Sunday, July 31, 2011

MysteryGame@Area47: THE WRITER, episode 2

Selesai mengepak barang-barangmu yang tidak banyak, kamu memutuskan untuk memeriksa rumahmu sendirian. Kamu membawa senter kecilmu yang tak banyak gunanya, tapi setidaknya kamu tak bakalan berada dalam kegelapan total. Sesuai dengan cara pikirmu yang sistematis, kamu mulai dengan ruang tamu. Seperti yang kamu tangkap pada kesan pertama, ruang tamu itu pernah menjadi ruang tamu yang mewah, dengan ruangan besar dan kandelir cantik di atasnya. Kini, ruangan itu tampak gelap dan suram. Meski sudah dibersihkan (katanya), kamu masih bisa melihat debu beterbangan pada berkas-berkas cahaya yang menyeruak dari jendela-jendela tinggi yang menghadap ke depan rumah.

Sebuah lukisan besar terpampang di dinding, lukisan yang nyaris seukuran tubuhmu. Lukisan itu menggambarkan seorang wanita yang jelas-jelas bukan bangsawan Belanda--meski wanita itu mengenakan gaun tradisional dari Barat yang cantik. Rambutnya hitam legam, dengan bola mata hitam yang seolah-olah menatap langsung ke matamu. Dia duduk di atas sebuah kursi besar yang kau kenali sebagai salah satu perabot yang ada di ruang tamu itu, dengan jari-jari terjalin di pangkuannya. Senyumnya tampak misterius--mirip Mona Lisa, hanya saja menurutmu dia lebih cantik. Meski begitu, kamu bergidik saat melihatnya. Lukisan itu begitu hidup. Pasti pelukisnya orang terkenal. Tapi, tidak ada tanda tangan pada sudut lukisan itu.

Kamu beralih ke ruang makan. Meski dipenuhi jendela di kedua sisinya, ruangan itu tidak lebih terang karena cahaya matahari terhalang oleh pepohonan rimbun di kedua sisi rumah. Kamu bisa membayangkan orang-orang di zaman dulu, duduk memenuhi setiap bangku--delapan bangku--yang mengelilingi meja makan. Kini kursi-kursi itu tampak terlantar. Kamu menengadah, dan baru menyadari bahwa pada langit-langitnya tergambar lukisan malaikat-malaikat putih dan gendut yang lucu. Baru saja kamu mulai merasa cerah, kamu menyadari malaikat-malaikat itu sedang menatap lurus padamu. Tangan mereka yang gemuk memegang pisau.

Kamu langsung ngacir ke dapur.

Dapurnya cukup luas, dengan sebuah kulkas besar dan ruang penyimpanan makanan--semuanya dipenuhi makanan dan minuman, sesuai dengan permintaanmu, sehingga kamu tidak perlu pergi berbelanja kalau tak butuh-butuh amat. Kamu sedang membuka-buka pintu kitchen set dengan kegembiraan yang timbul karena merasa kebutuhan perutmu tercukupi, saat kamu melihat bayangan melintas di depan jendela dapur yang sempit.

Apa itu?

Kamu diam sejenak, menekan rasa takutmu, lalu memutuskan untuk menengok ke luar jendela itu--dan menjerit keras saat seekor makhluk masuk dan menerkammu. Lalu, makhluk itu menjilat-jilatmu dengan lidahnya yang kecil.

"Hanya kucing." Kamu merasa lega, tapi tidak tambah senang. Kamu benci banget pada kucing. Namun sepertinya si kucing menyukaimu, karena dia tetap mengikutimu meski kau mendorongnya turun dari tubuhmu dan berjalan meninggalkannya. "Sori, Cink. Perasaan lo bertepuk sebelah tangan. Gue nggak suka sama elo. Cari aja majikan lain yang lebih pantas buat lo."

Namun bagaikan pengagum yang tergila-gila padamu, dia tak mau diusir. Karena kau tak tega melemparnya ke luar, terpaksa kau membiarkannya. Lagi pula, tanpa ocehan si agen properti yang menemanimu, rumah itu terasa kosong, sepi, suram. Tinggal sendirian, tanpa ditemani satu orang pun, membuat pikiranmu makin gelap dari waktu ke waktu. Mungkin kehadiran kucing ini akan membuat suasana lebih ramai.

Setidaknya, kucing ini akan menemanimu turun ke ruang penyimpanan anggur.

"Ya udah, gue tes lo sebentar. Yuk, Cink, temenin gue turun. Buktikan kalo lo ada gunanya. Kalo lo ternyata useless, sori, lo harus angkat kaki dari sini."

Si kucing mengerjapkan matanya--dan kamu baru menyadari bahwa warna kedua bola matanya berbeda. Kucing yang aneh. Tapi dia mengikutimu saat kamu menuruni tangga, jadi kamu segera melupakan keanehannya itu.

Ruang bawah tanah itu bau apek--dan sepertinya kamu mendengar cicit tikus. Gawat. Jangan sampai tikus-tikus itu naik dan memangsa makanan dalam ruang penyimpananmu. Tapi cicit tikus itu langsung lenyap saat si kucing mendekat. Ternyata kucing ini memang ada gunanya. Untunglah kamu belum mengusirnya.

Botol-botol anggur yang sudah jamuran tampak menjijikkan. Kamu pernah mendengar bahwa anggur yang disimpan semakin lama akan semakin enak, tapi dibayar berapa pun juga kamu tak bakalan mau minum dari botol-botol itu. Saat kamu mau meninggalkan ruangan itu, kamu menyadari si kucing tertinggal di belakang.

"Cink? Ngapain lo?"

Si kucing menjilat-jilat bagian bawah salah satu pilar kayu di ruangan bawah tanah itu. Kamu segera mendekatinya dan ikut berjongkok. Kamu menyadari bahwa si kucing sedang menjilati sebuah tulisan yang digurat dengan benda tajam--mungkin pisau. Tulisan itu hanya sepatah kata saja.

MATI.

Sesaat kamu terpaku di tempat, takut oleh apa yang mungkin diartikan oleh sepatah kata itu. Tapi lalu kamu menyadari sesuatu: tulisan itu adalah tulisan anak kecil.

"Ternyata cuma ulah anak kecil yang iseng," katamu keras-keras. "Ayo, Cink. Kalo lo mau, lo boleh tinggal di bawah sini untuk memangsa tikus-tikus. Kalo gue sih nggak doyan tikus, jadi gue mau naik sajalah."

Si kucing ternyata tidak mengikutimu, jadi kamu membiarkannya di bawah dan naik ke atas. Kamu meneruskan acara lihat-lihat rumah dengan menuju gudang yang terletak di belakang rumah. Pekarangan belakang, sama seperti pekarangan depan, sudah dipenuhi tumbuhan liar sehingga mirip hutan belantara. Kamu memeriksa gudang yang mirip pondok kayu itu. Ternyata gudang ini sama sekali tidak terpelihara. Bohlamnya sudah pecah dan tidak diganti, sarang laba-laba ada di mana-mana, debu-debu membuatmu ogah masuk ke dalam. Kamu perhatikan, tidak banyak peralatan yang disimpan di dalam. Ada sebuah gergaji, sebuah kotak peralatan yang diselimuti debu tebal, sebuah pompa, sebuah dongkrak, dan sebuah alat pemanggang daging outdoor. Setelah puas melihat-lihat, kamu kabur dari gudang jorok itu.

Kini kamu beralih ke lantai atas. Selain kamar tidur yang cukup luas dan kamar mandi yang terletak di sebelahnya, ada sebuah ruangan yang sepertinya adalah ruang main anak-anak. Kamu bisa melihat krayon-krayon berserakan, kardus berisi mainan-mainan rusak, deretan boneka yang menatap kosong... Lagi-lagi kamu bergidik. Di dinding tertempel kertas-kertas berisi gambar-gambar anak-anak. Kebanyakan hanyalah gambar-gambar pemandangan, dua orang dewasa dan dua anak kecil bergandengan tangan, rumah yang sepertinya adalah sketsa jelek dari rumah ini. Tapi lalu kuperhatikan salah satunya bergambar muka anak-anak yang lalu dicoret-coret--dan tulisan tangan yang kulihat di ruang penyimpanan anggur ada di kertas yang sama: MATI.

Kamu ingin kabur dari ruangan yang tidak menyenangkan itu, namun matamu yang tajam melihat di langit-langit ada semacam tangga. Kamu meraih tangga itu dan menariknya. Rupanya, itu adalah tangga menuju loteng. Kamu menyorotkan senter kecilmu ke atas, siap menjumpai loteng yang gelap.

Kenyataannya, loteng itu cukup terang. Ada jendela di bagian atap, memberi akses pada cahaya matahari untuk masuk ke dalam dengan bebas. Namun isi loteng itulah yang membuatmu tercekat. Sebuah tempat tidur kecil, sebuah nakas, dan sebuah lemari--semuanya terbuat dari kayu, dan semuanya tampak murahan.

Jelas, ada yang pernah tinggal di loteng ini. Dari ukuran tempat tidur, jelas penghuninya adalah anak kecil. Namun dari gersangnya kamar itu, jelas, anak itu dikurung di atas sini. Di rumah besar yang dulunya milik bangsawan Belanda ini, pernah ada anak kecil yang dikurung. Tapi dari tulisan yang ada, setidaknya ada satu orang anak yang menggunakan bahasa Indonesia. Kamu teringat lukisan wanita di ruangan tamu. Mungkinkah wanita itu diperistri oleh pemilik rumah ini, memiliki dua orang anak (seperti yang terlihat dalam salah satu gambar anak-anak) dan salah satu anaknya dikurung di atas sini?

Kamu turun dari loteng, mengembalikan letak tangga, dan kembali ke lantai paling bawah. Saat itulah, baru kamu sadari ada yang mengetok-ngetok pintu. Astaga, jangan-jangan ada tetangga yang datang! Sudah berapa lama dia mengetok-ngetok? Rasanya tidak lebih dari sepuluh menit, tapi tetap saja itu sudah lama banget!

Dengan berbagai pikiran panik dan kalut, kamu menghampiri pintu. "Sebentar!" teriakmu sambil memegangi hendel pintu. Kamu sudah siap untuk membukanya, tiba-tiba ada firasat tak enak yang memenuhi perasaanmu. Kamu terpaku sejenak di tempat, lalu kamu mengintip melalui lubang intip yang ada pada pintu.

Dan dari seberang pintu, sebuah mata menatap balik padamu.

Kamu nyaris histeris, tapi kamu buru-buru membekap mulutmu sendiri. Kamu kembali mengintip, dan mata itu masih berada di sana. Pupil matanya terlihat besar sekali, sampai memenuhi lubang intip. Kamu tidak tahu apakah itu akibat lensa lubang intip, atau barangkali pupil itu membesar akibat berusaha menyesuaikan diri untuk melihat ruangan dalam yang gelap. Yang jelas, mata itu terlihat besar melebihi ukuran mata manusia normal, dan pemiliknya jelas-jelas mengetahui keberadaanmu di balik pintu.

Sesaat kamu tidak tahu harus berbuat apa. Lalu, mengikuti instingmu, kamu berlari ke gudang, lalu menyambar benda yang kamu anggap paling mantap untuk digunakan sebagai senjata. Lalu, membawa benda kotor itu, kamu kembali ke ruangan depan. Dengan satu tangan yang bebas, kamu memegang hendel pintu, lalu memutarnya perlahan-lahan...

Baca episode berikutnya.

INSTRUKSI MysteryGame@Area47 UNTUK MINGGU INI:

Hai para peserta MysteryGame@Area47!

Seperti minggu kemarin, kirimkan email ke lexiexu47@gmail.com dengan subject yang cukup diisi dengan nama panggilan saja, sementara dalam emailnya kamu menjawab pertanyaan ini:

BENDA APAKAH YANG KAMU PILIH SEBAGAI SENJATA? (Pilih antara: gergaji, kotak peralatan, pompa, dongkrak, alat pemanggang outdoor. Tidak perlu sebutkan alasannya.)

Lexie tunggu jawabannya sampai enam hari lagi.

Good luck, everybody!

xoxo,
Lexie

No comments: