Kamu didorong masuk ke dalam sebuah ruangan gelap melalui pintu besi. Saat pintu itu akhirnya ditutup, kamu menyadari akan sangat sulit keluar dari ruangan ini. Apalagi, setelah ditutup, terdengar bunyi klik yang menandakan pintu itu dikunci dari luar.
Kamu terjebak dalam ruangan gelap itu.
Setelah matamu mulai terbiasa dengan kegelapan, kamu menyadari kamu ada di dalam ruangan berukuran 3x4 meter persegi. Ruangan itu sebenarnya mempunyai jendela, dan samar-samar ada sinar bulan yang menyeruak masuk, hanya saja awalnya kamu tidak terbiasa dengan penerangan selemah itu. Ada sebuah ranjang kosong di sisi kiri yang segera kamu tempati lantaran kamu sudah pusing dan nyaris tak berdaya akibat obat yang diberikan padamu, belum lagi kakimu sakit banget. Sementara itu, di sisi lain ruangan...
"Halo, kita ketemu lagi."
Meski tadinya sudah tepar banget, kamu langsung terlonjak di atas tempat tidurmu mendengar suara itu. Kamu sama sekali tidak menduga ada orang lain di dalam ruangan itu. Habis, waktu kamu mencoba mendengarkan tadi, tidak ada suara apa pun juga di dalam ruangan itu. Jadi kamu mengira kamu hanya sendirian di dalam sana. Tidak tahunya, kamu punya teman sekamar.
Dan teman sekamarmu adalah Johan.
Kenapa bisa kebetulan begitu?
"Kaget bisa ketemu denganku lagi?" Buset. Rasanya seolah-olah orang ini bisa membaca pikiranmu! "Yah, lihat saja tingkat kewarasanku. Sebelum kamu, akulah orang terakhir yang masuk. Jadi tidak heran kita ditempatkan di ruangan yang sama... Ah, tidak. Aku bukan orang yang terakhir. Sebenarnya, masih ada satu orang lagi. Tapi setelah sebulan tinggal di sini, dia tidak tahan lagi dan menjadi gila. Lalu, suatu malam, dia bunuh diri."
Entah kenapa, bulu kudukmu merinding mendengar cerita itu. Mungkin itu gara-gara cara bercerita Johan yang dramatis, atau mungkin juga karena sebab lain. Misalnya, roh yang merasa terpanggil saat kisah hidupnya diceritakan. "Di ruangan ini?"
"Ya."
Saat menjawab pertanyaanmu itu, suara Johan terdengar mengerikan sekali. Begitu tenang, begitu ringan, begitu dingin. Kenapa ada orang yang begitu santai menceritakan kematian seseorang, seolah-olah tidak ada hubungannya dengan dirinya? Padahal orang itu pernah menjadi rekan sekamarnya, mungkin pernah menjadi temannya.
Dan kenapa dia bisa tahan tinggal di ruangan tempat orang lain pernah mati?
"Bagaimana cara dia mati?" tanyamu ingin tahu. "Gantung diri?"
Suara Johan mengandung senyum geli saat menjawab, "Bukan. Dia menusuk dirinya berkali-kali."
Astaga! Kejadian itu begitu mengerikan! Kenapa dia malah tersenyum geli saat menceritakannya?
Sebuah kenyataan muncul dengan begitu cepat, seolah-olah menamparmu dengan keras.
Johan adalah psikopat gila.
Astaga! Kenapa bisa-bisanya kamu seruangan dengan orang yang begini mengerikan? Kamu memang sial belakangan ini. Sudah dikejar-kejar monster sepanjang malam, kini tahu-tahu kamu sekamar dengan psikopat. Rasa senang akibat jadi penulis muda tajir, di-follow Justin Bieber, dan disetarakan dengan Harry Potter sudah lenyap tak berbekas, digantikan dengan rasa takut, bingung, dan ngeri yang berkepanjangan ini. Kamu sangat berharap di dalam hati bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk belaka, bagaimana kamu akan dibangunkan oleh ibumu dan diseret ke sekolahan di mana kamu menjadi murid biasa yang tak ada bedanya dengan teman-temanmu. Percuma jadi orang beken kalau kerjamu dikejar-kejar bahaya melulu. Kamu kan bukan Bruce Willis atau James Bond. Lolos dari satu bahaya itu keajaiban, sedangkan lolos dari dua bahaya itu mustahil!
Tidak. Kamu tidak boleh berpikir begitu. Salah satu alasan kamu bisa menjadi penulis muda tajir adalah berkat sifatmu yang tidak gampang putus asa dan selalu berusaha sampai detik-detik terakhir. Kamu ingat semua pengorbananmu waktu menulis novel debutmu yang begitu sulit, bagaimana kamu harus pergi ke warnet setiap hari untuk menulisnya, dan bagaimana kamu memohon-mohon untuk meminjam printer dari teman yang pelitnya luar biasa. Kamu ingat bagaimana kamu mengantarkan naskahmu ke penerbit, menunggu keputusan dengan deg-degan, memperbaiki semua kekurangan yang dijelaskan editor padamu, dan merevisinya berkali-kali di warnet hingga tengah malam, sampai-sampai ibumu mengiramu hobi dugem. Semua penderitaan itu sudah kamu tanggung dengan susah payah, dan kini semua itu berbuah manis.
Dan kini, kamu akan menghadapi semua bahaya ini dengan segenap akal dan usahamu, karena kamu percaya, pada akhirnya kamu akan mendapatkan akhir yang kamu harapkan.
Jadi, jangan menyalahkan kesialan, jangan memikirkan semua ini mustahil berhasil dijalankan, jangan pernah berpikir negatif.
Mendadak terdengar suara Johan memecahkan keheningan. "Kamu mau melakukannya denganku?"
"Melakukan apa?" tanyamu bingung. Seberapa pun kuatnya mentalmu, pikiranmu sudah mulai berkabut akibat pengaruh obat.
"Kabur secepatnya dari sini."
Rencana itu terdengar begitu indah dalam kabut yang memenuhi pikiranmu, jadi kamu menyahut lemah, "Ya."
Lagi-lagi suara Johan mengandung senyum saat menjawab, "Kalau begitu mendingan kamu tidur dulu. Sekarang kamu pasti udah ngantuk banget karena pengaruh obat. Kalau saatnya tiba, aku akan bangunin kamu."
Kamu tidak terlalu mendengarkan Johan lagi karena kamu sudah tak sadarkan diri. Kamu hanyut dalam tidur tanpa mimpi, berenang-renang dalam kegelapan yang begitu kental, dan saat kamu akhirnya tersadar kembali, sesaat kamu tidak mengenali kenyataan saking lelapnya tidur yang barusan kamu jalani.
Hal pertama yang kamu lihat adalah Johan yang menjulang tinggi di samping tempat tidurmu, diterangi oleh sinar bulan yang samar-samar, salah satu tangannya yang terangkat memegang sebilah pisau tajam. Seringai keji terlihat di mukanya yang pucat, membuatnya tampak seperti malaikat kematian yang mengerikan. Kamu membuka mulut, ingin berteriak sekeras-kerasnya dan meminta pertolongan, tapi tangan Johan yang bebas membungkam mulutmu. Untuk ukuran cowok kurus, tenaga Johan besar sekali.
"Kamu ingin bernasib seperti teman sekamarku yang dulu?"
Astaga!!! Apa arti kata-kata itu? Apa teman sekamar Johan dulu juga dibunuh oleh Johan?!
Tapi kamu tidak sanggup melontarkan semua pertanyaan itu lantaran mulutmu dibekap erat-erat oleh Johan. Kamu hanya bisa menatapnya dengan penuh horor.
"Kamu mau kabur dari sini?"
Dengan susah-payah kamu mengangguk.
Johan tersenyum, lalu menghunjamkan pisau itu kuat-kuat padamu. Kamu memejamkan mata rapat-rapat, tapi bisa merasakan pisau itu menembus sisi jaket pengekangmu dan memutuskan tali jaket tersebut.
Dan kamu pun terbebas.
"Bisa berdiri?" tanya Johan padamu.
Kamu mencoba berdiri dan merasa lega bahwa tubuhmu tidak sekaku yang kamu takutkan. "Ya."
"Kalau begitu, kita mulai pelarian kita," senyum Johan. "Siap?"
"Tentu saja," anggukmu.
Johan berjalan ke arah pintu, mengeluarkan sebuah kunci dari sakunya, lalu membuka pintu kamar dengan sangat mudah.
"Jadi selama ini kamu sebenarnya bisa keluar?" tanyamu heran.
"Iya," angguk Johan.
"Lalu kenapa kamu nggak kabur sendiri?"
Lagi-lagi Johan tersenyum dengan caranya yang menakutkan itu, senyum yang tak mencapai matanya. "Karena pelarian ini membutuhkan dua orang, bukan cuma satu. Kamu ingin turun lewat mana? Lift, tangga biasa, atau tangga darurat?"
Setelah mendengar jawabanmu, Johan memecahkan kotak bertuliskan EMERGENCY dan menarik tuas di dalamnya. Sirene langsung meraung-raung, pintu-pintu sel terbuka secara otomatis, dan para penghuni sel keluar bagaikan mayat-mayat hidup yang kebingungan.
"Ayo, kita kabur."
INSTRUKSI MysteryGame@Area47 UNTUK MINGGU INI:
Hai para peserta MysteryGame@Area47 yang sudah mendaftarkan diri!
Kirimkan email ke lexiexu47@gmail.com dengan subject yang diisi dengan "MysteryGame: THE ASYLUM episode 3" + nama panggilan + jawaban atas pertanyaan ini:
KAMU INGIN TURUN LEWAT MANA? (Pilih antara: lift, tangga biasa, tangga darurat.)
Lexie tunggu jawabannya sampai enam hari lagi. Jangan sampai telat ya mengirimkan jawabannya! ^^v
Good luck, everybody!
xoxo,
Lexie
No comments:
Post a Comment