Cihuyyy! Akhirnya, liburan telah tiba! Kamu sudah menanti-nantikan liburan ini. Sudah waktunya kamu menagih kebenaran hukum tabur-tuai: kamu menabur belajar bak nyawamu di ujung tanduk (maklum, kalau gagal, bisa-bisa dipenggal ortu), wajar dong kamu merayakan keberhasilanmu bertahan hidup. Lupakan semua pelajaran, lupakan semua tampang guru, lupakan bahwa kamu masih harus kembali sekolah. Kamu bersumpah, demi setiap tetes keringat dan darah yang kamu keluarkan waktu ujian, sekarang kamu akan mencurahkan segenap upaya dan tenaga untuk bersenang-senang!
Hal pertama yang kamu lakukan adalah menguras tabunganmu yang, baru kamu sadari, tidak seberapa. Pupuslah rencana-rencana heboh untuk mengobrak-abrik Eropa, mendaki Gunung Fuji, loncat tali di Tembok Raksasa Cina, gelantungan di ujung obor Patung Liberty, atau kebut-kebutan dengan kereta yang ditarik anjing-anjing Siberian Husky di Alaska. Bahkan mau ngecengin bule-bule di Bali pun kamu tidak punya duit. Satu-satunya yang bisa kamu lakukan hanyalah naik bus keliling Jawa. Yah, rencana itu tidak jelek-jelek amat. Setidaknya, kamu belum pernah keliling Jawa sendirian.
Maka pada suatu hari yang indah, kamu pun sudah sedang menaiki bis Liburan Impian--nama yang membuatmu makin pede dengan liburanmu. Ini pasti sebuah pertanda baik. Sepertinya, liburanmu bakalan asyik banget. Kamu memandangi penumpang-penumpang lain di sekelilingmu. Ada beberapa pasang orang tua yang sepertinya juga sedang berlibur, beberapa orang yang bepergian sendirian seperti dirimu, dan satu gerombolan anak-anak abege yang duduk di barisan-barisan belakang. Hmm, sepertinya ada makhluk cakep di antara mereka. Mungkin, pulang-pulang kamu bakalan bawa jodoh. Bagaimana pun juga kamu sudah terlalu lama menyandang titel "single" dan kamu mulai gerah. Ya, kamu memutuskan dalam hati, liburan ini kamu akan pulang bawa pacar. Itu misimu yang paling utama.
Tapi mungkin bukan salah satu dari anak-anak abege itu. Habis, sepertinya mereka sudah punya pasangan. No worries. Masih banyak kesempatan kok. Liburan baru saja dimulai. Tidak perlu buru-buru.
Hari yang indah berubah buruk. Langit yang tadinya cerah berubah jadi mendung, lalu gelap, dan mendadak saja hujan tumpah dengan begitu derasnya. Dalam sekejap, pemandangan indah di luar sana mengabur gara-gara kaca jendela diterpa air hujan. Udara di dalam bis pun berubah jadi dingin. Ya, untung juga sih, soalnya tadinya AC bis ini tidak begitu berfungsi dengan baik. Buktinya, baju di sekitar ketiak kamu sudah bernoda keringat dan menyebarkan bau-bau asam yang tidak menyenangkan. Untung saja bangku sebelahmu kosong, hanya dihuni oleh ransel gendut yang menjadi barang bawaanmu satu-satunya.
Melalui kaca yang kabur, kamu melihat bis yang kamu tumpangi mulai mengarungi banjir. Kamu tidak tahu berapa tepatnya ketinggian banjir tersebut, tapi kamu mulai khawatir saat air banjir yang menyiprat sempat mengenai jendela bis. Kamu melongok ke depan bis, dan melihat jalanan nyaris tak terlihat lagi.
"Pak," kamu berkata pada si supir bis, "apa nggak apa-apa menerjang banjir gini? Salah-salah malah masuk got, atau lebih parah lagi, sungai."
"Nggak mungkin," sahut si supir bis dengan muka pede. "Bapak sudah sering bolak-balik rute ini berkali-kali, jadi nggak mungkin salah jalan. Lagi pula, kita nggak mungkin berhenti. Kalau sampai knalpot kemasukan air, bis nggak akan bisa jalan sama sekali. Kalo udah begitu, satu-satunya cara hanya menunggu knalpot kering kembali, dan itu nggak akan terjadi selama kita masih kerendam banjir."
"Oh begitu ya, Pak," ucapmu sambil manggut-manggut. "Jadi kita nggak punya pilihan lain selain jalan terus."
"Betul sekali. Sekali mogok, bisa celaka kita. Setahu saya, di sekitar sini nggak ada kota kecil atau kampung tempat kita bisa beristirahat atau mencari makanan. Mungkin ada rumah-rumah kecil di balik pepohonan, tapi saya belum pernah melihatnya..."
Tiba-tiba seluruh bis berguncang keras, membuat semua orang, tanpa malu-malu lagi, menjerit ketakutan. Lebih parah lagi, seolah-olah ingin membuktikan ucapan Pak Supir barusan, mesin bis tiba-tiba mati. Sesaat kamu dan Pak Supir hanya bisa saling memandang.
"Gimana ini, Pak?" bisikmu tegang.
Pak Supir berusaha menyalakan mesin berkali-kali, namun hasilnya sia-sia. "Waduh, saya juga nggak tau." Terlihat kepanikan di mata Pak Supir. "Kayaknya bisnya terperosok ke dalam lubang jalanan. Benar-benar gawat..."
"Apa-apaan ini?!"
Orang-orang mulai mendekati area supir, dan di barisan terdepan adalah seorang pria besar bertampang preman. Sepertinya dia lebih tinggi dari kamu sekitar lima puluh senti, tato di kedua tangannya tidak kalah dengan Chef Juna, dan brewoknya menyaingi Kapten Haddock di komik Tintin. Sekilas dia mengingatkanmu pada beruang. Kamu bisa melihat remah-remah Cheetos menempel di jenggotnya, akan tetapi kamu terlalu sibuk menempel pada dasbor bis saking takutnya disamperin orang seseram itu. Dalam hatimu kamu agak malu karena ketakutan hanya gara-gara disamperin, tapi setelah kamu pikir-pikir lagi, tidak ada orang normal yang tidak ketakutan saat dihampiri beruang garang.
Lagi pula, di sampingmu, Pak Supir juga nyaris nyungsep ke bawah setir bis saking takutnya.
"Apa-apaan ini?" raung si beruang. "Kenapa berenti? Gue harus nyampe di Tasik empat setengah jam lagi, tau?"
"Ma... maaf, Pak," sahut si Supir tergagap. "Tapi bis kita terperosok ke dalam lubang jalanan, dan mesinnya langsung mati. Pasti karena knalpotnya kerendam banjir..."
"APA???" Raungan si beruang menggelegar, membuat kamu dan Pak Supir makin menempel pada dasbor saja. Dalam hati kamu bertanya-tanya, apa salahmu sampai kamu terjebak dalam situasi tak menyenangkan ini, padahal kan kamu tidak salah apa-apa. Sepertinya lantaran kamu terlalu kepo di bagian awal. Catatan di dalam hati, lain kali tidak boleh kepo. "Pokoknya gue nggak mau tau, gue harus nyampe di Tasik sesuai schedule! Apa kita dorong rame-rame saja bis ini menyeberangi banjir..."
Ucapan si beruang terhenti saat menoleh ke belakang. Para penumpang lain tidak sekekar dia. Malahan, kalian semua kelihatan letoy-letoy banget. Sepertinya kalian tidak bakalan sanggup mendorong bis yang beratnya entah berapa juta ton ini. Mana banjir di depan terlihat tak berujung. Bisa-bisa semuanya pingsan di tengah banjir, lalu mati kelelep.
"Sepertinya kita harus mencari bala bantuan," akhirnya kamu berhasil mengeluarkan suara, meski rada gemetar. "Saya punya payung..."
"Bagus, kalo gitu sinikan payungnya!" Si beruang tidak ragu-ragu memalak. "Biar gue yang pergi cari bantuan!"
"Nggak." Entah kenapa, kamu berani membantah si beruang yang super menakutkan itu. Pastinya gara-gara sifat pelitmu lebih dominan ketimbang rasa takutmu. Kamu memang terkenal pelit. Seumur hidupmu, tidak ada orang pun yang berhasil minjam barang dari kamu--dan kamu berniat memastikan rekor itu terus bertahan. "Kita pergi bareng saja."
"Kenapa? Takut payung jelek lo gue embat?"
Ejekan si beruang membuat wajahmu memerah, tapi kamu tetap bergeming. "Payung saya nggak jelek, dan saya belinya dengan susah-payah. Jadi maaf ya, kalo saya takut payungnya dirusakin."
Si beruang mendecak. "Memang susah berurusan dengan anak bau kencur yang belum tau betapa menakutkannya dunia." Lho, ternyata dia kira kamu tidak takut padanya. Ha-ha-ha-ha-ha. Sepertinya wajahmu lebih angker daripada yang kamu duga. Eh tunggu dulu, jangan terlalu angker. Bisa-bisa kamu jadi kelihatan tidak cakep. "Ya udah, ayo kita pergi bareng!"
Pak Supir dan para penumpang lain tampak lega saat kalian berdua mengajukan diri untuk mencari bala bantuan. Sepertinya, selain kalian berdua, tidak ada yang sudi mengarungi banjir sambil berhujan-hujan-ria. Dari ranselmu, kamu mengeluarkan payung lipat yang menjelma menjadi payung besar saat dibuka, juga sebuah jas hujan yang pas untuk badanmu.
"Waduh, boleh juga," ucap si beruang seraya memandang tertarik pada ranselmu. "Isinya apa aja? Sepertinya banyak."
"Yah, secukupnya aja," jawabmu rendah hati, tidak mengungkapkan bahwa kamu sebenarnya jago ngepak dan ranselmu berisi banyak sekali barang. Kira-kira mirip kantong Doraemon gitu deh. Tapi kamu tidak boleh memberitahukan hal itu pada orang-orang. Bisa-bisa kamu dirampok. Bahkan kamu tidak bakalan mau meninggalkan ranselmu di bis. Lebih baik kamu bawa saja meski terancam bakalan basah.
Kamu mengenakan jas hujan, melipat ujung bawah celana panjang, lalu melepaskan sepatu dan memasukkannya ke dalam tas. Lalu, kamu segera mengikuti si beruang keluar dari bis. Air hujan langsung menerpa mukamu, namun alih-alih sebal, kamu malah merasa segar. Mungkin sebenarnya kamu juga sudah sumpek berada di dalam bis dan lebih suka keluar untuk mencari suasana baru.
Si beruang sudah berjalan duluan, dan kamu segera menyusulnya. Tanpa banyak bacot, kalian mengarungi banjir dengan hati-hati, berusaha untuk tidak salah langkah. Kalian kan tidak mau terperosok ke dalam got. Syukur-syukur cuma basah, bagaimana kalau sampai terkilir?
Setelah beberapa saat, kamu menyadari bahwa kamu sudah tidak bisa melihat bis kalian lagi. Di dunia ini, yang ada hanyalah hujan, banjir, hutan di tepi jalan, dan si beruang di sampingmu. Kamu kepingin sekali bertanya pada si beruang, siapa namanya, tapi dia tampak begitu sangar dan menyeramkan sehingga kamu memutuskan pertanyaan itu tidak terlalu berharga ketimbang keselamatanmu.
"Ada rumah di sana!" kata si beruang seraya menunjuk ke arah pepohonan. "Ayo kita berjalan ke sana!"
Kamu memicingkan mata, dan melihat sebentuk bangunan di sana. Sesaat, seluruh tubuhmu merinding, seolah-olah ada sesuatu yang tak kasatmata membelaimu. Mendadak kamu mendapat firasat buruk--firasat yang amat sangat buruk. Rasanya napasmu nyaris putus karenanya.
Oke, meski begitu, kamu tidak mungkin bisa menolak usul si beruang. Soalnya, si beruang sudah berjalan duluan melewati pagar pembatas jalan. Lagi pula, rasanya konyol kalau kamu menolak usul itu. Kan kalian pergi sejauh ini untuk mencari bala bantuan. Lebih menakutkan lagi, bisa-bisa kamu ditabok si beruang kalau dia mengiramu mulai cengeng. Jadi terpaksa kamu membuntuti si beruang dan mencemplungkan dirimu ke banjir sebatas pinggang, lalu berjalan seraya mengangkat ranselmu setinggi mungkin.
Kalian berdua menerobos pepohonan. Saat kamu menoleh ke belakang, yang kamu lihat hanyalah pepohonan. Tidak ada jalan raya. Aneh, kalian kan belum jalan sejauh itu. Masa tahu-tahu saja jalan raya itu sudah tak terlihat lagi?
Akan tetapi, untungnya, semakin kalian berjalan, hujan semakin mereda dan banjir semakin dangkal. Setelah berjalan lima menit, hujan tinggal rintik-rintik dan banjir tinggal setinggi betis, dan lima menit berikutnya lagi, semuanya sudah kering-kerontang. Tidak ada hujan, tidak ada banjir. Bahkan, matahari bersinar cukup cerah.
Lalu, akhirnya, kalian pun tiba di sebuah perkampungan.
Perkampungan itu hanyalah perkampungan biasa, dengan rumah-rumah kecil dari kayu, jemuran di pekarangan samping atau halaman depan rumah, dan sepeda-sepeda bersandar di dekat pintu depan. Sekilas terlihat, perkampungan itu tampak hidup. Jemuran yang dipenuhi pakaian-pakaian sederhana, jendela-jendela dan pintu yang terbuka, sepatu-sepatu di dekat keset pintu depan. Saat kamu melewati jendela salah satu rumah, tercium wangi masakan, sepertinya semur daging. Semuanya terlihat begitu wajar.
Kecuali bahwa tidak ada satu orang pun yang ada di sana.
Si beruang nyelonong masuk ke dalam salah satu rumah.
"Pak!" teriakmu kaget seraya menyusulnya. Maksudmu sih ingin mencegahnya, tapi memangnya kamu sanggup menahan bodi segede truk begitu? Lagian, sebenarnya kamu kepingin tahu juga sih. Ups, kamu kepo lagi. Tapi, siapa yang tidak heran melihat kampung begini besar, dengan begini banyak barang, dan tidak ada penghuninya sama sekali? Apa ini kampung vampir di mana semua orang tidur di waktu siang dan bangun di waktu malam?
Si beruang membuka pintu setiap kamar dan mengintip ke dalam dengan cueknya, tapi ekspresinya sama sekali tidak berubah. "Nggak ada orang sama sekali." Lalu dia pergi ke dapur dan membuka tutup panci yang ada di sana. Tanpa sungkan-sungkan lagi, dia mengangkat sepotong daging dan memakannya. "Makanannya masih wangi dan belum basi. Berarti baru dibikin. Tapi ke mana orang-orangnya?"
"Mungkin mereka sedang ada acara kampung?" dugamu. "Nonton layar tancep gitu?"
"Mana mungkin ada orang nonton layar tancep siang-siang begini?" cela si beruang. "Kalaupun ada acara, seharusnya ada yang tinggal di sini untuk menjaga, atau ada keributan yang bisa kita denger. Ini mah hening banget."
Benar kata si beruang. Tidak ada suara-suara di sekitar kalian. Tidak ada bunyi jangkrik, tidak ada burung berkicau, tidak ada gonggongan anjing.
Singkat kata, rasanya seperti dunia yang mati.
Lagi-lagi sesuatu serasa merayap di tengkukmu, dan kamu merinding.
"Pak, yuk kita pergi saja," ajakmu tanpa malu-malu lagi. "Kan bala bantuan yang kita cari nggak ada di sini..."
"Benar juga sih," angguk si beruang. "Ayo, kita jalan."
Kalian menerobos hutan lagi dan kembali sesuai arah yang tadi kalian lalui. Akan tetapi, setelah sepuluh, lima belas, tiga puluh menit berjalan, kalian masih belum menemukan jalan raya. Lebih aneh lagi, kalian tidak pernah menemukan daerah banjir. Padahal itu kan belum lama berselang. Tidak mungkin banjirnya surut begitu cepat kan?
Apa kalian salah arah?
Langit mulai menggelap, dan kamu mulai panik. Kamu tidak ingin bermalam di dalam hutan hanya berdua dengan si beruang. Siapa tahu malam-malam dia menggorok lehermu dan membawa lari ranselmu. Diam-diam kamu berharap kalian kembali lagi ke perkampungan itu...
Mendadak terdengar suara anak-anak tertawa.
"Nah, ada anak-anak yang sedang bermain rupanya!" seru si beruang heran. "Ayo, kita tanyakan arah pada mereka."
Tak lama kemudian, kalian bertemu dengan tiga atau empat anak yang berpakaian lusuh, agak robek-robek, sedang bermain kejar-kejaran.
"Hei, Nak!" seru si beruang. "Kalian dari desa mana?"
Anak-anak itu menatap kalian berdua dengan muka tanpa ekspresi. Astaga. Pandangan mereka membuatmu nyaris berhenti bernapas. Habis, entah kenapa, seram banget.
"Kami dari situ," jawab salah satu dari mereka seraya menuding.
Kalian berpaling ke arah yang ditunjuknya, dan dengan heran menyadari bahwa itulah kampung yang kalian tinggalkan tadi. Sepertinya kalian tersesat dan hanya berputar-putar saja.
"Kalian tau arah ke jalan raya?" tanyamu.
Mereka menggeleng. "Nggak pernah ke jalan raya."
Aneh sekali. Kan kampung mereka tidak jauh dari jalan raya. Masa mereka belum pernah pergi ke sana?
"Coba anterin kami ke orangtuamu, Nak," kata si beruang, tampaknya tak mau mengambil risiko memasuki perkampungan mati.
Anak-anak itu berlari mendahului kalian, dan kalian segera mengikuti. Anehnya, kampung yang tadinya sepi-senyap itu kini tampak ramai. Ibu-ibu mengangkat jemuran, bapak-bapak duduk di depan rumah sambil merokok, anak-anak berlarian di tengah jalan.
Saat kalian berjalan memasuki kampung, rasanya kalian seperti menjadi bahan tontonan. Semua orang diam saja, tidak menyapa kalian, dan hanya memandangi dengan penuh minat.
"Selamat datang."
Jantungmu nyaris copot dari rongganya saat sebuah suara yang sangat jelas menyapa di belakang kalian. Kalian berdua membalikkan tubuh dan mendapatkan seorang kakek tua yang tampak tidak berbahaya sama sekali.
"Saya kepala desa di sini," kata si kakek memperkenalkan diri. "Ada yang bisa kami bantu?"
"Bis kami mogok di jalan raya, Pak Kades," ucap si beruang. "Kami butuh orang untuk mendorong bis itu keluar dari lubang jalanan dan melewati banjir."
"Ah." Pak Kades merenung sejenak. "Tapi ini sudah malam. Meski kami membantu, bahaya bagi kalian untuk meneruskan perjalanan. Bagaimana kalau besok saja? Malam ini kalian bisa menginap di sini."
Si beruang langsung menyanggupi dengan gembira, akan tetapi kamu memikirkan nasib Pak Supir dan sesama penumpang di bis. "Bagaimana dengan teman-teman saya di bis, Pak?"
"Nanti akan saya suruh beberapa orang untuk membawa mereka ke sini," ucap Pak Kades sambil menggandengmu. "Ayo, saya tunjukkan rumah saya."
Rumah Pak Kades ternyata merupakan rumah yang terletak di paling ujung dalam dari kampung itu. Rumah itu cukup besar, bahkan memiliki loteng segala. Hanya dua atau tiga rumah di sini yang punya loteng.
"Saya hanya tinggal sendirian," kata Pak Kades seraya mengajak kalian masuk ke dalam rumah itu. Meski besar, rumah itu sama sederhananya dengan rumah-rumah lain--terbuat dari kayu, diterangi lampu minyak, dan sepertinya tidak ada listrik sama sekali. "Kamar saya berada di depan sini. Selain kamar ini, masih ada tiga kamar lain lagi. Satu kamar di samping kamar saya, satu di belakang, dan satu di loteng. Kalian boleh memilih kamar mana pun yang kalian suka."
INSTRUKSI MysteryGame@Area47 UNTUK MINGGU INI:
Hai para peserta MysteryGame@Area47 yang sudah mendaftarkan diri!
Kirimkan email ke lexiexu47@gmail.com dengan subject yang diisi dengan nama kalian diikuti dengan jawaban atas pertanyaan ini:
KAMAR MANAKAH YANG KALIAN PILIH? (Pilihan jawaban: kamar di samping kamar Pak Kades, kamar belakang, dan kamar di loteng.)
Lexie tunggu jawabannya sampai enam hari lagi. Jangan sampai telat ya mengirimkan jawabannya! ^^v
Good luck, everybody!
xoxo,
Lexie
5 comments:
Permisi, mau tanya. Kan saya baru daftar barusan, terus saya langsung jawab tanpa feedback dulu dari kak lexie gak papa? makasih ^^
@Nur Azizah: Iya, nggak usah nunggu feedback dariku kok ^^
Makasih kak lexie :)
mau nanya gimananya cara daftarnya hehehheh? soalnya baru pertama kali tau ada kanyak gini
kak, bisa daftar skrang gak??
Post a Comment