan orang-orang sekampung? Kamu tahu, benda itu tidak akan pernah menjadi senjatamu. Jadi kamu harus menggunakannya untuk hal lain.

Sebuah perangkap, misalnya?

Kamu memasang dahan itu di tempat yang menurutmu cukup strategis, lalu meringkuk di dalam semak-semak paling rimbun yang bisa kamu temukan (ouch, sakit bener!!) dan menunggu. Kamu merasakan bunyi gemerisik itu makin mendekat, lalu terdengar bunyi orang terjatuh. Lalu satu orang lagi, dan satu orang lagi. Wah lucu, juga. Sepertinya orang-orang itu memang tidak terlalu banyak berpikir. Setidaknya ada lima orang yang terjatuh gara-gara tersengkat dahan itu. Keributan itu membawa kerumunan itu menjauh darimu, dan sesaat kamu berpikir kamu sudah selamat.

Kamu baru saja menghela napas saat kamu menyadari bahwa salah satu pengejarmu sedang memandangimu dengan muka mengerikan dari antara semak-belukar. Pria itu tampak seolah-olah ingin berteriak untuk memanggil teman-temannya, jadi kamu pun bangkit seraya mematahkan dahan terdekat dan menusuk hidungnya dengan dahan itu. Berbeda dengan si wanita tua, kali ini kamu tidak merasa bersalah karena pria itu bertubuh besar--meski rada letoy untuk ukurannya. Akan tetapi, meski hidungnya tertusuk dahan sampai cukup dalam, pria itu masih sempat menjambak kepalamu--yep, istilah itu tidak salah, pria itu menjambak kepalamu--dan nyaris meremukkannya.

Oke, hidung yang ditusuk dan tidak berdarah? Itu kan tidak mungkin! Tapi kamu tidak sempat memikirkan betapa anehnya semua ini. Soalnya, yang membuatmu nyaris pingsan ketakutan, dia mulai menggigitmu. Astagaaa!! Apa dia berniat memakanmu hidup-hidup? Kamu tidak tahan lagi. Dalam kekalapan, kamu lagi-lagi mematahkan sebatang dahan terdekat dan menusukkannya ke mata pria itu. Kamu menarik napas dan siap untuk berjuang lagi, namun tiba-tiba saja kamu mendapatkan dirimu hanya sendirian saja. Musuhnya lenyap tanpa bekas.

Kamu selamat, atau setidaknya untuk saat ini. (HP: -12)

Klik di sini untuk melanjutkan.


KAMAR LOTENG
Kamu merutuk dalam hati. Dari sekian banyak kamar yang tersedia, kenapa kamu malah memilih kamar di loteng yang teramat sangat jauh dari pintu depan ini? Sekarang mau melarikan diri pun kamu kesulitan. Apalagi, tangga keparat ini berderit setiap kali kamu menginjaknya.

"Siapa itu?" Terdengar suara dari bawah.

Uh-oh. Kamu ingin berbalik, tapi kamu tahu di belakang tidak ada jalan keluar. Mau tidak mau, kamu harus tetap menuruni tangga. Tapi sebelum kamu sempat bergerak, seseorang sudah menaiki tangga dan menghadangmu. Kamu terheran-heran saat melihat bahwa orang itu hanyalah seorang ibu-ibu dengan kebaya lusuh dan rambut yang disanggul dengan sembarangan sehingga terlihat acak-acakan, menatapmu sambil tersenyum ramah. Kamu menduga, tentunya wanita tua ini adalah si Ibu Kades.

"Selamat malam," ucapnya. "Kamu pasti anak malang yang tersesat itu. Sudah makan, Nak? Perlu Tante siapin makanan?"

Kamu nyaris menjerit melihat salah satu tangannya sedang memegang golok besar. "Nggak, Tante! Makasih! Makasih banyak! Tante tidur aja lagi!"

Si Ibu Kades menatapmu sambil menelengkan wajahnya dengan sangat tidak wajar. "Kenapa kamu membawa ransel? Apa kamu ingin pergi meninggalkan desa ini tanpa berpamitan? Sangat tidak sopan Nak, tidak sopan..."

Wanita tua itu perlahan-lahan mendekatimu, dan kamu tahu kamu harus melawannya. Tapi bagaimana bisa? Kamu diajar untuk menghormati orang-orang yang jauh lebih tua darimu, apalagi yang sudah berstatus lansia. Mana mungkin kamu main gebuk begitu saja? Tapi saat wanita itu mengayunkan goloknya ke arahmu, kamu sadar bahwa demi nyawamu sendiri, kamu terpaksa harus mengesampingkan tata krama. Apalagi wanita tua itu--dan juga teman-teman sekampungnya--barangkali psikopat garis miring kanibal. Kan tidak ada salahnya kamu membekuk mereka. Bisa jadi malah itu berarti kamu menyelamatkan calon-calon korban lainnya.

Sambil mengeraskan hati, kamu menghantamkan ranselmu yang mungkin beratnya sepuluh kilogram itu pada si ibu-ibu. Dalam hati kamu rada takut si ibu-ibu malah menebas ransel kesayanganmu dengan goloknya hingga terbelah jadi dua. Namun si wanita tua rupanya terlalu lemah untuk menahan benda seberat itu. Dia berusaha menangkis dengan goloknya, tapi alih-alih melindungi dirinya, dia malah jatuh terguling-guling dari tangga. Kamu shock saat melihat wanita tua itu terkapar di ujung bawah tangga dengan gaya yang bertolak belakang dengan kemampuan sendi manusia--bahkan kepalanya tertekuk ke belakang dengan sudut yang tak mungkin dilakukan oleh manusia hidup. Sambil menahan ketakutan, kamu pun buru-buru keluar dari rumah itu. (MP: -20)

Klik di sini untuk melanjutkan.


MENGUMPULKAN CERMIN DAN SISIR, LALU MENANTANG SI SOSOK MERANGKAK
Perlahan-lahan kamu membuka pintu. Tidak ada orang sama sekali. Cermin dan sisir masih tergeletak di atas tempat tidur, tepat di mana kamu melemparkannya tadi. Kamu memungut kedua benda itu. Kamu menyelipkan sisir kembali ke dalam ransel, sementara cerminnya kamu genggam dalam posisi menghadap ke bawah. Selama beberapa saat, kamu hanya berdiam diri dan mengumpulkan keberanian. Kamu juga bisa merasakan kebimbangan sosok di belakangmu, seolah-olah dia sedang menimbang-nimbang apakah kamu musuh atau korban--dua pilihan yang jelas-jelas tak enak.

Akhirnya kamu tidak tahan lagi dan memutuskan untuk menyudahi semua ini. Kamu mengangkat cerminmu, dan melihat si sosok merangkak ternyata adalah semacam wanita--berambut panjang, tubuh langsing, mengenakan gaun--tanpa wajah. Di tempat di mana seharusnya ada mata, hidung, dan lain-lain, yang ada hanyalah sebuah mulut yang amat sangat besar dan sedang menganga lebar, siap untuk mencaplok kepalamu.

Omaygaaat, mengerikan sekali!!

Kamu menyodokkan cerminmu ke tempat di mana seharusnya mulut itu berada--bagi mata telanjangmu, itu hanyalah udara kosong--dan mendadak saja cerminmu pecah. Sepotong kecil kaca sempat melukai tanganmu. Kamu menyambar ranselmu, lalu melarikan diri. (MP: -15, HP: -5)

Klik di sini untuk melanjutkan.


TALI YANG TERJALIN DARI GELANG-GELANG KARET
Kamu memegangi tali yang terjalin dari gelang-gelang karet itu. Tali yang biasa digunakan oleh anak-anak kampung untuk bermain loncat tali. Apa yang bisa dilakukan tali ini untuk membantumu kabur dari orang-orang kampung ini? Kamu berpikir dan berpikir, akan tetapi saat ini pikiranmu serasa buntu.

Kamu memilih semak-semak yang terletak di tempat yang agak tinggi, lalu meringkuk di dalamnya (ouch, sakit bener!!) dan menunggu seraya menguraikan gelang-gelang karet dari tali itu. Saat orang-orang itu mulai mendekat, kamu mulai menjepret-jepret muka mereka dengan gelang-gelang karet itu. Dalam kegelapan, mereka sama sekali tidak menyadari apa yang menyerang mereka, dan mulai menghindari tempatmu bersembunyi. Tahu-tahu saja, semua orang mulai menjauh, dan kamu mendapatkan dirimu sendirian.

Kamu baru saja menghela napas saat kamu menyadari bahwa salah satu pengejarmu sedang memandangimu dengan muka mengerikan dari antara semak-belukar. Pria itu tampak seolah-olah ingin berteriak untuk memanggil teman-temannya, jadi kamu pun bangkit seraya mengambil tali yang tersisa dan menggunakannya untuk mencekik pria itu. Berbeda dengan si wanita tua, kali ini kamu tidak merasa bersalah karena pria itu bertubuh besar--meski rada letoy untuk ukurannya. Akan tetapi, meski tercekik, pria itu masih sempat menjambak kepalamu--yep, istilah itu tidak salah, pria itu menjambak kepalamu--dan nyaris meremukkannya, menarikmu turun dari tempatmu yang tadinya lumayan tinggi lalu melemparkanmu hingga menabrak pohon terdekat.

Lalu, yang membuatmu nyaris pingsan ketakutan, dia mulai menggigitmu. Astagaaa!! Apa dia berniat memakanmu hidup-hidup? Saat giginya mulai menghunjam ke dalam dagingmu dan darah mulai mengucur, kamu memutuskan kamu harus bertindak untuk menyelamatkan nyawamu. Sekali lagi, kali ini dengan susah payah, kamu mengalungkan talimu pada lehernya dan mencekiknya, lalu mengayunkannya dan menghantamkannya pada pohon besar terdekat. Kamu menarik napas dan siap untuk berjuang lagi, namun tiba-tiba saja kamu mendapatkan dirimu hanya sendirian saja. Musuhnya lenyap tanpa bekas.

Sepertinya kamu selamat, atau begitulah untuk saat ini. (HP: -20)

Klik di sini untuk melanjutkan.


PELARIAN
Mimpi buruk ini seolah tidak bisa berakhir. Baru saja kamu merasa beruntung karena berhasil keluar hidup-hidup dari rumah itu, detik berikutnya kamu menyadari kamu sedang berada dalam situasi yang mengerikan. Semua orang yang berada dalam warung-warung itu sedang memandang ke arahmu. Semuanya. Tanpa kecuali.

Omaygat. Apa mungkin kisah ini lebih menakutkan lagi?

"Hehehe," kamu tertawa canggung. "Saya, ehm, permisi dulu, saudara-saudara sekalian."

Tanpa ba-bi-bu lagi, kamu segera kabur. Tentu saja bukan ke arah khalayak ramai. Itu kan namanya bunuh diri. Kamu berlari mengitari rumah Pak Kades, berniat menerobos hutan di belakangnya. Dan itu satu-satunya pilihan, soalnya kamu menyadari semua orang mulai bangkit dan mengejarmu. Oke, bukan mengejar namanya kalau gerakan mereka begitu lambat seperti zombie. Masalahnya, mereka mengenal daerah ini dan kamu tidak. Meski mereka berjalan lambat pun, kemungkinan mereka bakalan menangkapmu tetap besar.

Kamu harus mencari jalan untuk menipu mereka.

Kamu berlari menerjang hutan di belakang rumah Pak Kades. Hutan yang lumayan lebat, rupanya. Selain pohon-pohon yang besar-besar batangnya dan sangat rimbun, hutan itu juga dipenuhi semak belukar yang tidak segan-segan mencabik-cabik pakaian dan juga kulitmu. Baru sepuluh menit kamu berlari, tubuhmu sudah dipenuhi banyak luka goresan. Udara begitu tipis sehingga kamu merasa sesak, capek, dan juga sekarat. Oke, yang terakhir ini mungkin hanya lebay saja, tapi kamu benar-benar kesakitan. Seluruh tubuhmu dipenuhi rasa sakit yang amat sangat, nyaris melumpuhkan. (HP: -10)

Dan saat kamu merasa sudah mau tumbang, kamu mendengar bunyi gemerisik di belakang. Oh, gawat. Mereka semakin mendekat!!

Mendadak saja kamu teringat benda yang kamu terima dari si anak perempuan yang kecil, menakutkan, tapi sepertinya orang paling baik yang kamu temui malam ini. Apakah pemberiannya bisa menolongmu keluar dari situasi ini?

Jika pada Episode 2 kamu memilih:

1. Batu, klik di sini.
2. Dahan, klik di sini.
3. Daun, klik di sini.
3. Tali yang terjalin dari gelang-gelang karet, klik di sini.


KAMAR DI SAMPING KAMAR PAK KADES
Baru saja kamu merasa aman, perlahan-lahan pintu kamar Pak Kades terbuka. Jantungmu serasa terhenti. Bukannya Pak Kades ada di samping si beruang? Siapa yang berada di balik pintu itu? Kamu tidak ingin tahu sama sekali, akan tetapi kakimu terasa begitu berat sehingga kamu tidak sanggup beranjak pergi.

Lalu muncul seorang ibu-ibu dengan kebaya lusuh dan rambut yang disanggul dengan sembarangan sehingga terlihat acak-acakan, menatapmu sambil tersenyum ramah. Kamu menduga, tentunya wanita tua ini adalah si Ibu Kades.

"Selamat malam," ucapnya. "Kamu pasti anak malang yang tersesat itu. Sudah makan, Nak? Perlu Tante siapin makanan?"

Kamu nyaris menjerit melihat salah satu tangannya sedang memegang golok besar. "Nggak, Tante! Makasih! Makasih banyak! Tante tidur aja lagi!"

Sambil berkata begitu, kamu menutup pintu kamar dengan paksa. Oh sial, sepertinya kamu tidak sengaja menjepit kaki si Ibu Kades. Untunglah, dia tidak keluar untuk menabokmu. Kamu pun buru-buru keluar dari rumah itu. (MP: -5)

Klik di sini untuk melanjutkan.


AMBIL RANSEL DAN KABUR SECEPAT-CEPATNYA
Begitu membuka pintu kamarmu, kamu tidak melihat-lihat sekeliling lagi. Pandanganmu hanya tertuju pada ranselmu yang terletak di sudut kamar. Kamu menyambar ranselmu dan langsung menerjang ke luar kamar lagi. Namun, saat kamu menutup pintu, rasanya seperti ada yang menahan pintu supaya tidak tertutup. Siapa pun yang menahan pintu itu pastilah memiliki kekuatan yang lebih besar darimu, karena tadinya kamu mengerahkan tenaga yang cukup kuat saat menutup pintu. Lebih mengerikan lagi, kamu merasa tangan dengan cakar panjang-panjang meraih bahumu, mencengkerammu hingga kamu tidak bisa bergerak.

Rasanya ajalmu sedang menjelang.

Tidak, kamu tidak sudi menyerah! Dengan panik kamu merogoh-rogoh ranselmu dan berhasil mengeluarkan pemantik api. Kamu menyalakan pemantik itu lalu melemparkan ke dalam kamar itu. Kamu mendengarkan raungan keras sementara api membesar, membuatmu terpaku ketakutan sesaat. Tapi lalu api itu mendadak lenyap. Dan yang lebih melegakan adalah, pintu kamar pun tertutup. (MP: -20, HP: -2)

Klik di sini untuk melanjutkan.


DAUN
Kamu mengeluarkan daun pisang yang diberikan oleh anak kecil itu. Daun itu sangat lebar, dan sekilas tidak tampak berbahaya sama sekali. Dipandangi sampai mati pun, benda itu tidak tampak berbahaya. Satu hal yang jelas: benda ini tidak bakalan menjadi senjata untukmu.

Jadi kamu menggunakannya sebagai benda yang kebalikan dari senjata: daun itu akan menjadi perisaimu.

Kamu meringkuk di dalam semak-semak paling rimbun yang bisa kamu temukan (ouch, sakit bener!!) dan menutupi dirimu dengan daun itu. Kamu tahu, kini kamu sudah menyatu dengan semak-semak. Sambil gemetaran dengan hati berdebar keras, kamu menunggu. Suara gemerisik itu semakin nyaring terdengar, dan tak lama kemudian kamu merasakan semak-semakmu yang bergemerisik lantaran ditabrak oleh orang-orang yang lewat. Kamu menutup mulutmu rapat-rapat supaya tidak menjerit-jerit ketakutan, dan terus meringkuk tidak peduli seberapa dekatnya orang-orang itu denganmu. Kamu terus menunggu dan menunggu, sampai akhirnya tidak ada yang menabrakmu lagi, suara gemerisik semakin menjauh, dan pada akhirnya, suasana menjadi hening. Saat kamu berdiri lagi, kamu menyadari bahwa kamu sudah sendirian.

Kamu selamat, atau begitulah untuk saat ini. (HP: -2)

Klik di sini untuk melanjutkan.


KELUAR DARI RUMAH PAK KADES
Jika pada Episode 1 kamu memilih:

1. Kamar di samping kamar Pak Kades, klik di sini.
2. Kamar belakang, klik di sini.
3. Kamar di atas loteng, klik di sini.


KAMAR BELAKANG
Kamu merutuk dalam hati. Dari sekian banyak kamar yang tersedia, kenapa kamu malah memilih kamar belakang yang gelap ini? Mana lokasinya dekat dapur, tempat yang sangat menakutkan malam ini. Kamu mengendap-endap, berusaha keras untuk tidak menarik perhatian siapa pun juga.

Akan tetapi untung tidak bisa diraih, malang tidak bisa ditolak. Kepalamu menyenggol lonceng angin yang digantung di tengah-tengah dapur. Lonceng itu terdengar menyenangkan, tapi akibatnya tak kalah dengan alarm yang meraung-raung. Tahu-tahu saja sesosok wanita keluar dari kegelapan. Kamu siap mengantisipasi yang terburuk, namun sosok itu hanyalah seorang ibu-ibu dengan kebaya lusuh dan rambut yang disanggul dengan sembarangan sehingga terlihat acak-acakan, menatapmu sambil tersenyum ramah. Kamu menduga, tentunya wanita tua ini adalah si Ibu Kades.

"Selamat malam," ucapnya. "Kamu pasti anak malang yang tersesat itu. Sudah makan, Nak? Perlu Tante siapin makanan?"

Kamu nyaris menjerit melihat salah satu tangannya sedang memegang golok besar. "Nggak, Tante! Makasih! Makasih banyak! Tante tidur aja lagi!"

Si Ibu Kades menatapmu sambil menelengkan wajahnya dengan sangat tidak wajar. "Kenapa kamu membawa ransel? Apa kamu ingin pergi meninggalkan desa ini tanpa berpamitan? Sangat tidak sopan Nak, tidak sopan..."

Wanita tua itu perlahan-lahan mendekatimu, dan kamu tahu kamu harus melawannya. Tapi bagaimana bisa? Kamu diajar untuk menghormati orang-orang yang jauh lebih tua darimu, apalagi yang sudah berstatus lansia. Mana mungkin kamu main gebuk begitu saja? Tapi saat wanita itu mengayunkan goloknya ke arahmu, kamu sadar bahwa demi nyawamu sendiri, kamu terpaksa harus mengesampingkan tata krama. Apalagi wanita tua itu--dan juga teman-teman sekampungnya--barangkali psikopat garis miring kanibal. Kan tidak ada salahnya kamu membekuk mereka. Bisa jadi malah itu berarti kamu menyelamatkan calon-calon korban lainnya.

Tapi alih-alih menggebuknya (yang jelas tidak mungkin karena si wanita tua membawa golok dan kamu bertangan kosong), kamu meraih panci terdekat dan melemparkan benda itu ke kakinya. Si wanita tua tersandung panci, lalu terjatuh. Kamu shock banget melihat wanita itu jatuh menimpa goloknya sendiri, dan ujung senjata itu menembus hingga ke punggung si wanita tua. Sambil menahan ketakutan, kamu pun buru-buru keluar dari rumah itu. (MP: -15)

Klik di sini untuk melanjutkan.


BATU
Oke, apa gunanya sebuah batu melawan orang-orang sekampung? Kamu tahu, benda itu tidak akan pernah menjadi senjatamu. Jadi kamu harus menggunakannya untuk hal lain.

Sebuah trik, misalnya?

Kamu meringkuk di dalam semak-semak paling rimbun yang bisa kamu temukan (ouch, sakit bener!!) dan menunggu. Saat bunyi gemerisik itu makin mendekat, kamu mengeluarkan batumu, lalu melemparkannya sejauh mungkin sebelum akhirnya bersembunyi lagi. Kamu mendengar bunyi batu itu mendarat keras di salah sebuah batang pohon. Serentak, semua langkah langsung mengarah ke situ. Benar-benar seperti serombongan zombie.

Kamu baru saja menghela napas saat kamu menyadari bahwa salah satu pengejarmu sedang memandangimu dengan muka mengerikan dari antara semak-belukar. Pria itu tampak seolah-olah ingin berteriak untuk memanggil teman-temannya, jadi kamu pun bangkit seraya memungut batu terdekat dan menghantam mukanya dengan batu itu. Berbeda dengan si wanita tua, kali ini kamu tidak merasa bersalah karena pria itu bertubuh besar--meski rada letoy untuk ukurannya. Akan tetapi, meski wajahnya sudah setengah hancur, pria itu masih sempat menjambak kepalamu--yep, istilah itu tidak salah, pria itu menjambak kepalamu--dan nyaris meremukkannya, dan melemparkanmu hingga menabrak pohon terdekat.

Lalu, yang membuatmu nyaris pingsan ketakutan, dia mulai menggigitmu. Astagaaa!! Apa dia berniat memakanmu hidup-hidup? Kamu tidak tahan lagi. Kamu meraih sebuah batu lagi dan menghantamnya di kepala. Kamu menarik napas dan siap untuk berjuang lagi, namun tiba-tiba saja kamu mendapatkan dirimu hanya sendirian saja. Musuhnya lenyap tanpa bekas.

Kamu selamat, atau begitulah untuk saat ini. (HP: -15)

Klik di sini untuk melanjutkan.


MENCOBA BERTAHAN SEMALAMAN
Tidak ada sosok merangkak. Begitulah kamu meyakinkan dirimu. Itu hanyalah tipuan cermin atau hasil khayalan yang berlebihan. Sejauh ini kamu sudah melihat banyak keanehan, bahkan hal mengerikan, akan tetapi semua itu bisa dilihat. Sosok merangkak pasti cuma imajinasi belaka. Dengan pikiran itulah kamu bertekad untuk bertahan semalaman. Besok pagi, setelah semua orang sudah lenyap seperti kemarin, kamu akan pergi meninggalkan kampung itu dengan damai.

Dengan takut-takut kamu membereskan cermin dan sisir yang tergeletak di atas ranjang, memasukkan benda-benda itu ke dalam ransel, lalu membaringkan tubuhmu di atas ranjang. Sesaat kamu merasa ada bunyi sesuatu bergeser di atas ranjang, tapi tentunya itu hanya imajinasimu lagi. Kamu memejamkan mata, dan merasa ada yang mendekat. Mendekat. Semakin mendekat.

Omaygaaat. Kamu dicekik!!

Selama beberapa saat kamu hanya bisa menggelepar-gelepar tak berdaya. Kamu mulai kehabisan pasokan oksigen, dan kamu merasa bola matamu siap membalik. Oh tidak! Kamu tidak sudi mati begitu saja! Kamu meraih apa saja yang terdekat--dan rupanya benda itu adalah bantal. Kamu memukul-mukul sekuat tenaga, dan terdengar bunyi buk-buk-buk yang sangat tak wajar, memandang kamu hanya memukuli udara kosong. Tapi kamu tidak peduli dengan ketidakwajaran itu. Pokoknya, kamu harus kabur sekarang juga. Kamu menyambar ranselmu, lalu lari tunggang-langgang keluar dari kamar itu. (MP: -5, HP: -5)

Klik di sini untuk melanjutkan.


SELANJUTNYA...
Sesaat kamu bingung dengan keheningan yang meliputimu. Adrenalin masih mengalir deras dalam tubuhmu, akan tetapi musuh-musuhmu sudah lenyap.

"Mereka akan kembali, kamu tahu."

Kamu menoleh dengan cepat dan melihat anak perempuan yang memberimu barang itu sedang menatapmu. Mulutnya tidak bergerak, tapi kamu bisa mendengar suaranya.

"Kamu sudah terjebak. Terjebak dalam dunia orang-orang mati di mana orang-orang hidup tak akan bisa selamat."

Sesaat kamu tidak sanggup bicara. "Kalian ini sebenarnya apa sih? Zombie?"

Ujung bibir anak perempuan itu terangkat, dan wajahnya tampak semakin mengerikan. "Bukan. Kami adalah orang-orang mati, dan kami sudah mati lama sekali. Akibat sebuah wabah. Saat matahari muncul, kami akan kembali pada makam-makam kami, berlindung hingga malam tiba. Lalu kami akan kembali hidup, makan, minum, dan melakukan kegiatan manusia seperti biasa. Satu-satunya perbedaan adalah, kami harus makan daging manusia untuk tetap menjadi manusia."

Ini adalah hal paling aneh yang pernah kamu dengar. "Apa semua ini adalah gara-gara wabah itu?"

"Entahlah. Yang kami tahu, kami adalah kampung orang-orang mati. Tapi tidak hanya kami yang ada di sekitar sini. Selalu saja ada orang-orang mati dari tempat lain yang singgah di tempat kami. Itu sebabnya, warung-warung kami selalu penuh."

"Warung-warung dengan masakan dari daging manusia." Anak itu mengangguk. "Kenapa kamu ngasih tau aku semua ini?"

Lagi-lagi anak itu tersenyum. "Karena ini menarik. Kamu dan temanmu adalah manusia hidup pertama yang tersasar ke dalam kampung kami. Sebentar lagi, temanmu akan menjadi salah satu di antara kami. Tanpa perlu benar-benar mati, dia akan menjadi orang mati. Sedangkan kamu, kami ingin tahu bagaimana kamu bisa menyelamatkan dirimu."

"Kami?"

Dari belakang anak perempuan itu, keluarlah beberapa anak lain. Ya ampun, sekarang kamu ingat. Anak-anak itu, termasuk si anak perempuan, adalah anak-anak yang pertama kali mengantarmu masuk ke kampung itu!

"Kami semua ingin tahu, apakah kamu akan tetap hidup atau akan menjadi salah satu di antara kami. Apa pun hasilnya, tidak seru kalau kamu mati terlalu cepat. Jadi, kami akan memberimu sedikit bantuan."

Lima orang anak maju seraya membawa berbagai barang: sekop, kapak, sabit, garpu tanah, dan gunting kebun.

"Pilihlah salah satu, dan semoga itu akan membantumu menyelamatkan hidupmu."


INSTRUKSI MysteryGame@Area47 UNTUK MINGGU INI:
Hai para peserta MysteryGame@Area47!

Kirimkan email ke lexiexu47@gmail.com dengan subject yang diisi dengan "Holiday in Hell episode 4" diikuti nama, "HP=" diikuti jumlah HP diikuti "MP=" diikuti jumlah MP, plus jawaban atas pertanyaan ini:

SENJATA APA YANG KAMU AMBIL? (Pilih antara: sekop, kapak, sabit, garpu tanah, dan gunting kebun. Tidak perlu sebutkan alasannya.)

Kalex tunggu jawabannya sampai enam hari lagi ^^

Good luck, everybody!

xoxo,
Lexie

Sunday, July 7, 2013

MysteryGame@Area47: HOLIDAY IN HELL™, episode 3

Kamu kembali ke tengah-tengah kampung, di mana semua warung makan berjejer dan dipenuhi tamu-tamu yang tampak asing dan menakutkan bagimu. Kamu segera menghampiri si beruang, yang kini tidak seribut sebelumnya lagi. Tapi tentu saja dia masih jauh lebih bawel ketimbang si Pak Kades yang sepertinya a good listener. Beberapa orang lain merapat, memberimu secuil tempat duduk di samping si beruang.

"Makasih," ucapmu pada orang-orang itu--namun mereka tidak menyahut sama sekali. Sejujurnya, kamu rada terheran-heran dengan penduduk desa yang sepertinya ramah dan baik hati namun sekaligus juga tidak banyak omong. Tapi kamu memutuskan untuk tidak mempermasalahkan hal itu. Toh kamu sudah ditolong oleh mereka. Jadi kamu pun berpaling pada si beruang. "Halo, Pak. Bapak makan apa?"

"Bakmi ayam," sahut si beruang. "Enak lho! Dagingnya empuk sekali! Ayo, pesan satu juga!"

Sepertinya ucapan si beruang memang patut dipercaya, soalnya di depan si beruang bertumpuk-tumpuk empat mangkuk yang sudah licin tandas, plus satu yang tinggal setengah mangkuk dan sedang dinikmati oleh si beruang. Kamu pun meneriakkan pesananmu pada pemilik warung yang juga tidak menyahutmu, namun segera menyiapkan pesananmu.

Dalam sekejap, semangkuk bakmi yang hangat dan wanginya menerbitkan air liur sudah siap di hadapanmu. Berhubung tadinya tidak bernafsu makan saking capeknya, kamu jadi tak menyangka, ternyata kamu memang sudah lapar banget. Perutmu langsung berbunyi keras saat mencium wangi bakmi yang menggoda ini. Mana bentuknya juga sangat menarik hati--bakmi yang kecil dan halus, dengan kuah kaldu yang kental, potongan-potongan daging yang kecil-kecil, daun bawang gurih, dan seledri segar. Kamu segera menambahkan sedikit kecap manis dan sambal buatan sendiri, lalu mencicipi kuahnya sedikit.

Ahhhh, enaknyaaaa!

Kamu segera menghunjamkan sendok dan garpumu ke dalam bakmi dan siap untuk menyendokkannya ke dalam mulutmu, saat sesuatu di dalam bakmi tertangkap oleh matamu.

OMAYGAAATTT ITU POTONGAN JEMPOL ORANG!!!

Lebih celakanya lagi, kamu mengenali jempol itu. Jempol yang dilingkari cincin Hello Kitty yang dipakai oleh Pak Supir! Apakah potongan-potongan daging yang kecil-kecil ini adalah... daging Pak Supir? Ataukah semua penumpang bis sudah menjelma menjadi bahan masakan yang dipakai semua pemilik warung malam ini? Apa ini berarti, hanya kamu dan si beruang yang berhasil selamat?

Perutmu yang tadinya lapar langsung bergolak, membuatmu jadi mual dan kepingin muntah. Kamu langsung berlari keluar dari warung dan muntah di rerumputan terdekat.

"Ada apa?" tanya si beruang dengan suara heran. "Kirain elo laper, dek!"

"Aku..." Kamu mengusap mulutmu dengan punggung tangan, lalu menoleh ke warung yang dipenuhi dengan orang-orang yang semuanya sedang memandangimu.

Kenapa selama ini kamu begitu buta? Semuanya begitu tidak wajar! Orang-orang yang berpakaian kumal, yang hanya muncul di malam hari, dan tidak punya cermin di rumah mereka. Wajah mereka muram, kulit mereka kusam, gerakan mereka lambat. Mereka jarang membuka mulut, tapi terdengar suara mereka, seperti yang terjadi pada waktu kamu pertama bertemu anak-anak yang memandu kalian ke sini--dan baru kamu sadari, begitu pula yang terjadi pada Pak Kades! Namun saat mereka membuka mulut untuk makan, kamu bisa melihat gigi-gigi mereka yang hitam-hitam.

Dan sekarang kamu akhirnya tahu rahasia mereka: mereka juga makan daging manusia.

Siapakah orang-orang kampung ini sebenarnya? Zombie? Tetapi zombie tidak bisa bicara kan?

Yang lebih mengerikan lagi, kamu melihat bahwa si beruang juga sudah memiliki ciri-ciri seperti mereka. Dia masih saja lumayan bawel, akan tetapi kulitnya yang tadinya gelap kini mulai memucat. Wajahnya juga jadi suram, dan warna bajunya mulai memudar. Giginya pun mulai menghitam, meski baru sedikit saja. Apakah setelah bergaul dengan orang-orang ini, kamu juga akan berubah menjadi seperti mereka?

Tidak, kamu tidak mau! Kamu masih mau tetap menjadi dirimu yang dulu! Apa pun yang terjadi, kamu harus menyelamatkan diri dan kabur dari sini!

Sebagai langkah pertama, kamu harus berpura-pura kamu masih salah satu di antara mereka. Kalau tidak, bisa jadi mereka akan menangkapmu dan, amit-amit, menjadikanmu sebagai isi salah satu panci tersebut. Kamu tidak boleh membangkitkan kecurigaan mereka.

"Maaf," ucapmu terbata-bata lantaran gugup karena harus bersandiwara di depan banyak orang, padahal kamu tidak bakat akting. Biasanya kamu cuma bisa jadi pohon di acara sandiwara sekolahan, dan itu pun sering kena omel guru drama. "Kayaknya aku sakit maag. Mungkin lebih baik kamu yang ngabisin bakmiku aja, Pak Beruang."

Ups. Tanpa sengaja, kamu memanggil si beruang dengan nama Pak Beruang. Apa boleh buat, setelah ditelaah lagi, kamu memang belum tahu nama aslinya. Namun si beruang tampaknya oke-oke saja dipanggil Pak Beruang. "Baiklah. Kebetulan gue memang mau nambah lagi. Nggak tau kenapa, gue rasanya laper terus."

Kamu merasa, kamu tahu alasannya. Sepertinya si beruang tak bakalan berhenti makan sampai pagi menjelang--atau sampai dia menjelma menjadi salah satu dari orang-orang kampung itu. Gawat, kalau kamu menawarkan makananmu pada si beruang, itu berarti kamu akan mempercepat proses itu.

"Ehm, atau ada orang lain yang butuh makananku?" tanyamu dengan penuh harap.

"What the hell?!" teriak si beruang tak senang. "Elo nggak mau bagi-bagi sama gue?"

"Eh, bukan begitu maksudnya, Pak..."

"Kalo begitu, ini buat gue!"

Kamu memandangi tanpa daya saat si beruang mulai menyeruput bakmi yang tadinya adalah milikmu. Haishh, tadinya kamu berharap bisa menolong si beruang sekaligus menyelamatkan dirimu. Apa daya, si beruang tampak posesif banget dengan semua makanan yang tergeletak di depannya. Sepertinya kamu tak bakalan bisa berbuat apa-apa untuknya, kecuali kalau kamu bersedia mempertaruhkan nyawamu sendiri. Celakanya, kamu yakin si beruang tak bakalan memercayaimu meski kamu sudah mengambil risiko superbesar itu. Jadi terpaksa kamu membiarkannya menyikat makananmu, sementara kamu meninggalkan tempat itu dengan tergopoh-gopoh.

Langkahmu makin memelan saat kamu kembali ke rumah Pak Kades. Kamu tidak ingin kembali ke situ. Amit-amit, di kamarmu ada sosok mengerikan yang merangkak-rangkak di atas ranjang! Sebenarnya, dibayar berapa pun juga kamu tidak sudi balik ke sana. Tapi kini taruhannya adalah nyawamu. Kalau kamu langsung kabur, semua pasti akan curiga, dan tahu-tahu saja kamu sudah berakhir di atas talenan seseorang. Lagi pula, ranselmu tercinta masih ada di dalam kamar. Meninggalkan ransel itu--dan seluruh perbekalanmu--dan kabur ke dalam hutan yang suka bikin nyasar sama saja dengan mati.

Kamu tidak punya pilihan lain. Kamu harus kembali ke kamar itu.

Dengan berat hati kamu memasuki rumah Pak Kades. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini kamu sendirian saja. Itu sebabnya kamu mulai bisa meresapi suasana rumah itu. Rumah yang sudah sangat kuno, tanpa ada satu pun benda elektronik. Setiap perabot yang ada menunjukkan usia yang sudah sangat tua. Warna yang pudar, dengan permukaan yang sudah retak atau terkelupas dan dipenuhi bekas-bekas noda, serta sarang laba-laba di sudut ruangan. Meski begitu, tempat ini masih layak huni, dan pada beberapa bagian cukup bersih. Terutama di dapur. Sepertinya, satu-satunya kegiatan yang rajin dilakukan orang-orang ini adalah makan. Makan daging manusia.

Astaga, mereka ini kanibal atau apa sih sebenarnya?

Kamu tiba di depan pintu kamarmu. Mendadak kengerian yang amat sangat menyergap hatimu. Kamu amat sangat tidak ingin masuk. Kamu takut, saat kamu membuka pintu, sosok merangkak itu sudah menunggu di depan pintu, tersenyum padamu dengan mulut yang begitu lebar, dengan gigi-gigi rusak yang siap memakanmu. Omaygaaaattt. Bisa-bisa kamu mati jantungan sebelum keburu disantap hidup-hidup. Tapi kamu juga tahu, tanpa ranselmu kamu tak bakalan mungkin bisa bertahan. Akhirnya, setelah mengumpulkan keberanianmu yang cuma secuil, kamu pun memutar hendel dan memasuki kamar itu.

INSTRUKSI MysteryGame@Area47 UNTUK MINGGU INI:

Hai para peserta MysteryGame@Area47 yang sudah mendaftarkan diri!

Kirimkan email ke lexiexu47@gmail.com dengan subject yang diisi dengan nama kalian diikuti dengan jawaban atas pertanyaan ini:

APAKAH YANG AKAN KAMU LAKUKAN SETELAH MASUK KE DALAM KAMAR?
(Pilihan jawaban:
1. Ambil ransel dan kabur secepat-cepatnya.
2. Mengumpulkan cermin dan sisir yang jatuh, lalu mencoba menantang si sosok merangkak.
3. Mencoba bertahan semalaman.)

Lexie tunggu jawabannya sampai enam hari lagi. Jangan sampai telat ya mengirimkan jawabannya, karena setelahnya adalah episode battle untuk menghitung poin. Ini berarti, yang telat mengirim jawaban akan otomatis dieliminasi! ^^

Good luck, everybody!

xoxo,
Lexie