"Apa yang kamu lakukan?"
Kamu terperanjat saat pintu terbuka, menampakkan seraut wajah yang sudah sangat keriput. Tapi kamu tidak sempat mengatakan apa-apa, lantaran si kakek tua ternyata galak betul.
"Pergi dari sini!" raungnya dengan tampang yang tak kalah seram dengan seekor harimau. "Jangan ganggu saya lagi!"
"Maaf," ucapmu terbata-bata. "Saya hanya ingin minta bantuan..."
Kini giliran kakek tua itu yang terperanjat. "Lho kamu manusia toh?"
Mendadak kamu jadi sewot. "Ah, Kakek. Memangnya saya mirip monyet?"
Di luar dugaan, kakek tua itu tertawa terbahak-bahak. "Sudah lama saya tidak mendengar lelucon dari manusia hidup. Ayo, masuk, masuk. Kamu pasti sudah capek dan kedinginan!"
Kamu memasuki pondok yang sepertinya lebih layak disebut gubuk itu. Di dalam pondok itu, semuanya tampak begitu bersahaja. Kursi dan meja kayu, kasur dari kapuk, kompor minyak--intinya, mirip dengan rumah-rumah di kampung itu. Untung saja kakek itu bisa berbicara. Kalau tidak, sudah pasti kamu mengira dia salah satu dari penduduk desa itu.
Kamu memandangi kakek itu. Karena sudah amat sangat tua, tubuh kakek ini menciut hingga hanya sebahumu. Tambahan lagi, dia rada bongkok. Rambutnya sudah berwarna putih, jarang-jarang pula (sejujurnya kepalanya ini rada menyeramkan, mirip ilmuwan gila soalnya). Pakaiannya pun cukup sopan, kemeja kotak-kotak kumal dengan celana jins. Dalam segala keanehannya, si kakek tua tidak terlihat mencurigakan atau jahat. Sepasang matanya yang kecil menatapmu, dengan sudut-sudut mata yang berkeriput. Sepertinya kakek itu punya hobi tersenyum atau tertawa. Saat ini pun, bibirnya menyunggingkan senyum yang tampaknya menyenangkan.
"Jadi, kenapa kamu bisa nyasar di tempat seaneh ini, malam-malam begini pula?"
Teringat betapa kagetnya kakek itu menyadari bahwa kamu manusia, kamu menyadari bahwa kemungkinan besar si kakek tua sudah mengetahui soal orang-orang kampung tersebut. Apalagi sepertinya dia adalah penjaga makam orang-orang tersebut. "Eh, Kek, sebenarnya saya barusan dari kampung di dekat sini..."
"Dan kamu masih hidup?" Kali ini kamu baru menyadari arti tatapan kakek tua itu. Rupanya, dia sedang memandangimu dengan takjub. "Bagaimana mungkin? Bahkan saya pun harus mengucilkan diri sejauh-jauhnya dari mereka supaya nggak menjadi sama seperti mereka."
Kamu berpikir sejenak, berusaha menebak arti dari kata-kata itu. "Kakek juga penduduk desa itukah?"
"Betul sekali," angguk kakek itu. "Sebetulnya, saya adalah kepala desa dari kampung itu."
Kamu melongo. "Tapi..."
"Tapi kamu sudah pernah ketemu kepala desa yang lain," kata kakek itu sambil manggut-manggut. "Itu benar. Dia memang kepala desa yang sekarang."
"Maksud Kakek?"
"Saya adalah kepala desa saat kampung itu masih kampung biasa, sementara dia adalah kepala desa dari kampung orang-orang mati. Sebab," si kakek tua rupanya pandai bercerita, sebab dia berhenti pada saat yang tepat, membuatmu menahan napas saking tegangnya, "dia adalah yang pertama mati dari mereka semua."
Sesaat kamu tidak sanggup bicara. "Kenapa mereka bisa mati?"
"Karena sebuah penyakit misterius," ucap si kakek tua sambil berbisik, seolah-olah dengan mengucapkan hal itu keras-keras bisa mengundang kedatangan virus mematikan yang sedang kalian bicarakan. "Mereka semua mati satu per satu dengan cara yang sangat aneh. Terlalu mudah. Hanya dengan demam tinggi, kadang disertai ruam dan muntah-muntah, mereka pun meninggal dalam waktu seminggu."
Kamu bukan dokter, tapi tidak sulit bagimu untuk menerka penyakit apakah itu. "Itu demam berdarah. Kalian semua terkena wabah demam berdarah."
"Rupanya kamu bukan anak biasa," ucap si kakek tua memandangimu dengan sorot mata takjub. "Mungkin kamu memang dibawa ke sini untuk menyelamatkan kami semua."
Oke, sebenarnya itu adalah pengetahuan umum yang biasa-biasa saja, tapi kamu lumayan senang disangka bukan anak biasa. Jadi kamu tidak mengatakan apa-apa untuk membantahnya. "Lalu, apa yang terjadi lagi, Kek?"
"Satu per satu meninggal," kenang si kakek. "Dimulai dari sobatku, Robert." Robert??? Nama si Pak Kades itu Robert??? Kok bisa keren begitu?? "Disusul istrinya, Kirsten." Buset! "Lalu Taylor..."
Gile, rupanya nama orang-orang di kampung itu memang keren-keren. Mungkin saja si kakek tua yang penampilannya bak manusia zaman abad pertengahan ini sebenarnya bernama Justin. Oke, lebih baik kamu segera menyetop kakek itu menyebut nama-nama lain yang bikin kamu tambah minder saja. "Setelah itu, Kek?"
"Awalnya semua biasa-biasa saja. Maksudnya, orang meninggal ya meninggal. Didoakan, dikubur, habis perkara. Tapi, setelah mereka semua meninggal, dan tinggal aku seorang diri," si kakek bergidik, "mereka yang meninggal kembali lagi pada suatu malam."
Kamu langsung ikutan bergidik, bukan hanya karena tampang horor yang tercermin pada wajah si kakek, melainkan juga membayangkan seorang manusia hidup dikelilingi orang-orang mati yang muncul pada malam hari.
"Arnold bilang, mereka semua menolak untuk menyeberangi Gerbang Kematian. Setelah beberapa lama, gerbang itu tertutup untuk mereka semua. Dan itu lebih baik, karena mereka bisa kembali ke dunia ini, meski dengan tubuh yang tidak utuh lagi. Mereka tidak bisa bertahan di saat ada sinar matahari, bahkan di dalam rumah sekali pun, jadi mereka semua harus kembali ke dalam kuburan mereka di siang hari."
"Gimana caranya?" tanyamu heran. "Nggak mungkin mereka menggali-tutup kuburan mereka setiap hari dong."
"Itulah ajaibnya," kata si kakek. "Dalam banyak hal mereka menyerupai manusia biasa. Meski begitu, mereka bisa keluar-masuk kuburan mereka seperti hantu. Tidak benar-benar seperti hantu sih. Mereka merangkak di atasnya, mengais-ngais seperti anjing, lalu menceburkan diri seolah-olah kaisan mereka bisa menghasilkan lubang. Padahal saya sudah periksa semua kuburan itu. Semuanya rapi tak tersentuh. Saat mereka keluarpun, seolah-olah mereka keluar susah-payah dengan menembus tanah."
Seperti zombie, pikirmu, tapi kamu rasa si kakek tua tidak pernah nonton Resident Evil, jadi percuma saja kamu sebut-sebut.
"Entah kenapa, saya satu-satunya yang tidak terjangkit penyakit tersebut. Mungkin karena saya penduduk yang paling sehat. Yah, jangan biarkan tubuh tua ini menipumu. Waktu saya masih muda, tubuh saya tinggi besar dan berotot, beda dengan penduduk lain yang, yah, kamu sudah lihat sendiri."
Ya, kamu masih ingat betul para penduduk yang tubuhnya letoy-letoy itu. Tak bisa kamu bayangkan bagaimana mereka sanggup bertani atau berkebun. Sebenarnya, kamu juga tak bisa membayangkan kakek ini tinggi besar dan berotot seperti Taylor Lautner. Cuma ya, kata orang kan, don't judge the book by its cover. Mana tahu dulu kakek ini juga tampan seperti Justin Bieber. Siapa tahu.
"Nggak percaya?" Entah tampangmu seperti apa, pokoknya si kakek tua tampak jengkel melihat air mukamu. "Buktinya saya masih hidup setelah semua orang mati! Gini-gini usia saya sudah seratus tahun, tahu??"
OH MAN. "Waduh, kalo gitu seharusnya saya panggil Kakek Buyut?"
"Jangan. Kakek buyut itu biasanya sudah mati. Kan saya masih hidup dan sehat walafiat pula. Nah, Anak Muda, kamu masih mau hidup atau tidak?"
"Mau dong, Kek," jawabmu cepat.
"Kalau begitu, kamu harus mengikuti petunjukku dengan sebaik-baiknya dan juga dengan cepat. Karena," kakek itu berkata kalem, "orang-orang kampung itu sudah tau kamu ada di sini."
Saat itulah kamu menyadari ada langkah banyak orang di depan pondok. Paling jauh, hanya berjarak sepuluh meter. Oh mannn! Kamu tidak bakalan punya kesempatan untuk kabur dari pondok. Mereka pasti bisa mengejarmu dengan mudah.
"Saya harus gimana, Kek?" tanyamu panik.
"Pertama-tama, kamu harus pergi ke rumah Arnold, maksudku kepala desa kampung orang-orang mati itu. Setelah itu, carilah kamar yang ada rohnya."
"Roh?" Kamu tercekat.
"Roh itu hanya bisa dilihat dengan cermin." Oh mannn! Itu kan si sosok merangkak! Kamu harus ketemu dia lagi??? "Bunuh dia."
Enak saja si kakek ini ngomong. "Gimana caranya bunuh roh begitu, Kek?"
"Gampang," ucap si kakek. "Gunakan salah satu dari benda ini. Tapi kamu hanya boleh pilih salah satu, karena saya juga butuh sisanya. Bukan cuma kamu yang perlu menjaga nyawa, Nak!"
INSTRUKSI MysteryGame@Area47 UNTUK MINGGU INI:
Hai para peserta MysteryGame@Area47 yang sudah mendaftarkan diri!
Kirimkan email ke lexiexu47@gmail.com dengan subject yang diisi dengan "Holiday in Hell episode 6" diikuti nama dan jawaban atas pertanyaan ini:
BENDA APAKAH YANG KAMU PILIH?
(Pilihan jawaban:
1. Sekotak korek api
2. Sekaleng minyak
3. Tiga butir telur
* Tidak perlu sebutkan alasannya.)
Kalex tunggu jawabannya sampai enam hari lagi! ^^
Good luck, everybody!
xoxo,
Lexie
No comments:
Post a Comment